Promosi jabatan entah itu untuk sektor swasta, BUMN hingga instansi pemerintah merupakan hal yang didambakan oleh para pegawai. Promosi ke jenjang yang lebih tinggi merupakan wujud dari penghargaan terhadap kinerja dan pengabdian seorang pegawai.
Promosi jabatan bukan saja berkorelasi lurus dengan peningkatan pendapatan melainkan juga merupakan prestise dalam lingkungan instansi, keluarga, dan masyarakat.
Dalam falsafah Jawa: jenang-jeneng, dapat dikatakan bahwa promosi jabatan “ora mung golek jenang, neng yo golek jeneng”.
Artinya promosi jabatan merupakan bentuk aktualisasi diri, hingga tidak jarang demi mendapatkan sebuah promosi jabatan (utamanya dalam lingkup instansi pemerintah), seorang pegawai rela melakukan berbagai cara.
Profesi Makelar Jabatan
Tidak dipedulikan lagi cara prosedural atau tidak prosedural, dinafikan pula halal haram. Terpenting tujuan tercapai, sogok, suap menjadi hal biasa.
Ibarat hukum ekonomi, tingginya ambisi terhadap sebuah jabatan menjadikan peluang bagi para pemburu rente, makelar jabatan.
“Profesi ini” dapat berasal dari lingkup internal birokrasi maupun luar birokrasi tetapi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pengisian jabatan bermunculan.
Ada yang memang mempunyai pengaruh, tetapi ada juga yang hanya memancing di air keruh.
Konon, tiap jabatan dan asal instansi mempunyai tarif yang berbeda. Mereka berlomba mencari ASN yang siap menyediakan sejumlah uang demi sebuah posisi tertentu.
Pertemuan kepentingan antara “mereka” yang menginginkan jabatan dengan “mereka” yang mempunyai akses terhadap pengisian jabatan terwujud dalam permufakatan ekonomi dengan melibatkan perputaran uang dalam jumlah yang tidak sedikit.
Bahkan disinyalir mencapai trilyunan rupiah.
Ironisnya lagi, meskipun dua dekade reformasi birokrasi telah terlampaui, praktik-praktik curang ini belum mampu dihilangkan.
Perputaran Uang dalam Promosi-Mutasi
Berkait dengan kongkalikong pengisian jabatan, ada beberapa poin yang disampaikan oleh Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi (tempo.co, 10 Januari 2017).
Pertama, diperkirakan lebih dari Rp 35 triliun uang yang berputar dalam proses pengisian jabatan (promosi-mutasi) dalam lingkup pemerintah daerah. Asumsi ini, lanjutnya, hanya menghitung potensi pengisian jabatan setara eselon II dan III.
Angkanya dimungkinkan akan menggelembung, jika perhitungan ditambah dengan pengisian jabatan setara eselon IV.
Kedua, praktik ini bersifat masif di seluruh Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. Konon, setiap jabatan mempunyai “harga” masing-masing.
Sofian (tempo.co, 30 Januari 2017) bahkan dengan rinci menyampaikan adanya percaloan pada sedikitnya separuh dari pengangkatan 250 ribu pegawai per tahun dengan rata-rata Rp 100 juta per orang.
Lebih lanjut dikatakan pula bahwa sebanyak 90 persen proses pengisian 21 ribu jabatan kepala dinas di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota diduga diperjualbelikan dengan kisaran harga Rp 1 miliar per jabatan.
Sedikit catatan dari KASN adalah untuk tingkat pemerintahan pusat isu suap dalam pengisian jabatan relatif lebih sedikit jika dikomparasikan di daerah. Hal ini karena proses tersebut mendapat pengawasan dari KASN.
Hanya Sedikit yang Diproses Hukum
Hal-hal yang disampaikan oleh ketua KASN tersebut memang masih berupa asumsi dan dugaan berdasarkan isu yang berkembang.
Namun, tidak ada salahnya poin-poin yang disampaikan tersebut dijadikan kaca benggala untuk kemudian dijadikan momentum dalam mewujudkan manajemen ASN yang berbasis merit dan zero tolerance terhadap praktik jual beli jabatan.
Saya yakin, saat ini, mayoritas instansi baik itu pemerintah pusat maupun daerah yang menjalankan manajemen ASN khususnya dalam hal pengisian (promosi) jabatan dengan mengedepankan transparansi dan kompetensi.
Faktanya, meski praktik kotor dalam pengisian jabatan dikatakan masif namun hingga detik ini “hanya” ada tiga kasus yang diproses hukum.
Kasus pertama menimpa Bupati Klaten, Sri Hartini, yang ditangkap KPK pada tahun 2017 untuk kemudian dijatuhi vonis penjara 11 oleh pengadilan tipikor Semarang pada tahun yang sama.
Kemudian pada tahun ini, terdapat dua kasus yaitu kasus Romahurmuziy cs dalam suap pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama dan Bupati Kudus, M. Tamzil cs. terkait uang suap untuk sebuah posisi kepala dinas. Terkini Bupati Pemalang juga terseret ke dalam pusara jual beli jabatan.
Solusi: Dekonstruksi Pengisian Jabatan
Sejatinya pemerintah dalam hal ini Kementerian PAN dan RB serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) terus berikhtiar untuk mengikis habis suap jabatan. Salah satunya dengan memperkenalkan model promosi terbuka terhadap promosi/pengisian jabatan tinggi setara eselon I dan II.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, terkait dengan penentuan pemenang, saat ini panitia seleksi (pansel) hanya bertugas untuk menentukan peringkat tiga besar terbaik.
Artinya, peserta dengan nilai terbaik tidak mesti kemudian dilantik untuk menduduki jabatan yang dilelangkan oleh pejabat pembina kepegawaian. Bisa peringkat kedua atau bahkan yang ketiga yang dipilih. Kondisi ini menimbulkan celah yang dapat memicu adanya transaksi suap jabatan.
Kedua, tidak jarang seorang calon pejabat/pemenang lelang jabatan sudah ditetapkan bahkan sebelum proses seleksi dibuka.
Hal ini dapat berakibat pada “calon-calon boneka”, yang hanya berperan sebagai peserta “pendamping” guna memenuhi syarat wajib seleksi terbuka di mana seleksi minimal diikuti oleh tiga pelamar.
Calon-calon pendamping ini juga berpotensi membuka adanya suap jabatan. Proses seleksi membutuhkan energi dan konsentrasi, sehingga tidak salah jika calon pendamping mendapatkan “uang lelah”.
Menurut Thomas Hobbes, manusia adalah hommo homini lupus, manusia bisa sangat kejam dengan “memakan” manusia lainnya. John Stuart Mill menyebut manusia sebagai homo economicus artinya adanya sekecil apapun peluang akan dimanfaatkan.
Dalam konteks promosi jabatan, demi syahwat kekuasaan tidak menutup kemungkinan ASN yang satu akan saling sikut dengan ASN lainnya dengan menghalalkan segala cara demi sebuah ambisi bernama jabatan.
Konsep pengisian khususnya promosi jabatan saat ini harus diakui sudah sangat baik dalam tataran teori namun masih menyisakan celah dalam tataran praktis.
Untuk itu dengan mengadopsi prinsip dialektika Hegel dan dekonstruksi Derrida, tidak ada salahnya jika proses seleksi terbuka dan pengisian jabatan ASN lainnya terus didekonstruksi untuk mendapatkan sebuah sintesis berupa konsep pengisian jabatan yang ideal dalam tataran konsep dan praktis.
Sebuah konsep yang menutup ruang transaksi birokrasi. Misalnya saja dalam sebuah seleksi terbuka, peringkat pertama yang mendapatkan nilai terbaiklah yang dilantik.
Atau, jika kita mengadaptasi dari perilaku manusia menurut Hobbes dan Mill atau bahkan Mochtar Lubis (1978) di mana manusia cenderung berperilaku negatif maka tidak ada salahnya jika pengisian jabatan dan promosi jabatan didasarkan pada Daftar Urut Kepangkatan (DUK).
Apakah model ini menyalahi konsep merit? Tentu tidak.
Saat ini proses rekrutmen ASN sudah berlandaskan pada kompetensi dan integritas serta zero tolerance terhadap suap menyuap.
Dengan kata lain, adanya rekrutmen ASN yang berkualitas akan menghasilkan ASN yang berkualitas pula. ASN-ASN unggul yang terpilih dari jutaan pelamar ini nantinya tidak perlu untuk diseleksi lagi.
Assesment dalam rangka mewujudkan the right man on the right place, kesesuaian pejabat dengan jabatan yang diduduki berdasarkan latar belakang pendidikan, kompetensi dan pengalaman kerja. Ketika pangkat kepegawaian ASN telah memenuhi syarat maka secara otomatis mereka berhak promosi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Model DUK (yang telah modifikasi dan jika dipadukan dengan konsep merit) ini tidak dapat dikatakan kembali ke jalan suram sebelum reformasi birokrasi tetapi justru banyak keuntungan yang didapat.
Misalnya, berkait dengan proses seleksi yang hanya dilakukan oleh badan pertimbangan pangkat dan jabatan (baperjakat) dan tidak memerlukan panitia seleksi yang lintas bidang dan sektoral, maka proses pengisian jabatan dapat berjalan lebih cepat sehingga banyaknya kekosongan jabatan seperti saat ini tidak akan terjadi lagi.
0 Comments