“Apa yang harus aku lakukan?”
“Bagaimana jika mereka tahu bahwa aku sudah tidak perawan?”
“Apakah aku dijauhkan dari lingkungan sekitar, atau memang aku sudah tidak punya harapan untuk hidup lagi?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan beberapa pertanyaan yang sering diucapkan oleh para korban pemerkosaan setiap kali momen buruk yang terjadi dalam hidup mereka terulang kembali dalam ingatan. Seperti yang kita ketahui, pemerkosaan di Indonesia masih dipandang sebelah mata, diabaikan, bahkan dianggap kasus yang tidak serius dan seringkali korbanlah yang selalu disalahkan. Bahkan, bisa dibilang banyak kasus pemerkosaan yang tidak diusut meskipun korban telah melapor kepada pihak berwajib, dengan alasan kasus tidak memiliki bukti yang cukup dan sebagainya.
Sedihnya, seringkali pihak berwajib malah menganggap kasus yang terlapor merupakan salah dari pihak korban. Korban yang memancing, korban yang kurang menjaga diri, dan sebagainya. Lalu, sebenarnya kasus pemerkosaan salah siapa?
Pemerkosaan Bisa Jadi Salah Korban?
Beberapa bulan lalu, suatu kasus pemerkosaan di daerah Bintaro menjadi viral setelah korban membeberkan persitiwa yang terjadi pada dirinya melalui akun instagram pribadinya. Kasus ini sebenarnya terjadi pada 13 Agustus 2019 silam, tetapi korban tidak memiliki bukti yang cukup untuk memenjarakan pelaku, sehingga tidak ada langkah lebih lanjut yang dilakukan polisi setelah korban melapor.
Pemerkosaan ini terjadi pagi hari di rumah korban di saat korban sendirian dan sedang tertidur dengan menggunakan pakaian yang menurut pelaku ‘mengundang’, sehingga pelaku memerkosa korban dan melakukan beberapa aksi kekerasan lainnya.
Ironisnya, setelah korban berani angkat bicara mengenai kasus ini di media sosial dengan tujuan agar kasus seperti ini bisa dijadikan pelajaran dan juga agar kasus ini segera diusut, banyak masyarakat yang malah menyalahkan cara berpakaian korban yang tidur dengan pakaian “minim” dan menyimpulkan bahwa kasus ini dibeberkan agar korban menjadi terkenal di media sosial atau istilahnya “panjat sosial”.
Padahal, korban yang saat itu diperkosa sedang tertidur di kamar pribadinya, di mana seharusnya pakaian apapun yang ia kenakan tidak menjadi masalah karena itu adalah haknya di ruang privat. Kemudian datang seseorang tak dikenal memukul kepalanya menggunakan benda keras, memerkosanya, dan menerornya setelah kejadian tersebut.
Lalu masih saja ada masyarakat yang menilai bahwa ini salah korban? Salah satu psikolog seksual, Zoya Amirin, mengatakan bahwa dari perbincangan-perbincangan yang pernah ia lakukan dengan para pelaku pemerkosaan, bahkan dengan busana tertutup dan di tempat yang ramai pun, pemerkosaan bisa terjadi karena pemerkosaan dipengaruhi sepenuhnya oleh pikiran pelaku, bukan dari penampilan dan kegiatan korban.
Tatanan Sosial, Pendorong Berkembangnya Kejahatan Seksual
Apakah kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan kasus lainnya hanya pelaku saja yang dapat disalahkan? Tidak, yang patut disalahkan juga adalah tatanan sosial saat ini. Coba perhatikan lingkungan sekitar Anda. Saat seseorang mendapatkan catcalling, apakah orang-orang yang berada di lokasi kejadian ada yang menegur pelaku? Atau bahkan anda sendiri menegur pelaku? Sangat jarang ditemukan peneguran pelaku catcalling, kebanyakan hanya bertindak masa bodoh dan melanjutkan kegiatannya masing-masing.
Selama hal itu tidak terjadi pada dirinya atau pada orang yang dikenal, tidak ada yang menyadarkan pelaku bahwa perilakunya tidak pantas dilakukan. Tak hanya sikap acuh tak acuh, tetapi pola pikir victim blaming yang selalu menyalahkan korban seperti pada kasus pemerkosaan di Bintaro sepertinya sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat.
Saat seseorang berkata “aku habis diperkosa”, maka pertanyaan yang pertama kali muncul dalam benak masyarakat sekitar adalah justru “Memang pakaian kamu gimana?” atau “Kamu pergi jam berapa?”
Begitu juga saat seseorang berkata “Aku positif hamil, aku belum siap” maka pernyataan yang muncul dari lingkungan sekitar adalah “Aku nggak heran sih, pergaulan kamu memang nggak benar”. Bahkan, hal tersebut seringkali ditanyakan tanpa memikirkan dampaknya terhadap kesehatan mental sang korban.
Seharusnya, perkataan pertama yang dikatakan oleh lingkungan adalah “Tenangkan dirimu, ada aku disini”, atau, “Jangan menyerah ya, ini bukan akhir dari segalanya”, dan “Terima kasih sudah mempercayakan ceritamu kepadaku, jangan menyalahkan dirimu sendiri”.
Epilog
Pola pikir victim blaming dan sikap acuh tak acuh kepada kejahatan seksual di sekitar dalam kehidupan bermasyarakat haruslah dihilangkan. Masyarakat perlu belajar menghargai keterbukaan korban tersebut. Tidak elok juga jika kemudian justru membeberkan cerita korban di luar persetujuannya.
Sebaiknya, kita ingatkan korban bahwa ia tidak sendiri, semangati dan temani korban di masa-masa pemulihannya. Selain itu, penting untuk tidak menghakimi dan menyudutkan, apalagi menyalahkan aspek-aspek yang mungkin merupakan kesalahan korban, dan jangan memaksa korban menceritakan apa yang tidak ingin ia ceritakan.
Mulailah perhatikan sekeliling Anda. Tegur dan peringatkan pelaku dimulai dari hal yang sering terjadi di sekitar Anda, seperti adanya kejadian catcalling. Penting bagi setiap pribadi untuk mengetahui bagaimana cara yang tepat menyikapi kasus-kasus seperti ini karena sangat berdampak serius bagi kesehatan mental korban dan pelaku.
Mari ubah pola pikir dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik untuk kesejahteraan hidup bersama, dan agar kasus yang terjadi seperti kasus Bintaro maupun hal serupa tidak lagi terulang kembali di lingkungan sekitar.
*Artikel ini ditulis oleh: Elvira Monica, Fransisca Alverina, dan Anggi Krisdiantika. Mereka adalah sekelompok mahasiswi Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya
Mahasiswi matematika di Univ. Brawijaya sekaligus aktivis muda perempuan ini memiliki "intellegence, passion, imagination". Tulisannya merefleksikan keresahan anak muda, terutama para perempuan.
Pelako pemerkosa harus dihukum sberat-beratnya