Kepulangan Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq ke tanah air hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat. Bahkan sebelum kepulangannya para pengikutnya sudah membentangkan spanduk dan baliho bertuliskan “ahlan wa sahlan, Imam Besar Umat Islam dan Revolusi Akhlak” disertai dengan gambar close up sang habib di sudut-sudut beberapa kota.
Kedatangannya pada 10 November 2020 membuat para pengikutnya membanjiri bandara Soekarno Hatta, mengakibatkan ditundanya sebagian besar penerbangan pada hari itu. Bahkan, kemacetan juga terjadi karena banyaknya massa yang memaksa masuk jalan tol untuk menyambut kedatangan sang habib. Tak ayal banyak fasilitas bandara yang rusak.
Setibanya di Jakarta, banyak acara keagamaan dilaksanakan. Mulai dari Maulid Nabi di Tebet, pertemuan akbar di Megamendung Bogor Jawa Barat, dan puncaknya adalah resepsi pernikahan putrinya serta pelaksanaan Maulid Nabi di Petamburan. Dengan selalu banyaknya massa yang hadir, panitia pun mengakui sulit untuk menerapkan protokol kesehatan.
Dalam acara resepsi pernikahan putri Habib Rizieq pun, BNPB hanya mampu mengirimkan masker. Pihak kepolisian serta Dinas Perhubungan DKI Jakarta melakukan rekayasa lalu lintas. Instansi-instansi besar itu tak mampu melakukan pencegahan-pencegahan lain maupun aksi represif karena banyaknya massa yang hadir.
Mengingat kejadian-kejadian terjadi dan bahwa saat ini Jakarta masih berstatus PSBB, tak mengherankan jika kemudian bermunculan reaksi publik yang kurang puas terhadap pemerintah. Sebagai buntut dari kerumunan pada setiap acara yang dihadiri oleh Habib Rizieq, Gubernur DKI Jakarta langsung dipanggil Bareskrim Polri.
Sebelumnya Polri telah melakukan rotasi dua Kapolda. Banyak muncul anggapan bahwa pencopotan Kapolda tersebut karena dianggap lalai melakukan tugas dan tanggung jawabnya dalam melakukan disiplin protokol Covid-19.
Setelah memanggil Gubernur DKI, Bareskrim Polri juga memeriksa Gubernur Jabar dan Bupati Bogor secara terpisah. Hanya saja Wagub DKI masih mangkir dari panggilan Bareskrim tersebut.
Bahkan, pihak keamanan bandara Soekarno Hatta tidak luput dari panggilan Bareskrim. Jika perlu, Bareskrim juga akan memanggil Gubernur Banten terkait adanya kerumunan yang terjadi di bandara Soekarno Hatta, karena bandara berada di wilayah Banten.
Usai pemanggilan Bareskrim, muncul fenomena baru yang tidak biasa, yaitu adanya aksi konvoi kendaraan taktis milik Koopsus TNI dan pasukan loreng yang menurunkan baliho sang habib di malam hari. Padahal sebelumnya ada prajurit TNI baik dari TNI AD maupun TNI AU yang ikut menyambut dengan memberikan dukungan kepada sang habib.
Misteri penurunan baliho ini terkuak setelah dengan lantang Panglima Kodam Jaya dengan tegas menyatakan bahwa penurunan baliho tersebut atas perintah beliau. Jadi memang pasukan loreng yang melakukan penurunan baliho tersebut adalah TNI.
Hal ini sebelumnya disangkal oleh Front Pembela Islam (FPI) dan simpatisannya, sebagai basis massa utama pendukung Habib Rizieq. Jika diperhatikan selama ini mereka lebih simpati terhadap TNI daripada Polri.
Kembali soal tindakan menurunkan baliho, tidak sedikit pihak yang bersikap pro maupun kontra terhadap aksi Pangdam Jaya ini. Para pendukung aksi tersebut beralasan memang tidak ada lagi yang mampu dan berani sehingga turunlah TNI, sementara pihak yang kontra menyayangkan aksi Pangdam ini mengingat kembalinya dwifungsi ABRI ke ranah sipil, seharusnya cukup Satpol PP atau Polisi.
Terlepas dari opini, maupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pangdam Jaya, bagaimana seharusnya TNI bertindak?
Pertahanan Negara
Banyak pihak yang menyarankan agar TNI kembali dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam pertahanan negara. Apa yang dimaksud dengan pertahanan negara?
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara memberikan definisi pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman ini terbagi menjadi ancaman militer dan ancaman nir/nonmiliter.
Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi, dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman militer dapat berbentuk agresi seperti invasi, bombardemen, blokade, serangan angkatan bersenjata negara lain, adanya kekuatan bersenjata negara lain dalam wilayah NKRI, suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap NKRI, dan pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain.
Ancaman militer lainnya berupa pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara yang terjadi antarkelompok masyarakat bersenjata. Sedangkan ancaman nirmiliter adalah ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Pertahanan negara dilakukan oleh seluruh komponen pertahanan negara. TNI merupakan komponen utama pertahanan negara berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman, serta pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan.
Sebagai penangkal, TNI memiliki kekuatan nyata dan diperhitungkan oleh lawan. Sebagai penindak, TNI mampu menghancurkan kekuatan lawan. Dan sebagai pemulih, TNI bersama-sama dengan instansi pemerintah lainnya membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara yang telah terganggu akibat kekacauan keamanan karena perang, pemberontakan, konflik komunal, hura-hura, terorisme, dan bencana alam.
Operasi Militer
Untuk melaksanakan tugas pokoknya TNI melakukan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). OMP digunakan untuk menghadapi ancaman yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain. Sedangkan OMSP digunakan untuk:
- mengatasi gerakan separatisme bersenjata.
- mengatasi pemberontakan bersenjata.
- mengatasi aksi terorisme.
- mengamankan wilayah perbatasan.
- mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.
- melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.
- mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.
- memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta.
- membantu tugas pemerintahan di daerah.
- membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
- membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia.
- membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.
- membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue).
- membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dalam menghadapi ancaman militer ini, baik yang dilakukan melalui OMP maupun OMSP menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Sedangkan dalam menghadapi ancaman nirmiliter, tidak menggunakan TNI melainkan dengan menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.
Pengerahan Kekuatan
Pada prinsipnya, TNI tidak serta merta dan sembarangan dikerahkan. Presiden RI berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI. Memang, dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.
Akan tetapi, pelaksanaan OMP dan OMSP juga tetap harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara, yaitu keputusan antara Presiden dengan DPR melalui rapat konsultasi atau rapat kerja. OMP diawali dengan pernyataan perang dari Presiden yang disetujui DPR. Sedangkan OMSP dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan.
Penanggung jawab penggunaan kekuatan TNI adalah Panglima TNI. Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan OMSP dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menghadapi bentuk dan sifat ancaman nir militer di luar wewenang instansi pertahanan, penanggulangannya dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai bidangnya.
Show of Force hingga Baliho
Sejumlah kendaraan taktis milik Koops TNI yang melintas di Petamburan dan penurunan baliho yang diikuti konvoi panser oleh TNI dikhawatirkan oleh berbagai pihak akan membuat kembalinya dwi fungsi ABRI. Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas sebenarnya memang tugas TNI melalui OMSP.
Dalam melakukan OMSP TNI membantu tugas pemerintahan di daerah. TNI juga dapat membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Yang dimaksud dengan membantu tugas pemerintah di daerah adalah membantu pelaksanaan fungsi pemerintah dalam kondisi dan situasi yang memerlukan sarana, alat dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infrastruktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal.
Lalu, mengapa menurunkan baliho harus TNI? Bukan Satpol PP atau Polisi?
Ingat, TNI juga diperintahkan untuk menegakkan disiplin protokol kesehatan terhadap Covid-19. Jika baliho selama ini sebagai simbol revolusi akhlak tetapi malah tidak mencerminkan revolusi akhlak itu sendiri dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah di masa pandemi, atau malah menciptakan kegaduhan dan kebencian antar identitas yang mampu mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa, bukankah sebaiknya memang ditertibkan?
TNI bertanggung jawab menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Baik ancaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Yang harus digarisbawahi, yang dilakukan TNI memang harus dengan persetujuan.
Maka, sebaiknya selama belum ada permintaan dan perintah dalam peraturan perundang-undangan memang TNI harus menahan diri untuk tidak bertindak sendiri baik dalam beropini ataupun melakukan aksi. Akan tetapi, jika tidak ingin TNI terlibat maka institusi sipil harus mampu, cepat, tanggap, dan berani dalam menghadapi berbagai situasi yang mengancam NKRI.
Epilog
Menurut Samuel Huntington (1993) tujuan keberadaan militer di berbagai dunia adalah untuk melawan musuh dalam peperangan. Hal ini merupakan prinsip utama peran militer. Oleh karenanya militer direkrut, diatur, dilatih, dan dipersenjatai hanya untuk kepentingan tersebut.
Keterlibatan militer dalam operasi kemanusiaan, ataupun berbagai kegiatan sipil, dapat saja dilakukan. Namun bukan berarti militer dipersiapkan, diatur, atau dilatih untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Keterlibatan militer dalam OMSP menjadi ambigu terhadap peran utamanya.
Meskipun diakui pula oleh Huntington bahwa berdasarkan kepentingan praktis, TNI memiliki kemampuan dan kapasitas yang tanggap dan cepat dalam menghadapi berbagai situasi.
Analis Kebijakan pada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
0 Comments