
Di banyak kasus abad ke-20 dan ke-21, begitu pengakuan internasional terkonsolidasi, negara baru relatif cepat “jadi”. Biasanya ditandai dengan dimilikinya pemerintahan yang efektif, kursi PBB, dan kemampuan berdaulat.
Contoh nyata pada kasus Timor-Leste 2002 dan Kosovo 2008. Namun, kenyataan yang terjadi pada Palestina ternyata berbeda.
Bahkan setelah gelombang pengakuan baru pada Sidang Majelis Umum PBB September 2025 yang dipimpin Prancis dan diikuti Inggris, Kanada, Australia, Portugal, Belgia, dan beberapa negara Eropa kecil, Palestina tetap terhenti pada status “nyaris-negara”.
Tersandera fakta lapangan, veto kekuatan besar, dan desain kebijakan Israel yang menolak lahirnya kedaulatan Palestina secara substantif.
Mengapa Pelik?
Secara teori, syarat kenegaraan menuntut penduduk tetap, wilayah yang terdefinisi, pemerintahan efektif, dan kapasitas berhubungan dengan negara lain. Palestina memenuhi tiga yang pertama secara “klaim”, tetapi mengalami kesulitan pada hal yang paling menentukan: kontrol efektif.
Di Tepi Barat, jaringan permukiman, pos militer, dan infrastruktur yang dirancang menyambung blok permukiman Israel telah memecah ruang hidup Palestina, dari akses jalan sampai mobilitas ekonomi.
Data 2025 menunjukkan lonjakan rencana unit hunian di permukiman bahkan hampir dua kali level puncak sebelumnya, yang mengunci fragmentasi teritorial dan menyulitkan munculnya negara yang koheren secara geografis.
Di level internasional, dukungan Majelis Umum PBB terhadap peran dan partisipasi Palestina meningkat pada September 2025, meskipun status keanggotaan penuh tetap terkunci oleh keharusan rekomendasi Dewan Keamanan yang rentan veto.
Ulah Israel
Jika melihat serangkaian kebijakan lapangan dan diplomasi, pola strategi Israel konsisten yaitu dengan mencegah kondisi-kondisi minimal yang membuat negara Palestina operasional, sambil menormalisasi kontrol Israel sebagai status-quo jangka panjang.
Ekspansi permukiman, legalisasi pos-pos liar, dan pembangunan jaringan jalan khusus permukiman memperdalam integrasi Tepi Barat ke dalam sistem Israel.
- Di awal Oktober 2025, jurnalisme lapangan Reuters mendokumentasikan buldoser, jalan baru, dan isolasi desa-desa Palestina. Yakinlah, hal itu bukan sekadar pembangunan, tetapi arsitektur politik yang menihilkan teritorialitas Palestina.
- Selain itu, di bawah skema “clearance revenues”, Israel memungut bea-pajak impor Palestina dan menyalurkannya ke Otoritas Palestina (PA). Sejak 2024-2025, Israel melakukan penahanan/pendivertasian sebagian dana yang disertai pemotongan untuk membayar tagihan listrik.
- Hal tersebut tentunya memicu krisis gaji dan likuiditas PA. PBB menyebutnya sebagai pencekikan finansial yang melemahkan layanan publik dan legitimasi PA. Dampak jangka panjangnya adalah aparatur tidak terbayar, layanan publik menurun, dan kepercayaan warga runtuh. Suatu kondisi yang membuat negara tak bisa “berfungsi”.
Narasi “keamanan dulu” mewujud dalam syarat demiliterisasi permanen, kontrol perbatasan dan ruang udara, serta penyangkalan peran politik faksi tertentu tanpa arsitektur transisi yang kredibel. Dengan kata lain, bahkan bila entitas “Palestina” diakui, desainnya diarahkan agar tak pernah memiliki atribut utama kedaulatan.
Sementara di luar medan, Israel (dan sebagian sekutu) mendorong formula yang menunda status final sambil mendorong “ekonomi dulu”, dengan menawarkan peningkatan kesejahteraan tanpa kedaulatan.
Ini tampak dalam keberatan terang-terangan terhadap pengakuan sepihak oleh negara-negara Barat pada September 2025 yang disebut Tel Aviv sebagai “hadiah untuk terorisme”. Juga kampanye diplomatik untuk menahan konsekuensi hukum dari pengakuan tersebut.
Arti Gelombang Pengakuan Baru
Titik balik 2025 adalah langkah Prancis yang membuka jalan, diikuti Inggris, Kanada, Australia, Portugal, Belgia, dan beberapa negara Eropa kecil mengumumkan pengakuan, dengan berbagai variasi syarat.
Secara simbolik, hal ini bermanka besar karena untuk pertama kalinya blok Barat bergerak, bukan hanya Global South. Secara praktis, pengakuan tersebut memperluas akses diplomatik, memperkuat argumentasi hukum atas penentuan nasib sendiri dan okupasi berkepanjangan, serta menambah tekanan atas kebijakan permukiman.
Namun sekali lagi, tanpa kontrol teritorial dan fiskal, pengakuan tersebut tidak otomatis menjadi kapasitas negara.
Bagaimana dengan proposal Presiden AS Donald Trump terkait 20 butir rencana gencatan senjata Gaza, pembebasan sandera, demiliterisasi, pemerintahan teknokrat di Gaza, dan dewan internasional/ekonomi rekonstruksi? Terdapat dua risiko yang sama-sama masuk akal:
- Pertama, optimistis. Paket gencatan senjata tersebut akan menciptakan ruang politik baru. Apabila digandengkan dengan gelombang pengakuan Barat Tahun 2025, ini bisa menjadi jembatan menuju normalisasi bertahap. Pemilu Palestina, penataan keamanan yang meyakinkan pihak Israel, kemudian akhirnya membuka pintu keanggotaan penuh PBB.
- Kedua, skeptis. Rencana ini sebenarnya hanya menunda isu inti negara, yaitu perbatasan, Yerusalem, kedaulatan penuh, dengan mengalihkan fokus ke tata kelola teknokrat dan ekonomi.
Tanpa penghentian ekspansi permukiman, penghentian penahanan penerimaan pajak, dan pemulihan mobilitas, “negara” yang lahir hanyalah administratif-terbatas, bukan kedaulatan. Reuters misalnya, menyoroti jurang antara wacana state-building dan realitas ekonomi Tepi Barat yang kolaps akibat penahanan pendapatan dan putusnya tenaga kerja lintas batas.
Ilustrasi Pembanding
Timor-Leste pascareferendum 1999 memperoleh administrasi PBB (UNTAET) yang mengisi vakum kedaulatan. Tugasnya adalah memulihkan keamanan, melakukan penguatan lembaga, pemilu, sampai akhirnya mendapatkan keanggotaan PBB pada 2002.
Sementara itu untuk kasus Kosovo, walau pengakuan tak universal, mendapat dukungan keamanan-institusional bertahun-tahun. Dalam hal ini, keduanya memiliki koridor internasional yang konsisten, yaitu keamanan, institusi, dan fiskal. Sehingga, “negara” bukan sekadar pengakuan, tetapi mennjadi kapasitas yang dijalankan (UN Press)
Agar Palestina Efektif Menjadi Negara
Pertama, hentikan arsitektur ketakmungkinan. Tanpa pembekuan menyeluruh rencana/unit permukiman dan koridor jalan permukiman, peta dua-negara tinggallah jargon. Paket mobilitas berbasis data OCHA (pencabutan ratusan rintangan prioritas, akses layanan dasar) harus menjadi indikator kinerja yang dipantau pihak ketiga dan dikaitkan dengan insentif/sanksi ekonomi oleh negara pengaku baru.
Kedua, pulihkan kapasitas fiskal PA. Negara-negara yang baru mengakui (UK, Kanada, Australia, Prancis, dsb.) dapat memfasilitasi mekanisme escrow yang memastikan penerimaan pajak tidak bisa disandera pihak mana pun. Kemudian benar-benar disalurkan ke dalam layanan publik dengan audit independen. Karena tanpa fiskal, tak akan ada negara.
Ketiga, rekonsiliasi politik yang terikat pada pemilu dan reformasi. Hal ini sejalan dengan rencana Trump yang meletakkan prasyarat reformasi PA dan eksklusi Hamas dari pemerintahan Gaza. Versi yang bisa diterima publik Palestina membutuhkan trade-off, yaitu pemerintahan teknokrat transisi, jaminan keamanan terverifikasi dimana polisi Palestina dilatih oleh misi internasional, baru kemudian normalisasi bertahap atas akses dan perbatasan.
Keempat, beralih dari pengakuan simbolik ke operasional. Gelombang pengakuan 2025 harus ditingkatkan menjadi recognition-plus. Hal ini ditandai dengan dukungan keanggotaan penuh di badan-badan PBB yang relevan; investasi infrastruktur dasar (air, listrik, pelabuhan darat) yang eksplisit menghubungkan enklave-enklave Tepi Barat; dan pengawalan hukum untuk mencegah perampasan tanah baru.
Kelima, keamanan bersama yang kompatibel dengan kedaulatan. Solusi yang realistis adalah demiliterisasi terbatas dalam bentuk polisi, bukan militer; kontrol ruang udara secara bertahap; verifikasi internasional, dan mutual security guarantees atau bukan kontrol sepihak permanen. Paket ini harus mengkaitkan penghentian permanen gempuran ke wilayah sipil, pembebasan sandera, dan reintegrasi ekonomi lintas batas.
Keenam, insentif dan konsekuensi yang jelas untuk semua pihak. Negara pengaku baru perlu menyatakan conditionality yang tegas, dimana apabila pembangunan permukiman berlanjut, akan ada sanksi targetted. Juga, apabila reformasi PA dan pemilu terlaksana, maka terbuka akses pembiayaan jangka panjang, peningkatan status diplomatik, dan peta jalan keanggotaaan penuh PBB.
Penutup
Israel tidak hanya “menolak” negara Palestina; ia merancang sebuah tatanan di mana syarat-syarat minimal kenegaraan seperti kontrol teritorial koheren, fiskal berdaulat, dan mobilitas ekonomi, tetap tak terpenuhi.
Gelombang pengakuan Barat pada September 2025 penting secara politik, tetapi baru berarti bila diikuti koreksi faktual di lapangan dan arsitektur fiskal-keamanan yang membuat pemerintahan Palestina berfungsi.
Sementara, rencana 20 poin Trump bisa menjadi jembatan jika dipasangkan tiga hal yaitu moratorium permukiman, normalisasi fiskal, dan jadwal pemilu-reformasi dengan verifikasi internasional. Jika tidak, ia berisiko sekadar merapikan status-quo.
Oleh karena itu negara Palestina yang efektif lahir bukan dari deklarasi semata, melainkan dari kapasitas yang dipulihkan.
Jalan yang tersambung, kas negara yang aman, polisi yang profesional, dan ruang politik yang kompetitif akan selaras dengan pengakuan simbolik yang diiringi perubahan institusional yang terukur. Hanya dengan itu, pengakuan 2025 menjadi batu loncatan menuju Palestina berdaulat yang nyata.
Semoga.
0 Comments