Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia perlu berupaya keras menerapkan local content guna menjaga serta melindungi kepentingan nasional dalam era kompetitif yang sangat terbuka antarnegara. Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), yang merupakan optimalisasi local content ini, juga penting diterapkan pada sektor industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Namun ternyata, menerapkan TKDN ini bukan tanpa tantangan.
Persyaratan dan Polemik Local Content
Indonesia adalah salah satu pengguna terbesar dari berbagai produk TIK di dunia, yang sayangnya rangkingnya belum sebanding dengan kemampuan memproduksi sendiri di dalam negeri. Oleh karena itu, perlu upaya keras guna mendorong perkembangan industri ini dan meningkatkan kemandirian dalam negeri.
Terdapat 3 bentuk persyaratan yang dapat ditemukan dalam penerapan Local Content Requirements oleh negara penerima modal. Aspek-aspek yang termuat sebagai berikut:
- Pembelian atau penggunaan barang-barang buatan dalam negeri
- Jumlah kandungan lokal yang dipergunakan dalam proses produksi ditentukan secara pasti
- Merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan kegiatan investasi asing
Ketiga persyaratan tersebut memang menguntungkan bagi negara kita, tetapi juga menimbulkan beberapa polemik di antaranya:
- Adanya diskriminasi terhadap barang impor dan pemaksaan terselubung untuk membeli produk dalam negeri
- Pemilik modal kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihan kebijakan dalam menjalankan usahanya
- Pelaku usaha domestik yang tidak kompetitif untuk jangka panjang
Regulasi tentang TKDN: PP, Permen, dan MoU
Pasal 56 Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri mengatur bahwa produk dalam negeri wajib digunakan oleh pengguna Produk Dalam Negeri sebagai berikut:
- Lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan Barang/Jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari APBN/D termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri.
- BUMN, BUMD, dan swasta dalam pengadaan Barang/Jasa yang pembiayaannya berasal dari APBN/D; pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan badan usaha; dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.
Regulasi mengenai local content requirements ditemukan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 16/M-Ind/Per/2/2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri.
Hal ini ditegaskan pula dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Departemen Perindustrian Republik Indonesia dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Nomor 522/M-Ind/12/2005 tentang Pengutamaan Penggunaan Produk Dalam Negeri.
Peraturan tersebut membuktikan diakuinya prinsip Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebagai usaha pemerintah mendukung produk nasional di tengah membanjirnya produk impor. Selain itu, menjadi dasar dalam kerangka program peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Definisi TKDN pada TIK
Secara khusus, pemenuhan TKDN pada industri telepon seluler bertujuan memajukan produksi komponen lokal industri ini di dalam negeri, serta menjadikan tumbuh kembangnya sektor TIK menjadi lebih berkualitas dan berkontribusi besar terhadap kepentingan nasional.
Sebagai catatan penting, TKDN pada sektor TIK berlaku pada pembuatan perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Sesuai Permen Industri No. 29 tahun 2017, definisi TKDN pada TIK adalah besarnya komponen dalam negeri, pada produk telepon seluler, komputer genggam, atau komputer tablet.
Perhitungan nilai TKDN dilakukan dengan tiga skema, yakni skema perhitungan hardware, skema perhitungan software, dan skema perhitungan berbasis pengembangan inovasi. Selain memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia sendiri, kebijakan TKDN juga menarik para investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Investasi di sektor TIK meningkat karena adanya perluasan pada produk telepon genggam, yang salah satunya menerapkan surface mount technology pada proses manufaktur ponsel di beberapa pabrik dalam negeri.
Pada praktiknya, regulasi tentang TKDN pada sektor TIK ternyata tidak menjadi penghalang bagi vendor atau investor dalam berinvestasi di Indonesia. Namun begitu, dalam penerapannya masih ditemukan beberapa kendala dalam pemenuhan persyaratan mengenai TKDN.
Di antaranya, alur perizinan yang masih berjalan dengan tidak efisien, kualitas dalam negeri yang masih belum memenuhi syarat kualitas tertentu, juga biaya dan waktu produksi yang tergolong masih tinggi. Di sisi lain, merek lokal mengalami persaingan yang semakin ketat dengan produk atau merek asing.
National Treatment Principle
Pada dasarnya, Indonesia memiliki beberapa pilihan untuk menerapkan pengecualian bidang-bidang yang akan dikenai local content. Sebagai syarat, penerapannya dilakukan secara transparan sesuai dengan peraturan mengenai investasi itu sendiri, yakni undang-undang penanaman modal (UUPM).
Pilihan untuk menerapkan pengecualian secara transparan tersebut sebenarnya juga telah diatur oleh WTO. WTO memberikan kebebasan kepada negara-negara anggotanya dalam hal National Treatment Principle, dengan catatan hal tersebut tertuang dalam suatu peraturan atau undang-undang.
Sayangnya, pengenaan TKDN atau Local Content Requirement tidak termasuk dalam pengecualian National Treatment Principle yang diatur di dalam UUPM. Padahal, tidak adanya pengecualian tersebut akan berdampak negatif ketika Indonesia menerapkan TKDN.
Indonesia melanggar National Treatment Principle sebagaimana diatur pada General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) di mana Local Content dianggap sebagai suatu performance requirements yang justru akan menghambat perdagangan termasuk dalam lingkup regulasi tentang investasi.
Upaya pemerintah dalam melindungi perekonomian negaranya di tengah maraknya serbuan produk-produk asing memang dapat dijadikan argumentasi TKDN. Namun, UUPM hanya terbatas mengatur pengecualian prinsip non-diskriminasi dengan membedakan bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka, atau bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Jika digarisbawahi, ada dua poin permasalahan terkait hal ini:
- Penerapan TKDN sebagai salah satu upaya national protection bertolak belakang dengan prinsip non-diskriminasi sebagaimana termaktub pada UUPM. Menurut Pasal 7 UUPM terkait perlakuan terhadap penanaman modal, pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal kecuali dengan undang-undang.
- Adanya inkonsistensi terhadap ketentuan pasal 7 UUPM yang menyatakan tidak akan ada diskriminasi seperti pemaksaan nasionalisasi berseberangan dengan kenyataan yang ada dalam PP No. 29/2018 dan Permenkominfo No. 27/2015 yang masih mengatur nasionalisasi dengan memberlakukan komponen TKDN pada produk telepon seluler, komputer genggam, dan komputer tablet. Hal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan investasi saat ini.
Epilog: Rekomendasi Penyusunan RUU TKDN
Asas yang melandasi kegiatan penanaman modal di Indonesia yakni asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Dengan demikian, maka sudah selayaknya Indonesia memperlakukan hal yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, khususnya soal kepastian hukum.
Sudah sepatutnya Indonesia memberikan perlakuan hukum yang sama bagi para investor atau penanam modal asing. Perlu dipahami bahwa pengecualian nasionalisasi hanya bisa dilakukan melalui undang-undang, sedangkan saat ini belum ada undang-undang yang mengatur terkait TKDN.
Selain itu, sampai saat ini pun dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2021-2024 tidak ditemukan draf undang-undang terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri sebagai salah satu pedoman dasar yang berkaitan dengan laju investasi di Indonesia.
Melihat akan hal tersebut maka penulis merekomendasikan bagi DPR dan Pemerintah untuk segera mempertimbangkan disusunnya Rancangan Undang-undang Tingkat Kandungan Dalam Negeri pada Program Legislasi Nasional selanjutnya.
Dengan kebijakan yang tepat dan ditegakkan dengan efektif, pelaksanaan kegiatan investasi akan berjalan lebih maksimal, sehingga akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2018, yang telah disumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum bidang Lingkungan Hidup pada Deputi bidang Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [[email protected]]
0 Comments