Murid Pintar Enggan Jadi Guru?

by | Mar 21, 2019 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Sebagian besar orang tua selalu berdoa agar anaknya menjadi manusia mulia. Sebagian besar anak yang rajin belajar memiliki cita-cita mulia. Guru dianggap sebagai pekerjaan mulia. Dengan nalar silogisme, seharusnya kalimat selanjutnya adalah sebagian besar orang tua ingin anaknya menjadi guru, atau sebagian besar anak-anak yang rajin brlajar bercita-cita menjadi guru.

Namun, nalar silogisme tersebut tidak berlaku di dunia pendidikan. Sebagian besar orang tua mungkin ingin anaknya menjadi “guru kehidupan”, bukan guru dalam artian denotatif atau profesi yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Fakta selanjutnya, sebagian besar anak yang rajin belajar justru tidak ingin menjadi guru.

Cita-cita Siapa?

Hal tersebut di atas diperkuat dengan sebuah data yang diberikan oleh suatu lembaga bantuan Australia, yakni Analytical and Capacity Development Partnership  (ACDP), yang pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa, anak-anak terbaik di sekolah di Indonesia tidak bercita-cita menjadi guru. Pertanyaannya, “Lalu siapakah yang memiliki cita-cita mulia tersebut?”

Tentu banyak hal yang seharusnya menjadi pertimbangan kelayakan menjadi guru di luar kemampuan akademik siswa. Namun, saya tahu dengan pola kurikulum di Indonesia sampai saat ini, anak yang nilai rapornya baik, memang tidak banyak yang memimpikan cita-cita tersebut.

Sementara beberapa anak yang nilai akademisnya biasa saja justru ingin menjadi guru. Ini tentu harus menjadi perenungan bersama.  Karena bagaimanapun juga, proses pembentukan diri selama di sekolah juga akan membentuk karakter dan kemampuan berfikir seseorang.

Konstruksi Masyarakat

Permasalahan selanjutnya adalah, tujuan bersekolah untuk menjadi orang sukses. Definisi sukses ini yang di masyarakat kita kemudian selalu dikaitkan dengan suatu pekerjaan yang prestisius, terutama dari segi materi.

Misalnya, tidak sedikit anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter. Alasan yang dikemukaakan rata-rata bukan karena minat atau passion, tetapi karena memiliki potensi menghasilkan uang yang banyak.

Alasan lain adalah karena profesi tersebut dianggap sebagai lambang kecerdasan. Ada juga yang menganggap karena profesi tersebut mulia karena dapat menolong orang lain.

Jika memang begitu,  kemudian akan muncul sejumlah pertanyaan, “Apakah mencerdasakan bangsa itu bukan pekerjaan mulia? Kenapa profesi guru sepi peminat? Apakah karena gajinya kecil, atau karena tidak melambangkan kecerdasan?

Di sini saya menjadi curiga, bahwa pekerjaan guru sudah kehilangan makna mulianya di mata anak-anak berprestasi dan juga orang tua. Hal ini terlihat dari bagaimana profesi dosen, yang sebenarnya memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan guru, tetapi masih digandrungi oleh anak yang memiliki nilai akademik tinggi.

Hal itu, tampaknya terjadi karena adanya konstruksi masyarakat yang menganggap dosen sebagai pengajar ‘mahasiswa’, sedangkan guru hanyalah pengajar ‘siswa’. Dengan begitu, profesi dosen dianggap lebih memiliki ‘nilai prestisius’ ketimbang dengan guru. Lambang prestisius itu pun bisa jadi didorong oleh proses rekruitmen dosen yang seolah lebih ketat dibanding guru.

Beberapa proses rekrutmen guru di daerah utamanya daerah tertinggal proses rekrutmen guru hanya didasar kepada ‘siapa saja yang mau’ hal ini ditengarai karena jumlah guru di daerah tertinggal selalu lebih sedikit dengan jumlah guru di daerah yang perkotaan. Namun, lagi-lagi minimnya jumlah guru bisa jadi karena profesi guru bukanlah impian anak-anak kebanyakan, terlebih anak-anak yang cerdas.

Lebih banyaknya peminat profesi dosen daripada guru oleh murid cerdas tentu saja pertimbangannya bukanlah melulu soal pendapatan. Pasalnya jika dibandingkan dengan dosen, gaji seorang guru sebenarnya tidak jauh beda dengan gaji seorang dosen.

Untuk diketahui, ketika saya menjalani profesi dosen di kampus swasta, honor mengajar saya selama 3 bulan sebanyak Rp. 700 ribu karena saya bukan dosen tetap.  Besaran itu sama dengan guru honorer di daerah.

Dengan demikian, gaji memang bukanlah satu-satunya daya tarik profesi. Lambang kecerdasan dan prestise menjadi indikator tak kalah penting dalam menentukan pilihan profesi.  Guru tidak diminati karena dianggap bukan lambang kecerdasan, padahal guru merupakan kunci pemberian konsep dasar pada anak yang paling krusial karena masa-masa sekolah adalah masa-masa paling optimal dalam membentuk kecerdasan dan karakter anak.

Bahayanya

Jika guru adalah pelukis masa depan, maka dapat kita bayangkan apa yang terjadi jika pemberian konsep dasar literasi diberikan oleh orang-orang yang tidak paham tentang pengetauan itu sendiri. Atau bisa dibayangkan bagaimana jika anak-anak di Indonesia diajar oleh orang-orang yang tidak memiliki contoh giat belajar? Maka tidak heran ketika di hari kemudian banyak diantara kita menggunakan rumus secara serampangan tanpa tahu konsepnya.

Yang lebih buruk lagi,  ada anggapan bahwa profesi guru dianggap tempatnya orang-orang yang sudah putus asa mencari pekerjaan yang diimpikan.  Dengan modal ijazah S1 banyak mahasiswa dengan indeks prestasi sebesar 2 koma, datang ke sekolah-sekolah berharap mendapat peluang rezeki sebagai guru.  Tentu ini tidak hina, tetapi cukup menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki passion di dunia mengajar.

Akhirnya, yang jadi persoalan adalah ketika guru-guru tersebut hanya menjadikan ‘guru’ sebagai profesi semata. Bukan cita-cita apalagi passion. Dengan ilmu yang tidak memadai,  dengan gairah yang lesu atau dengan keputusasaan karena tidak ada yang menerima bekerja,  bahkan yang lebih buruk lagi dengan niat semata-mata sebagai jalan pintas agar kemudian hari bisa jadi PNS, kualitas seperti apa yang kita harapkan sebagai pelukis masa depan bangsa.

Saya tentu akan bilang bahwa tidak semua yang demikian itu buruk.  Bisa saja justru mereka menemukan passionnya kemudian terus mengasah kemampuan diri,  atau justru baru menemukan passionnya di sana tanpa ia sadari, sehingga suatu hari mampu mencetak murid-murid gemilang dan berahlak mulia.

Namun kembali lagi,  ketika cita-cita guru tidak menjadi primadona bagi sebagian besar siswa-siswa yang giat belajar, maka itu artinya profesi guru dianggap tidak prestisius.  Atau anggaplah profesi guru sedang mengalami kemerosotan nilai-nilai prestisiusnya di mata anak-anak dan orang tua.

Epilog

Saya sangat setuju dengan ungkapan bahwa ilmu akan membawa kita pada kebenaran, dan kebenaran akan membawa kita pada kebaikan.  Untuk itu,  demi segala kebaikan masa depan bangsa, saya berharap bahwa nilai-nilai prestisius guru kembali hadir pada setiap benak orang tua dan siswa.

Saya juga berharap, ketika sedang mendoakan anaknya, banyak orang tua memohon agar buah hatinya bisa mengemban amanat mulia sebagai guru.  Begitu juga bagi setiap siswa, dapat menjadi motivasi terbesarnya ketika mereka mengurangi kesenangan bermainya demi membaca buku agar kelak bisa menjadi guru.

Dengan ini,  saya mengajak, mari kita sama-sama berupaya agar nilai-nilai profesi guru menjadi benar-benar mulia,  luhur, dan agung, sehingga memungkinkan profesi guru diisi oleh  mereka yang giat belajar dan senantiasa memupuk ilmu di usia dini.

Tabik.

 

13
0
Indah Pratiwi ♥ Associate Writer

Indah Pratiwi ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah Analis Penelitian Kebudayaan pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemdikbud. Penulis mendeskripsikan dirinya sebagai staf jelata yang lebih lancar menulis status ketimbang bikin laporan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post