Menyoal Kewenangan APIP dalam Perhitungan Kerugian Keuangan Negara

by Dedhi Suharto ◆ Professional Writer | Feb 10, 2021 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Bersih | 11 comments

“Bagaimana ketetapan hukum ketika kejaksaan meminta Inspektorat melakukan perhitungan kerugian negara?”, tanya seorang auditor di grup whatsapp BM.org Active Writers. Salah satu respons terhadap pertanyaan tersebut adalah, ”Menarik ini untuk menjadi artikel.”

Ya. Soal kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara ini memang menarik. Terlebih bila dikaitkan dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), terutama inspektorat. Bagaimanapun juga pihak luar sering berpikir bahwa inspektorat memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara. Benarkah pemikiran pihak luar tersebut?

Kerugian Negara dan Kerugian Keuangan Negara: Samakah?

Sebelum membahas siapa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, kita mulai dari memahami kerugian negara terlebih dahulu dan di mana diaturnya. Kita juga perlu memahami kerugian keuangan negara dan di mana diaturnya.

Kemudian kita perlu mengelaborasi apakah kerugian negara dengan kerugian keuangan negara adalah istilah dari suatu substansi yang sama sehingga saling dapat dipertukarkan dan saling menggantikan?

Kerugian negara didefinisikan secara jelas pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pada pasal 1 ayat 22 sebagai “kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Definisi ini dikutip kembali dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK pada pasal 1 ayat.

Mengenai Kerugian Negara (yang selalu diartikan sebagai kerugian yang Nyata dan Pasti), dijelaskan oleh Kevin D. Zega di laman http://mappifhui.org bahwa berbicara keuangan Negara dan kerugian negara adalah pembicaraan facet antara hukum pidana, hukum administrasi negara dan bahkan dengan hukum perdata.

Zega menulis, “Dari sisi Hukum Administrasi Negara, penyelesaian permasalahan Kerugian Negara (KN) tidaklah selalu dijadikan dasar penyelesaian berbasis Hukum Pidana, karena Hukum Pidana tetap dianggap terarah pada Ultimum Remedium, Hukum Pidana sebagai pilihan akhir, setelah pemulihan melalui Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata mengalami kendala dan tidak berjalan.

Dengan demikian pemulihan KN yang didasarkan suatu akibat administrasi, maka mekanisme regulasinya adalah Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004 (Perbendaharaan Negara) dan Pasal 20-21 UU Nomor 30 Tahun 2014 (Administrasi Negara).”

Pendapat Zega ini menarik karena pada pasal 20-21 UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak menggunakan istilah kerugian negara tetapi istilah kerugian keuangan negara. Perhatikan bunyi Pasal 20 ayat (2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. tidak terdapat kesalahan;
b. terdapat kesalahan administratif; atau
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Dari tulisan Zega tersebut dapat ditarik simpulan bahwa Zega mempertukarkan istilah kerugian negara dengan istilah kerugian keuangan negara dan menggunakan kedua istilah itu sebagai istilah yang bisa saling menggantikan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak mendefinisikan kerugian keuangan negara. Istilah kerugian keuangan negara disampaikan begitu saja pada Pasal 16 ayat (6),  Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 20 ayat (4).

Apakah benar bahwa kerugian keuangan negara sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 adalah sama persis dengan yang dimaksud kerugian negara sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK?

Pendapat Zega ini beralasan karena Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pun menggunakan frase “merugikan keuangan negara”, bukan frase “merugikan negara”. Bahkan istilah kerugian keuangan negara juga terdapat pada penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut.

Oleh karena itu, penulis sependapat dengan Zega bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah sama dengan yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara dan kedua istilah tersebut dapat saling menggantikan.

Oleh karenanya, definisi kerugian keuangan negara pada UU Nomor 30 Tahun 2014 dapat diambil dari definisi kerugian negara sebagaimana termaktub pada UU Nomor 1 Tahun 2004 dan UU Nomor 15 Tahun 2006.

Siapa yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara?

Dengan asumsi istilah kerugian negara adalah sama dengan istilah kerugian keuangan negara, maka kewenangan perhitungan kerugian negara ini dapat dielaborasi lebih jauh dengan melibatkan UU Nomor 30 Tahun 2004 sebagai landasan hukumnya.

Maka, pertanyaan siapa yang berwenang menghitung kerugian negara dapat kita dalami dari UU Nomor 15 Tahun 2006 dan juga UU Nomor 30 Tahun 2014.

Dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 disebutkan pada Pasal 10 (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Dapat kita pahami dari ayat tersebut bahwa BPK berwenang menghitung kerugian negara yaitu dari frase “menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara”.

Sedangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 disebutkan pada Pasal 20 ayat (4) “Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.”

Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa APIP termasuk di dalamnya Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) maupun Inspektorat Jenderal, Inspektorat Utama, maupun inspektorat-inspektorat pada pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara/kerugian keuangan negara.

Mengapa demikian? Karena tidak mungkin tertulis frase “pengembalian keuangan negara” pada ayat tersebut sementara kerugian keuangan negaranya belum dihitung.

Pendapat saya tersebut juga didasarkan kepada penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menyebut secara spesifik instansi yang berwenang oleh karena itu terbuka dengan instansi yang disebut oleh undang-undang terkait lainnya, dalam hal ini adalah UU Nomor 15 Tahun 2006 yang memberikan kewenangan kepada BPK dan UU Nomor 30 Tahun 2014 yang secara implisit membolehkan APIP melakukan perhitungan kerugian keuangan negara.

Hal ini juga didasarkan atas Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2015/PN.BNA mendasarkan putusannya dengan perhitungan kerugian keuangan negara dilakukan oleh BPKP Perwakilan Aceh.

Karena istilah kerugian keuangan negara dapat dipertukarkan dengan kerugian negara, maka definisi kerugian keuangan negara pun sama dengan definisi kerugian negara. Dalam definisi kerugian negara disebutkan frase “yang pasti dan nyata jumlahnya”.

Oleh karena itu, dalam hal menghitung kerugian keuangan negara, maka prosedur yang harus ditempuh adalah audit investigasi atau audit untuk tujuan tertentu ataupun audit khusus lainnya yang memberikan kemampuan kepada auditor untuk menyatakan suatu kerugian keuangan negara dalam bentuk “yang pasti dan nyata jumlahnya” tersebut.

Penulis meyakini alasan mengapa BPKP Perwakilan Aceh dalam kasus di atas diterima perhitungannya ialah karena berhasil meyakinkan hakim bahwa prosedur yang ditempuh dalam menghasilkan perhitungan kerugian keuangan negara telah memadai.

Epilog

Penulis berpendapat bahwa kerugian negara dan kerugian keuangan negara adalah dua istilah yang sama yang bisa saling menggantikan sebagaimana telah penulis uraikan di atas. Karena itu, penulis berpendapat bahwa BPK maupun APIP memenuhi syarat sebagai “instansi yang berwenang” sebagaimana yang tertera pada penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun demikian penulis menyadari bahwa pendapat ini perlu diuji lebih jauh oleh para pakar di bidang hukum. Oleh karena itu, penulis mengusulkan kepada Birokrat Menulis untuk menyelenggarakan webinar mendiskusikan masalah ini dengan mendatangkan para pakar hukum yang menguasai pengaturan terkait penghitungan keuangan negara, baik dari sisi hukum pidana maupun hukum administrasi pemerintah, sehingga semakin menjadi terang benderang persoalan ini.

Ilustrasi Gambar : pixabay.com


4
0
Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.

Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Author

Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.

11 Comments

  1. Avatar

    Sangat menarik untuk dibahas

    Reply
  2. Avatar

    Bagaimana dengan adanya APIP dari PPUPD apakah sama fungsinya dengan Auditor

    Reply
  3. Avatar

    Terima kasih, sangat bermanfaat

    Reply
    • Avatar

      Tulisan ini hanya pendapat pribadi, dan tidak dapat mewakili fakta hukum yang berlaku bahwa ada perbedaan secara nomenklatur terkait kerugian negara dengan kerugian keuangan negara

      Reply
      • Avatar

        Kerugian negara belum tentu kerugian keuangan negara, akan tetapi kerugian keuangan negara sudah pasti kerugian negara. Kerugian keuangan negara jika dilihat dari karakteristiknya bersifat nyata dan pasti, artinya kerugian keuangan negara harus bisa dihitung secara finansial (measureable). Contohnya korupsi pembangunan jembatan tentunya akan menimbulkan dampak luas, dari segi finansial negara dirugikan sejumlah uang yang dikorupsi oleh pelaku (kerugian keuangan negara), sedangkan dampak sosial dan ekonomi karena terhambatnya mobilitas dan kegiatan ekonomi masyarakat merupakan kerugian negara dan masyarakat yang lebih luas. Tentunya belum ada indikator, metode, ataupun cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengkonversi nilai riil dari dampak sosial dan ekonomi dari sebuah perbuatan korupsi itu sendiri. Sangat tidak bijak menilai harga ayam dari telurnya. Maka korelasi yang dapat dikiaskan jika menggunakan analogi telur pecah adalah, kerugian keuangan negara adalah senilai harga telur, sedangkan kerugian negara adalah sejumlah telur yang tidak jadi menetas menjadi anak ayam.

        just my opinion

        Reply
  4. Avatar

    Salut kepada penulis.
    Alhamdulilah sampai dengan hari ini tugas dan fungsi BPK dan APIP sinergi.

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih, pak Harmoko Umat.

      Reply
  5. Avatar

    Sangat rasional, meskipun harus dikaji lebih dalam oleh para pihak terkait

    Reply
    • Avatar

      Betul, Pak Maru. Tulisan ini untuk memicu pembahasan yang lebih mendalam.

      Reply
  6. Avatar

    menarik pak penjelasannya. mantap

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih, pak Muhammad Naim.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post