Optimis Memandang Desa

by | Jun 10, 2023 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa. Kata-kata yang disampaikan oleh Bung Hatta tersebut bukan hanya kutipan semata, tapi menegaskan bahwa dari dulu, desa adalah prioritas. 

Desa dalam Tata Kelola Indonesia

Desa atau dengan apapun sebutan lainnya memang sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk. Desa memiliki peranan penting baik dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia maupun setelahnya. 

Namun dalam keberjalanannya, desa belum mendapat tempat pada prioritas kebijakan negara. Kebijakan-kebijakan negara terhadap desa saat itu seolah menegasikan apa yang dikatakan Bung Hatta. 

Bukan karena belum ada regulasi yang mengatur, namun regulasi yang ada belum mampu mendeskripsikan desa mau dibawa ke mana dalam kerangka kebijakan negara itu. 

Pada masa orde baru misalnya, pemerintah menerbitkan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam implementasinya, UU tersebut lebih menjadikan desa sebagai objek kekuasaaan ketimbang sebagai subjek. 

Beranjak pada masa reformasi, melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap tata pemerintahan desa. 

Adanya BPD (Badan Perwakilan Desa) mengubah struktur dan fungsi kelembagaan desa. Kepala desa tidak lagi berkuasa secara absolut namun diimbangi oleh kontrol dari BPD sebagai lembaga desa yang menjalankan fungsi check and balance

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berusaha menyempurnakan berbagai regulasi sebelumnya terkait desa. Namun, tetap saja tidak dapat menjadi penengah antara dua prinsip pengaturan tentang desa yang menjadi perdebatan sejak lama. 

Semangat UU No. 32 Tahun 2004 lebih meletakkan desa pada posisi di bawah Pemerintah Kabupaten ketimbang mengakui dan menghormati kewenangan asli desa yang berasal dari hak asal usul. 

Semangat Perubahan dari Desa

Walaupun belum begitu bernas menerjemahkan cita-cita desa, namun dari waktu ke waktu kebijakan atau regulasi yang dibuat menunjukan ke arah yang  lebih baik. 

Lahirnya  UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa nafas perubahan yang cukup radikal. Masyarakat desa menyambut dengan semangat optimisme bahwa pada era ini, perubahan harus dimulai dari desa. 

UU Desa mampu memosisikan desa pada jalan tengah yaitu sebagai self governing community, yang tetap mengakui dan menghormati kewenangan asli desa dan hak asal usul dan desa sebagai layer hierarki paling bawah dalam sistem pemerintahan Indonesia. 

UU Desa adalah upaya negara untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat. Hal ini dibarengi dengan kemampuan keuangan negara untuk mentransfer dana desa kepada seluruh desa di Indonesia. 

Dana transfer yang diterima desa menjadikan keuangan desa cukup mapan, sehingga memberikan keleluasaan kepada desa untuk membangun desa sesuai dengan potensi desa yang ada. Namun, dinamika isu kebijakan tidak dapat dihindari. Lahirnya solusi selalu dibarengi dengan munculnya masalah-masalah baru. 

Pada sektor SDM misalnya, kepala desa dan perangkat desa bukan hanya harus menguasai fungsi-fungsi manajemen (POAC) saja, melainkan juga harus memahami anggaran secara keseluruhan. 

Sebelum adanya UU Desa, aparatur desa diisi oleh kualitas SDM yang ala kadarnya. Hal ini tentu berimbas pada pelaksanaan UU Desa tersebut. Di satu sisi negara ingin mengakselerasi desa, namun di sisi lain kematangan SDM belum disiapkan. 

Peningkatan Prestise dan Kualitas SDM Desa

Sekarang SDM aparatur desa terus menunjukan peningkatan kualitasnya. Menjadi aparatur desa sudah mulai dilirik oleh mereka yang lulusan perguruan tinggi, baik S1 bahkan S2. 

Mereka berbondong-bondong untuk menjadi aparatur desa. Hal ini tidak lain karena UU Desa memberikan kepastian status dan gaji, meskipun sampai saat ini belum ada perubahan besaran gaji yang didapat aparatur desa.

Menjadi aparatur desa tidak lagi dipandang rendah hanya karena berada pada layer hierarki pemerintahan yang paling bawah. 

Justru aparatur desa bangga karena jadi salah satu garda terdepan pelayanan masyarakat yang tak jarang menjadi pagar betis dalam meluruskan prasangka buruk masyarakatnya terhadap kinerja pemerintah.

Baik dana desa maupun dana transfer lain yang diterima desa, bertujuan sebagai pendorong agar masyarakat desa bisa berdaya. Selebihnya, merupakan usaha desa agar desa lebih mandiri baik dalam hal keuangan (dengan meningkatkan Pendapatan Asli Desa) dan pembangunan desa. 

Dengan kewenangannya yang semakin luas, desa harus membawa diri ke arah perbaikan dan kesejahteraan. Jangan malah terjerumus kepada tindakan yang menyengsarakan masyarakat. 

Desa adalah Emas

Saat ini semua mata tertuju pada desa. Media transparansi semakin beragam dengan dorongan teknologi. Semua bisa mengawasi, sehingga tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.

Optimisme kita terhadap desa juga harus dipupuk, terus menjaga nafas perubahan dengan tidak mudah puas dengan apa yang didapatkan sekarang. 

Regulasi dan peningkatan kualitas SDM kepala desa dan aparatur desa harus sejalan seirama untuk menciptakan harmoni agar kebijakan sepenuhnya bermanfaat bagi masyarakat. 

Bisa dikatakan, desa ibarat emas sebelum digali dari tambang. Jika bisa mengolahnya maka akan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan menciptakan nilai jual. Namun, jika tidak bisa mengolahnya maka emas itu tak lebih dari sekedar tanah biasa. 

2
0
Cuher Santoso ♥ Associate Writer

Cuher Santoso ♥ Associate Writer

Author

Lulusan S-1 Administrasi Publik Universitas Diponegoro, semasa kuliah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa. Seorang analis desa dan kelurahan di salah satu Pemkab di Jawa Tengah. Penikmat tulisan para pegiat BM.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post