
Hampir setiap pekan, para kepala daerah, sekda, kepala dinas, hingga unsur Forkopimda duduk rapat bersama melalui layar Zoom dan ditayangkan secara terbuka dan live di youtube[1]—sebuah ritual rutin setiap awal pekan yang kini menjadi denyut birokrasi modern.
Kemendagri memaparkan data, memberikan arahan, dan mengulang sederet langkah pengendalian inflasi yang “wajib” dieksekusi. Di antara daftar itu, satu pesan selalu muncul seperti mantra yang tak pernah absen: gelar pasar murah.
Dari minggu ke minggu, instruksinya terdengar serupa,
seolah pasar murah adalah pedang utama yang bisa menebas akar
inflasi yang semakin lincah.
Namun di balik repetisi itu, sebuah pertanyaan besar sebenarnya mengintip: apakah pasar murah cukup kuat untuk menjadi garda depan pengendalian inflasi? Atau kita sedang terjebak pada ilusi solusi yang nyaman, fotogenik, namun tidak struktural? [2]
Pertanyaan ini perlu diajukan bukan untuk meniadakan manfaat pasar murah, tetapi untuk memastikan bahwa kita tidak terperosok dalam simplifikasi berlebihan.
- Pengendalian inflasi adalah kerja kompleks; ia bukan persoalan menurunkan harga satu-dua komoditas secara temporer, melainkan bagaimana menjaga stabilitas pasokan, distribusi, dan ekspektasi harga secara berkelanjutan.
- Inflasi bukan hanya “angka,” melainkan mekanisme psikologis, sosial, dan ekonomi yang dipengaruhi oleh perilaku pelaku distribusi, tekanan produksi, cuaca, hingga kualitas tata kelola data.
Dalam teori ekonomi, Irving Fisher pernah menyinggung hubungan antara jumlah barang yang beredar dan ketersediaan uang—sebuah prinsip sederhana yang menggarisbawahi bahwa ketika suplai barang terganggu, maka harga akan bergerak naik, bahkan tanpa perubahan signifikan di sisi uang.
Robert Lucas pun menekankan pentingnya ekspektasi: pelaku pasar tidak hanya bereaksi pada peristiwa hari ini, tetapi juga dugaan terhadap peristiwa esok. Dua pijakan teoretis ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa inflasi bukanlah persoalan yang bisa diselesaikan dengan intervensi sporadis.
Dalam konteks itu, pasar murah berada pada posisi yang ambigu: di satu sisi ia membantu, di sisi lain ia terlalu kecil untuk menjadi tulang punggung strategi.
Pasar Murah: Efektif, Tetapi hanya sebagai Katup Tekanan
Kita perlu jujur menyebutkan bahwa pasar murah memang membawa manfaat. Ketika harga cabai melonjak, ketika pasokan beras terhambat, atau ketika komoditas minyak goreng menjadi langka, pasar murah dapat berfungsi sebagai katup pelepas tekanan.
Warga memperoleh akses ke harga yang lebih terjangkau, pedagang menjadi lebih berhati-hati menaikkan harga, dan beberapa titik gejolak dapat diperhalus.
Namun efektivitas ini sangat terbatas. Pasar murah tidak berlangsung setiap hari, tidak hadir di semua kecamatan hingga sampai ke pelosok desa, dan tidak menurunkan harga secara permanen. Ia seperti oase kecil di tengah ladang yang luas: menyegarkan, tetapi tidak mengubah kondisi iklim.
Ketika tenda dibongkar, harga kembali ke orbit normalnya. Dan di sinilah letak paradoksnya: program yang sifatnya temporer sering kali diglorifikasi sebagai seakan-akan solusi struktural.
Lebih jauh lagi, inflasi daerah umumnya dipicu oleh tiga faktor:
- Gangguan pasokan (produksi berkurang, musim buruk, gagal panen),
- Hambatan distribusi (logistik mahal, jalur transportasi rusak, ketergantungan pemasok dari luar),
- Ekspektasi harga (pelaku pasar menaikkan harga bukan karena hari ini mahal, tetapi karena besok diperkirakan lebih mahal).
Pasar murah hanya menyentuh satu lapis: memberikan bantalan harga jangka pendek untuk konsumen. Ia tidak menyelesaikan problem pasokan, tidak memperbaiki distribusi, dan tidak cukup kuat mengubah ekspektasi pasar.
Dengan kata lain, ia hanya obat pereda nyeri—bukan terapi penyembuh.
Tidak Ada “One Size Fits All”: Inflasi Setiap Daerah Unik
Salah satu kekeliruan yang kerap muncul dalam dinamika kebijakan publik adalah anggapan bahwa semua daerah bisa memakai resep yang sama. Padahal struktur ekonomi daerah Indonesia sangat beragam. Setiap kabupaten dan kota memiliki ekosistem pangan, pola distribusi, kultur pasar, bahkan tantangan klimatologis yang berbeda-beda.
Ada daerah yang sangat tergantung pada pasokan luar. Ada daerah dengan produksi pangan melimpah tetapi akses transportasi buruk. Ada pula daerah yang inflasinya lebih dipengaruhi perilaku pedagang. Karena itu, mengharapkan satu program—seperti pasar murah—bisa bekerja secara sama efektifnya untuk semua daerah adalah kesalahan konseptual.
Kita membutuhkan pendekatan yang kontekstual, bukan mekanis. Infografik rapat mingguan yang menampilkan daftar kegiatan sering kali terlalu generik, sementara kondisi lapangan menuntut diagnosa yang lebih spesifik.
Jika satu strategi dianggap wajib bagi semua daerah tanpa mempertimbangkan struktur ekonomi lokal, maka hasilnya hanya formalitas kecukupan dokumen, bukan efektivitas kebijakan. Pengendalian inflasi bekerja bukan melalui “keseragaman instruksi”, tetapi melalui ketepatan intervensi.
Strategi 4K: Rangka Dasar yang Harus Diterjemahkan Menjadi Langkah Operasional
Kita semua familiar dengan kerangka 4K:
- Keterjangkauan harga
- Ketersediaan pasokan
- Kelancaran distribusi
- Komunikasi efektif
Sebagai kerangka teori, 4K adalah fondasi yang baik. Ia memberikan orientasi yang jelas mengenai arah kebijakan yang perlu ditempuh. Namun masalahnya justru terletak pada penerapannya: banyak daerah berhenti pada level konsep tanpa mampu menerjemahkannya menjadi langkah yang sistematis dan operasional.
Untuk membuat 4K bekerja, dibutuhkan kreativitas pemerintahan daerah dan keberanian untuk mengonversi pedoman abstrak menjadi tindakan konkret. Misalnya:
- Keterjangkauan harga
Bukan sekadar pasar murah, tetapi memastikan tim early warning berjalan, memastikan margin pedagang tidak melampaui batas wajar, dan menyiapkan skema subsidi transportasi untuk komoditas tertentu.
- Ketersediaan pasokan
Tidak cukup dengan memonitor stok; Pemda harus menggeser pola kerja menuju active supply management. Bentuknya bisa berupa kerja sama antardaerah (KAD), penguatan serap panen, dukungan permodalan petani, atau pengembangan klaster pangan lokal yang stabil.
- Kelancaran distribusi
Jika jalan rusak menghambat mobilitas barang, maka itu adalah persoalan inflasi, bukan hanya persoalan infrastruktur. Jika ketergantungan terhadap pemasok luar terlalu tinggi, maka itu adalah persoalan kerentanan, bukan sekadar situasi pasar.
- Komunikasi efektif
Tidak cukup mengeluarkan imbauan. Pelaku pasar bereaksi pada kejelasan data, bukan sekadar ajakan moral. Komunikasi harga harus berbasis data yang akurat dan konsisten.
Poinnya jelas: 4K tidak bekerja secara otomatis. Kerangka ini harus diisi dengan inovasi, improvisasi, dan keberanian daerah untuk merumuskan solusi unik sesuai tantangan lokal.
Daerah Butuh Strategi yang Lebih dari Sekadar Agenda Rutin
Jika kita menempatkan pasar murah sebagai salah satu komponen mitigatif, bukan sebagai solusi utama, maka pintu untuk menyusun strategi yang lebih berani menjadi terbuka.
Pengendalian inflasi yang efektif setidaknya mensyaratkan tiga hal:
- Manajemen pasokan yang lincah (supply agility)
Daerah harus bisa bergerak cepat ketika pasokan terganggu—melalui kerja sama lintas wilayah, sistem logistik yang terkoordinasi, hingga pemanfaatan cadangan pangan pemerintah secara responsif.
- Data pemerintahan yang kuat
Inflasi tidak dapat dikendalikan tanpa data harga harian yang akurat. Ketika pemda tidak memiliki dashboard yang reliabel, respons kebijakannya menjadi lambat dan reaktif.
- Intervensi yang mempengaruhi ekspektasi
Ketika pelaku pasar percaya pemerintah mampu menjaga pasokan, mereka lebih enggan menaikkan harga secara spekulatif. Di sinilah sofistikasi kebijakan diuji: apakah pemerintah mampu mengendalikan persepsi, bukan sekadar situasi hari ini.
Kita Butuh Kejujuran dan Keberanian dalam Melihat Masalah
Pada akhirnya, inflasi bukan hanya soal angka, melainkan soal ketahanan daerah. Jika strategi pengendalian inflasi hanya berhenti pada simbol-simbol—rapat mingguan, checklist kegiatan, foto pasar murah—maka kita sedang membangun kenyamanan semu, bukan stabilitas ekonomi.
Pasar murah berguna, ya. Tetapi ia bukan pondasi. Ia tidak bisa ditempatkan sebagai garda depan. Ia tidak bisa menjadi jawaban universal. Dan ia tidak bisa menggantikan kebutuhan untuk membenahi struktur pasokan, distribusi, dan tata kelola data.
Karena itu, kita perlu melihat pasar murah sebagai bagian kecil dari strategi besar, bukan sebagai pusat strategi itu sendiri.
Inflasi hanya dapat dikendalikan ketika pemerintah daerah mampu naik kelas: dari menjalankan agenda rutin menjadi merumuskan kebijakan yang kreatif; dari mengikuti template menjadi mencipta solusi; dari menyentuh permukaan menjadi menyelesaikan akar masalah.
Jika itu mampu diwujudkan, maka rapat mingguan bukan lagi ritual, tetapi menjadi ruang koordinasi yang strategis. Dan pasar murah bukan lagi sekadar tenda biru sementara, tetapi bagian dari orkestrasi kebijakan yang matang.
Dalam ekosistem seperti itulah, stabilitas harga bukan lagi ilusi, melainkan hasil dari kerja yang sungguh-sungguh.














0 Comments