Integrasi dan koordinasi merupakan kata yang mudah diucapkan tetapi teramat sulit untuk dilaksanakan. Khususnya terkait pembangunan antardaerah dan pembangunan nasional, acap kali tiap sektor dan level pemerintahan berjalan sendiri-sendiri. Ada beberapa contoh terkait sulitnya koordinasi dan integrasi pembangunan.
Momen pergantian tahun 2019/2020 lalu misalnya, disambut dengan bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Banjir saat itu disebut-sebut sebagai salah satu banjir terparah yang pernah melanda ibu kota. Puluhan jiwa melayang, ratusan ribu orang terlantar, bahkan kerugian material diperkirakan lebih dari satu triliun rupiah.
Hujan yang mengguyur sepanjang malam pergantian tahun menurut BMKG merupakan hujan dengan intensitas terlebat dan terlama setelah yang pernah terjadi pada tahun 2007. Kondisi anomali curah hujan dengan tidak didukung oleh daya tampung kanal-kanal banjir, sungai, drainase, dan serapan air, menyebabkan banjir hebat melanda hampir semua wilayah di Jabodetabek.
Banjir, Bahan Perdebatan dan Komoditas Politik
Banjir ibu kota merupakan isu tahunan dan merupakan komiditas politik di era reformasi. Dalam tiap kontestasi pemilihan gubernur, berbagai teori penanggulangan banjir digulirkan sebagai bahan kampanye. Namun berkali-kali gubernur berganti, mitigasi banjir laksana vicious circle yang tidak dapat diketahui ujung pangkalnya. Beribu teori yang dicetuskan puluhan pakar telah dicoba diimplementasikan. Namun, banjir tetap tak terkendali.
Keadaan ini seakan membuktikan analisis Kulp & Strauss dalam Nature Communications Journal (2019). Melalui tulisannya yang berjudul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding, mereka memprediksi bahwa Jakarta dan 7 negara di Asia lainnya akan tenggelam pada 2050.
Hal ini dikarenakan topografi garis pantai dan permukaan air laut di seluruh dunia naik drastis hingga mencapai 2 meter dalam dekade mendatang. Artinya, terdapat kemungkinan permukaan tanah akan lebih rendah dari permukaan laut. Jakarta akan menjadi hole land, serupaAmsterdam yang memang daratannya lebih rendah dari permukaan air laut. Namun sayangnya, Jakarta berbeda dengan Amsterdam dalam hal mitigasi banjir.
Selain dalam konteks bencana dengan nilai kerugian mencapai trilyunan rupiah dan menelan puluhan korban jiwa, banjir saat itu menunjukan tidak adanya keterpaduan dalam pemerintahan dan pembangunan.
Ambil contoh soal silang pendapat tentang penyebab banjir antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono dengan Gubernur DKI, Anies Baswedan. Perbedaan pendapat itu untuk beberapa waktu menjadi polemik di media massa dan menjadi trending topic di media sosial.
Sebuah tontonan yang tidak mendidik bagi akar rumput, tersaji begitu saja. Masyarakat hanya menginginkan adanya sinergitas antara pemerintah di berbagai level. Mereka tidak peduli mana yang lebih baik, naturalisasi atau normalisasi sungai. Yang mereka butuhkan adalah program konkrit dalam mitigasi banjir. Mau naturalisasi atau normalisasi sama saja.
Tiga Wujud Integrasi
Alangkah eloknya, jika bencana banjir di Jabodetabek dan peristiwa-peristiwa serupa di berbagai daerah di Indonesia dijadikan momentum untuk mewujudkan pembangunan (infrastruktur) terintegrasi. Pembangunan terintegrasi itu sendiri dapat dimulai dari berbagai tahapan.
Pertama,
Dimulai dari integrasi pembangunan di antara berbagai level pemerintahan. Banjir Jakarta disebabkan di antaranya oleh banjir di wilayah sekitar, misalnya dari Bogor. Artinya, mitigasi banjir tidak bisa selesai hanya di Jakarta saja, mesti melibatkan daerah sekitar.
Keterpaduan pembangunan antara berbagai level pemerintahan secara konseptual telah diwadahi melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) yang berjenjang mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan tingkat nasional.
Melalui wadah musrenbang ini sejatinya kegiatan dan program pembangunan antardesa, antarkabupaten/kota, antarprovinsi dan antara provinsi dengan pemerintah pusat telah digodog dan dipadupadankan.
Jadi, program penanganan banjir Jakarta semestinya telah diharmonisasikan antara Jakarta dan Jawa Barat, serta pemerintah pusat melalui musrenbangnas. Ke depan, konsep musrenbang ini perlu diperkuat dari hanya sebatas seremoni menjadi kegiatan yang menyentuh aspek substansi, sehingga silang pendapat antara Gubernur DKI dan Menteri PUPR tersebut menjadi yang terakhir.
Ke depan, adanya pembangunan infrastruktur terintegrasi antardaerah dan pemerintah pusat menjadikan tidak adanya lagi kesenjangan kemajuan antardaerah. Tidak ada lagi disparitas kualitas jalan di tiap daerah, sehingga biaya transportasi dapat ditekan.
Hal ini akan memberikan efek dorong bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, kelengkapan prasarana pendukung melahirkan efisiensi setiap moda transportasi maupun jaringan logistik barang yang modern, dan terintegrasi antarpusat-pusat kegiatan ekonomi.
Kedua,
Pembangunan mesti terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Petuah bijak mengatakan bahwa bumi bukan hadiah dari nenek moyang melainkan, titipan anak cucu.
Melalui UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap level pemerintahan diharuskan memiliki peraturan tentang rencana tata ruang wilayah. Mulai RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota, ruang permukaan bumi telah dibagi peruntukannya sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Melalui RTRW kita akan mengetahui ruang/kawasan mana yang diperuntukan bagi industri, lindung, resapan air, pemukiman, hutan, pertanian, dan perumahan/pemukiman. Pembagian ini dimaksudkan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Hukum alam menyatakan bahwa bila kita sayang terhadap alam, alam juga akan menyayangi manusia. Namun sifat manusia cenderung tamak. Thomas Hobbes (1651) menyebut manusia sebagai homo homini lupus dengan kecenderungan tidak mau diatur.
Meski sejatinnya UU dan Perda RTRW telah mengatur hukum pidana terhadap setiap pelanggaran tata ruang, namun pelanggaran tata ruang baik yang disengaja maupun tidak terus terjadi. Mulai penggundulan hutan, pembangunan pemukiman di daerah yang tidak semestinya menjadikan manusia rentan terkena bencana.
Likuifaksi di Petobo, Palu 2018 yang lalu, menelan hunian dan ribuan jiwa, adalah akibat pengabaian terhadap tata ruang. Daerah tersebut termasuk kawasan rawan bencana dan tidak direkomendasikan untuk pemukiman.
Fenomena masuknya ular kobra ke pemukiman penduduk, dikarenakan terjadinya alih fungsi lahan pertanian atau hamparan menjadi perumahan atau bangunan lainnya. Sehingga habitat ular terganggu dan mereka berkeliaran di pemukiman. Atau adanya petani yang diterkam harimau di wilayah Sumatera, dikarenakan kawasan hutan lindung yang dialihfungsikan sebagai lahan pertanian.
Untuk itu, kepatuhan bertata ruang mesti digalakkan dan ditegakan. Pemenuhan garis sempadan bangunan terhadap jalan dan sungai mesti diperhatikan. Pendirian industri sesuai dengan ruang wilayah yang telah ditentukan juga harus dipatuhi.
Jika kepatuhan bertata ruang dilaksanakan, niscaya keharmonisan antara manusia dan alam (hewan dan tumbuhan) dapat terwujud menuju kelestarian ekologi. Jika pun kelak masih terjadi bencana, maka hal tersebut disebabkan oleh anomali alam.
Ketiga,
pembangunan mesti terintegrasi antara tiap sektor dan fungsi. Misal sektor pariwisata mesti terintegrasi dengan pembangunan jalan. Kekinian dengan dana desa yang cukup besar, banyak desa yang membangun wisata alam, namun pembangunan ini kerap kali tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur jalan yang memadai.
Akibat akses ke destinasi wisata yang tidak represtatif, tidak jarang destinasi wisata yang dibangun dengan biaya ratusan hingga milyaran rupiah menjadi terbengkalai karena wisatawan enggan berkunjung.
Tak kalah penting adalah integrasi fungsional dalam pembangunan. Ambil contoh pembangunan jalan yang harus dipadupadankan dengan pembangunan drainase. Saat ini pembangunan jalan dan drainase masih berjalan sendiri-sendiri.
Pembangunan jalan menjadi kewenangan Dinas/Bidang Bina Marga, sedangkan drainase menjadi kewenangan Dinas/Bidang Cipta Karya. Akhirnya, ketika musim hujan datang, jalanan berubah menjadi jalanan air. Jika harmonisasi antara jalan dan drainase diterapkan sesuai fungsinya maka banjir tol Becakayu, Jakarta dan banjir tol Sidoarjo, Jawa Timur pada 2019 tidak akan terjadi.
Epilog
Integrasi pembangunan (infrastruktur) antara berbagai level pemerintahan, diselaraskan dengan RTRW dan harmonisasi pembangunan antarsektor dan fungsi mesti segera dilaksanakan.
Hal ini mengingat anggaran pembangunan inftrastruktur pada tahun 2020 mencapi Rp 419,2 triliun. Tertinggi dalam masa jabatan Jokowi. Demikian pula untuk dana desa yang mencapai Rp 70 triliun bagi 74.597 desa. Terlebih sebagian besar anggaran tersebut bersumber dari pinjaman.
Jangan sampai anggaran yang mencapai ratusan trilyun tersebut digunakan untuk pembangunan yang tidak tepat sasaran, tepat guna, dan tepat fungsi.
0 Comments