
Saya tinggal di sebelah sebuah kantor pemerintah provinsi. Sebut saja kantor gubernur. Setiap hari Jumat pegawai di kantor gubernur melaksanakan kerja bakti. Di antara rutinitas itu, ritual yang pasti dikerjakan oleh para ASN tersebut adalah membakar sampah.
Mereka mengumpulkan sampah yang mereka sapu di gundukan-gundukan yang berjajar, mengelilingi beberapa sisi kantor gubernur, juga di pinggir jalan. Gundukan-gundukan tersebut berjarak sekitar setiap 5 meter. Setelah terkumpul, mereka lalu membakar setiap gundukan tersebut.
Tidak hanya hari Jumat, mereka biasanya juga membakar sampah saat dirasa tempat sampah kantor penuh. Tempat sampah itu bukan tanah yang digali ke bawah, bukan kotak beton, bukan juga container sampah portable.
Tempat sampah itu adalah lahan kosong datar yang mereka jadikan tempat pembuangan sampah kardus, sampah plastik, sampah dedaunan atau ranting, dan lain-lain.
Budaya Membakar Sampah
Tidak hanya kantor gubernur yang ada di lingkungan tempat saya tinggal. Ada juga rumah sakit universitas negeri. Rumah sakit tersebut juga memiliki budaya yang sama, membakar sampah di hari Jumat dan hari-hari tertentu.
Setiap hari saya melewati kantor-kantor tersebut untuk berangkat kerja. Saya berangkat kerja mengendarai motor. Saya sudah berdandan rapi dengan baju yang baru diambil dari lemari.
Baju-baju saya dicuci dengan bersih bersama pengharum pakaian. Tidak lupa saya menyemprotkan parfum. Begitu saya keluar rumah, beberapa meter di depan, saya disambut dengan asap kelabu pembakaran sampah.
Usaha saya untuk menjadi harum saat berangkat kerja
sia-sia ketika melewati deru asap sampah yang bertubi-tubi. Walaupun sudah sempat pakai parfum merek macam-macam, pada akhirnya parfum yang saya kenakan ketika masuk kantor,
bernama karbonmonoksida.
Yang saya herankan, sekelas kantor gubernur dan rumah sakit universitas negeri masih membakar sampah.
- Apakah tidak ada tempat sampah container di kantor mereka?
- Apakah tidak ada truk sampah yang mengangkat sampah di kantor mereka?
Jika faktanya seperti yang saya alami, tentu jawabannya tidak. Maka tidak heran jika masyarakat juga melakukan hal yang sama. Tetangga-tetangga saya juga masih membakar sampah di sekitar rumahnya.
Kadang saya terperangkap melewati samping api atau bekas api tersebut. Walaupun lebih jarang daripada kantor-kantor itu, mungkin karena para tetangga membakar sampah saat saya bekerja atau di dalam rumah.
Sedangkan para ASN di kantor-kantor tersebut membakar sampah pada hari dan jam kerja yang bertepatan saat saya berangkat kerja.
Perilaku Warga Kota Kami
Di lingkungan tempat saya tinggal memang tidak ada truk pengangkut sampah. Biasanya saya membuang sampah di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) terdekat, sekitar 2 km dari rumah saya. Aktivitas pembuangan sampah pada TPS hanya boleh dilakukan pada pukul 19.00 – 04.00.
Saya berasumsi truk sampah akan mengangkut sampah pada TPS-TPS itu pada pagi harinya. Maka, sampah tidak menumpuk terlalu lama. Itu asumsi saya, apakah benar truk sampah mengangkutnya setiap hari?
Saya juga tidak mengetahui pastinya.
Beberapa teman membuang sampah di kantor karena kantor saya memiliki TPS sendiri yang akan diangkat oleh truk sampah beberapa hari sekali. Karena saya tidak mau berkotor-kotor saat pergi ke kantor maka saya memilih membuang sampah ke TPS terdekat.
Beberapa tempat dijadikan oleh masyarakat sekitar sebagai TPS dadakan atau TPS tidak resmi. Saya kadang melihat tumpukan sampah sedikit atau banyak di beberapa tempat, sampai si pemilik lahan menuliskan besar-besar JANGAN BUANG SAMPAH DI SINI.
Kadang juga saya menemui plastik sampah tercecer di jalan, entah itu terjatuh atau memang sengaja dibuang di tempat yang bukan TPS. Dapat dikategorikan 2 perilaku manusia terkait pembuangan sampah di kota saya tercinta ini.
- Pertama masyarakat yang menghilangkan sampah dengan membakarnya.
- Kedua, masyarakat yang tidak mau membakar sampah tapi juga tidak mau membuangnya di TPS.
Kota tercinta kami ini tidak hanya dihuni oleh manusia, tapi juga anjing. Para anjing ini merasa diberi makan melalui sampah-sampah tersebut. Mereka mengorek-ngorek dan mengacak-ngacak sampah yang mungkin sudah dibungkus dengan rapi.
Seluruh isinya dapat tercecer di mana-mana, mulai dari bungkus makanan sampai popok bekas. Begitu juga saya, jika saya menaruh sampah di depan rumah, siap-siap saja ada anjing yang menghancurkannya, maka saya rajin membuang sampah di TPS, dua hari sekali.
Banyaknya PR Pemerintah Menangani Sampah
Sifat manusia pada dasarnya menjauhi kesusahan dan mendekati kemudahan. Padahal kemudahan tidak selalu tepat. Begitu juga dengan cara masyarakat mengelola sampah. Mereka tidak peduli atau tidak mengetahui dampak lingkungan dalam pengelolaan sampah yang kurang tepat.
Karena dampak tersebut tidak langsung dirasakan. Mereka cenderung mencari cara paling mudah dalam menghilangkan sampah yaitu dengan cara membakarnya atau membuang di tempat terdekat walaupun bukan TPS.
Kebiasaan tersebut yang mereka tahu dari generasi ke generasi, yang orang tua mereka ajarkan, yang tetangga mereka lakukan maka kebiasaan itu mengakar pada masyarakat.
Tampaknya pemimpin lokal, pejabat, atau tokoh masyarakat
tidak menganggap pemeliharaan dan kebersihan lingkungan penting dalam program mereka.
Jika pemerintah tidak menunjukkan perilaku ramah lingkungan, pantas saja
masyarakat cenderung mengikuti pola yang sama.
Padahal edukasi tentang lingkungan harus disosialisasikan pada masyarakat. Agar masyarakat dan anak-anak terbiasa berpikir ekologis sehingga kebiasaan buruk orang tua mereka tidak diterapkan.
Pemerintah belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang memadai seperti tempat pembuangan akhir (TPA) yang masih menggunakan sistem open dumping, kurangnya TPS/bank sampah, atau layanan pengangkutan sampah rutin.
Sistem open dumping adalah metode pembuangan sampah secara langsung ke tanah terbuka tanpa pemilahan antara sampah organik dan anorganik, tanpa proses daur ulang atau pengolahan, tidak ada lapisan pelindung tanah atau sistem drainase, lalu sampah dibiarkan membusuk secara alami.
Sampah hanya ditumpuk begitu saja di suatu lokasi, biasanya di pinggir kota, lahan kosong, atau bahkan di dekat pemukiman. Pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah terkait penanganan sampah jika mereka sadar.
Dampak Pembakaran Sampah
Pembakaran sampah dapat menurunkan kualitas udara, menyebabkan kabut asap lokal, dan merusak lapisan ozon jika dilakukan secara massif.
Asap hasil pembakaran sampah, terutama plastik dan bahan sintetis mengandung gas beracun seperti karbon monoksida (CO), dioksin dan furan.
Ada juga partikel mikro (PM2.5 dan PM10) yang sangat kecil dan bisa masuk ke paru-paru, menyebabkan asma dan bronchitis, iritasi mata dan tenggorokan, juga penyakit kronis seperti kanker paru-paru, jika terpapar terus menerus.
Sisa pembakaran sampah dapat mencemari tanah karena zat kimia beracun meresap dan mengganggu kesuburan. Air tanah juga akan tercemari.
Praktik Pengelolaan Sampah di Negara Maju
Lalu bagaimana sampah dikelola di negara maju? Swedia mengaku dapat mendaur ulang 99% sampah di negaranya. Ini tidak terjadi dengan tiba-tiba. Mereka memulainya dari tahun 1970.
Sekarang mereka mendapatkan keuntungan dari mendaur ulang sampah mencapai $100.000.000. Mereka juga menerima sampah dari negara-negara lain untuk dikelola. Perbaikan elektronik, sepatu, sepeda dan perlatan lain dapat mengurangi pajak pendapatan warga Swedia.
- Setiap individu wajib memilah sampah menjadi berbagai macam kategori yaitu organik, plastik, kertas, metal dan lain-lain.
- Tempat pembuangan sampah rumah tangga sudah dibedakan sesuai kategori.
- Tempat penyortiran tersebut ada di mana-mana seperti mini market, perusahaan, stasiun dan tempat lain.
- Sampah didaur ulang menjadi baterai, rumput sintetis, eco-friendly peralatan rumah tangga dan lain-lain.
- Sisanya baru masuk mesin incinerator untuk menghasilkan sumber daya energi baru.
Mesin incinerator adalah alat atau sistem yang digunakan untuk membakar limbah padat (seperti sampah medis, industri, atau rumah tangga) pada suhu tinggi antara 800°C hingga 1200°C hingga menjadi abu, gas, dan panas.
Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi volume limbah hingga 90% dari volume awal, mensterilkan limbah berbahaya, dan menghindari pencemaran lingkungan.
Fakta-fakta unik pengelolaan sampah di negara-negara lain adalah:
- Swiss menerapkan biaya untuk setiap sampah yang dibuang oleh warga;
- Belanda menerapkan pajak yang tinggi untuk pembelian barang baru sehingga warganya memilih untuk memperbaiki barang-barang, alih-alih membuangnya dan membeli barang baru;
- Singapura menjadikan asap pembakaran sampah menjadi udara ramah lingkungan yang dapat dihirup. Sedangkan hasil daur ulang dijadikan tanah reklamasi;
- Korea Selatan dan Jepang mengharuskan warganya membayar untuk pembuangan pakaian, sepatu, tas dan perlatan rumah tangga. Tempat pembuangannya pun berbeda dengan tempat pembuangan sampah pada umumnya; dan
- Warga Jerman memperoleh uang dari penukaran sampah plastik.
Praktik pengelolaan sampah di negara-negara yang sudah dewasa tersebut dapat diimplementasikan di negara kita dengan kajian yang tepat dan yang paling sesuai.
Epilog
Pembangunan pabrik daur ulang sampah memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Tapi daripada membiayai BUMN-BUMN yang tidak jelas peruntukan dan manfaatnya bagi rakyat, lebih baik mendirikan pabrik daur ulang sampah yang jelas menguntungkan di masa depan, juga menjaga ekosistem lingkungan negara tercinta ini.
Bayangkan saja apabila terus menerus negara tidak peduli dengan pemanfaatan sampah, tanah subur Indonesia akan digantikan dengan gunung sampah yang berbau “sedap”.
Pengelolaan sampah yang baik membutuhkan komitmen dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berhak memaksa rakyatnya untuk mengelola sampah secara benar dengan menggunakan instrumen peraturan.
Perlu dikenakan sanksi bagi semua pihak yang melanggar aturan. Tidak hanya pemberlakuan aturan tertulis yang mendetail, harus disertai penegakan hukum demi keberlangsungan disiplin lingkungan.
Kita dapat memelihara bumi dan tanah Indonesia, mulai dari hal kecil seperti mengurangi penggunaan plastik, menggunakan tumbler dibanding botol kemasan, menggunakan tas belanja, memilah sampah organik dan bukan organik, membuang sampah pada tempat sampah yang telah dikategorikan, tidak membakar sampah, dan membuang sampah rumah tangga di TPS.
“Jika kamu pikir ekonomi lebih penting daripada lingkungan, coba hitung uangmu sambil menghirup udara yang tercemar.” – Guy McPherson
0 Comments