Setahun berlalu semenjak pertama kali kita hidup berdampingan dengan Covid-19. Di Indonesia sendiri tren kasus konfirmasi positif belum menunjukkan penurunan yang signifikan, justru kini memasuki fase yang mengkhawatirkan.
Akan tetapi, sebagian masyarakat tampaknya telah abai dengan protokol kesehatan. Penandanya mudah saja. Jika melihat kondisi di pasar-pasar tradisional dan di jalan raya, kita akan dengan mudah menemukan masyarakat yang tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak.
Di sisi pendidikan, proses belajar dari rumah pun telah berlangsung selama lebih dari setahun. Para siswa pun tampaknya telah mulai menikmati proses belajar dari rumah ini, karena mereka lebih santai tanpa adanya kewajiban untuk bangun pagi serta berangkat ke sekolah.
Para siswa pun boleh belajar sambal rebahan. Hal ini tentunya menjadi sebuah kenikmatan sendiri bagi para siswa. Mereka juga merasa tidak memiliki kewajiban untuk belajar dengan serius ketika akan menghadapi ujian.
Pada ujian pun mereka dapat memilih men-search jawaban soal dari internet atau menyalin jawaban milik temannya. Hal ini terjadi karena kurangnya pendampingan langsung dari orang tua ataupun dari para guru. Tidak mengherankan jika proses belajar dari rumah dibandingkan pembelajaran tatap muka di sekolah dipertanyakan efektivitasnya.
Capaian Belajar
Akan tetapi, bagaimana dampaknya bagi capaian belajar siswa? Sejumlah riset internasional menunjukkan bahwa proses belajar dari rumah akibat penutupan sekolah mengakibatkan hilangnya pengetahuan atau keterampilan pelajar dari apa yang sebelumnya sudah dipelajari atau dikuasai. Fenomena ini lebih dikenal dengan istilah learning loss.
Learning loss ini tentunya akan mengakibatkan ketimpangan kemampuan antarsiswa. Setiap siswa tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam melaksanakan proses belajar dari rumah. Berbagai kendala yang dihadapi oleh para siswa dalam proses belajar dari rumah sehingga materi yang diserap oleh setiap siswa berbeda-beda.
Selain dampak terhadap capaian pembelajaran yang rendah, menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), proses belajar dari rumah juga berpengaruh negatif terhadap kesehatan, pendidikan, dan perkembangan anak.
Metode ini juga memengaruhi penghasilan keluarga dan ekonomi secara keseluruhan, khususnya untuk kesehatan mental anak. Mirisnya, hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan peningkatan kekerasan terhadap anak oleh orang tua selama proses belajar dari rumah.
“Tuntutan” agar Sekolah Dibuka
Sejak awal tahun 2021, pemerintah pusat telah memberikan kebebasan untuk setiap daerah memulai pembelajaran tatap muka terbatas, tentunya dengan izin dari orang tua siswa. Akan tetapi, keputusan tersebut menuai sejumlah kontroversi.
Para ahli kesehatan menilai jika pembelajaran tatap muka dimulai, maka hal tersebut akan menjadikan sekolah sebagai cluster baru penularan covid-19. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa pembelajaran tatap muka belum saatnya untuk dimulai.
Sebaliknya, beberapa ahli pendidikan menilai, pembelajaran tatap muka harus segera dimulai karena para peserta didik harus mengejar ketertinggalan mereka. Juga, para tenaga pendidik harus berupaya keras dalam memulihkan kondisi pendidikan di Indonesia.
Sebagian besar masyarakat pun mencoba mengaitkan antara pemulihan ekonomi dan pemulihan pendidikan di Indonesia. Beberapa pendapat mengungkapkan bahwa pemulihan ekonomi telah dimulai dengan dibuka kembalinya pusat perbelanjaan dan beberapa tempat hiburan.
Hal ini memicu “tuntutan” bahwa sekolah pun harus segera dibuka. Bukankah meski anak-anak belum memulai pembelajaran tatap muka di sekolah, di sisi lain mereka akan tetap berkumpul di pusat pembelanjaan atau mal? Maka sebaiknya tatap muka di sekolah saja.
Rekomendasi Global
United Nation’s Children Fund (UNICEF) telah menyerukan untuk memulai kembali pembelajaran tatap muka sejak Desember 2020. Menurut hasil studi secara global, penutupan sekolah meningkatkan jumlah anak yang putus sekolah.
Riset global lain yang menggunakan data dari 191 negara menunjukkan tidak ada kaitan antara status sekolah dan tingkat penularan Covid-19 di komunitas terkait. Ditambah, hanya terdapat sedikit bukti bahwa sekolah berkontribusi terhadap tingkat penularan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, keputusan untuk memulai pembelajaran tatap muka saat ini harus segera dimulai dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat sesuai dengan panduan yang telah diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam hal ini diperlukan peran orang tua dalam mengawasi anaknya. Ketika semua pihak di sekolah mampu mengendalikan penularan covid 19 di lingkungan sekolah, maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana meminimalisir penularan saat anak berangkat dan pulang dari sekolah.
Epilog: Ketegasan Instruksi Pemerintah
Hasil survei yang dilakukan oleh Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud, yang melibatkan 5527 sekolah seluruh Indonesia pada jenjang SD dan SMP pada Juli 2020, menunjukkan kesiapan pembukaaan sekolah dari apek pencegahan dan penanganan covid 19 relatif telah relatif baik.
Walaupun demikian, sarana dan prasarana kesehatan masih perlu ditingkatkan. Hasil riset lain yang dilakukan oleh KPAI menemukan bahwa sebanyak 90% peserta didik menginginkan pembelajaran tatap muka segera dimulai.
Beberapa daerah pun telah memulai uji coba pembelajaran tatap muka terbatas. Sebagian besar daerah menilai uji coba pembelajaran tatap muka terbatas tersebut berjalan lancar meskipun diiringi dengan risiko penularan covid-19.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, pemerintah perlu dengan tegas menginstruksikan daerah agar segera memulai pembelajaran tatap muka terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat. Untuk menjamin efektivitas kebijakan ini, perlu tetap dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
Seorang ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seseorang yang sedang belajar untuk mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang penulis.
0 Comments