Perihal persaudaraan kemanusiaan dan perdamaian dunia selalu menjadi perhatian penting tokoh kegamaan dunia.
Lima tahun lalu Grand Syaikh Al Azhar Syekh Ahmad el-Tayeb dan Paus Fransiskus menandatangani Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama (Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together).
Tentu saja penting untuk mengingat dan menyegarkan kembali semangat tersebut karena keabadian pesan yang dikandung dan konteks kekinian.
Setahun setelahnya, momentum Hari Internasional Persaudaraan Manusia ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk diperingati sebagai bagian dari komemorasi internasonal.
Menghargai Kemanusiaan dan Persaudaraan
PBB patut bersegera dengan niatan tersebut lantaran motif sikap segregatif tetap mengemuka dalam bentuk pengabaian nilai kemanusiaan dan merendahkan persaudaraan kemanusiaan.
Dalam semangat itu pula, seruan utuk menghargai sisi kemanusiaan dan pedamaian dunia perlu terus ditegakkan. Hal ini menjadi penting mengingat kemanusiaan dan perdamaian dunia adalah dua sisi mata uang yang saling berhubungan dan terkoneksi dengan erat.
Apa yang menjadi keprihatinan kalangan agama dunia, sebagaimana tertuang dalam dokumen yang ditandatangani dua tokoh agama dunia di atas, menjadi penegas bahwa agama diharapkan menjadi pihak yang berperan penting dalam nilai kemanusiaan dan perdamaian.
Seruan untuk menyatukan langkah dalam perbedaan iman dan keyakinan
perlu terus digaungkan karena agama pada dasarnya tidak memiliki intensi untuk memecah belah umat beragama.
Semua agama menyuarakan hal ini.
Namun demikian, di panggung politik dengan segala klaim dan provokasinya, perpecahan itu begitu dekat. Diakui atau tidak, penggunaan simbol dan idiom keagamaan lekat dipakai. Para pelakunya berdalih bermacam rupa untuk memanipulasi maksud dan tujuan demi memuaskan nafsu politiknya.
Lebih jauh, di pentas internasional nyata terlihat banyak pemimpin dunia yang mengabaikan nilai perdamaian dunia. Kita disuguhkan dengan kenyataan bahwa damai telah memiliki jarak yang terlalu jauh dengan keseharian kita hari ini.
Beberapa elit dunia telah sedemikian rupa menjadikan berbagai hal sebagai pemicu perang, kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, di samping sebagai pemantik kekerasan atau pertumpahan darah.
Kelelahan Peradaban
Amin Maalouf dalam Disordered World, A Vision for The Post 9/11 World (2011), melihat sikap politik tersebut lebih berupa berupa sikap yang cenderung mendasarkan banyak hal pada kekacauan.
Maalouf melihat, kekacauan itu mengambil bentuk pembenaran lewat pendasaran pada tiga faktor, yakni:
- intelektual (pernyataan yang membenarkan alienasi sosial dengan penolakan untuk hidup berdampingan dan kritik bersama).
- ekonomi dan keuangan (bahwa makin menipisnya sumber daya alam dan minyak memerlukan eskplorasi alam dan politik lebih lanjut), dan
- perubahan iklim (dominasi industrialisasi dan kapitalisme harus terus dijaga dengan segala cara).
Kondisi dan kecenderungan yang disampaikan Maalouf membawanya pada kesimpulan bahwa kita tengah mengidap “kelelahan peradaban”. Pernyataan ini berseberangan dengan apa yang disebut sebagai benturan peradaban (Samuel Huntington, 1993) atau lebih jauh benturan antarperadaban (Bernard Lewis,1970).
Maalouf mungkin memahami adanya kejenuhan dan kelelahan di satu sisi, namun setiap hari kita tetap disuguhkan drama kemanusiaan di berbagai belahan dunia yang tidak mengenal istirahat di sisi lainnya.
Tragedi genosida di Palestina yang berlarut-larut, di antaranya karena dukungan Barat,
jelas mengabaikan nilai hakiki kemanusiaan dan masih mewarnai hari-hari kita.
Barat, dengan kampanye war on terror terhadap terorisme,
terbuka untuk mengakuinya ataupun tidak, seperti membenarkan
tesis Huntington.
Barat tengah mengajarkan dan memaksakan demokrasi semu ke sejumlah, jika bukan sebagian besar, negara Timur Tengah, Afrika Barat, dan belahan dunia lainnya. Benturan peradaban yang digagas Huntington sejatinya masih menghantui relasi Islam dan Barat.
Dalam relasi tersebut, Huntington seperti mendandani Islam dengan pakaian jahat dan mentransfer karakteristik konflik ke aktor baru bernama Islam.
Ia selayaknya menemukan musuh baru dalam Islam selepas pudarnya Uni Soviet. Dia memakai diksi yang menyeramkan, dengan menyebut batas yang penuh darah pada Islam. Dengan batas tersebut, segala yang kemudian dikreasikan adalah perang dan kematian.
Huntington, dengan karya intelektual yang tercatat sebagai yang terbanyak dibahas sejauh ini (Jeffrey Haynes, 2016), bisa jadi sudah dianggap klasik dan kuno.
Namun demikian, dalam beberapa hal, pandangan dan visinya dianggap masih relevan hingga saat ini. Ia merepresentasikan wajah agama (Islam) yang garang, beringas, dan doyan darah di satu pihak dengan Barat yang berkebudayaan tinggi dan agung di pihak lainnya.
Benturan peradaban ala Huntington memang fenomenal. Secara langsung, dunia merespons kegundahannya dengan membentuk United Nations Alliance of Civilization (UNAOC) pada 2005 menyusul ide dialog untuk perdamaian dunia yang disuarakan Sayed Muhammad Khatami (Presiden Iran kini).
UNAOC selanjutnya membawahi belasan lembaga institusi dan non-institusi yang melibatkan bermacam kalangan dari berbagai negara. Lembaga ini aktif mempromosikan pandangan wasathiyah (moderat) yang diyakini mampu menjadi antitesa benturan peradaban Huntington.
Dengan sikap moderat, Barat dan Islam duduk bersama
dalam dialog untuk menemukan kalimatun sawa (common word) yang kelak dijunjung
bersama dalam kesepahaman dan empati.
Hal ini menandai upaya dan kampanye tentang perdamaian dan persaudaraan manusia
terus digaungkan.
Namun begitu, damai tetap merupakan hal yang perlu diperjuangkan dan ditegakkan lebih lanjut, bukan dalam kontestasi si vis pacem para bellum.
Kondisi ini menjadi pertanyaan serius terhadap komitmen untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan manusia sebagaimana dituangkan dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama yang diprakarsai dua agama besar dunia.
Mengembalikan Pemahaman tentang Tujuan Sejati Agama
Dokumen Persaudaraan Manusia tersebut menjelaskan dengan gamblang perlunya semua pihak, dengan latar agama apapun, untuk menghindari berbagai kepentingan yang diakibatkan oleh manipulasi politik terhadap agama dan penafsiran yang dibuat oleh kelompok agama yang, sepanjang sejarah, telah memanfaatkan kekuatan sentimen keagamaan di hati untuk bertindak sedemikian rupa.
Dokumen ini juga menjelaskan dan mengambil sikap bahwa hal demikian tidak ada hubungannya dengan kebenaran agama. Hal ini semata dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politik, ekonomi, duniawi, dan jangka pendek.
Tujuan pertama dan terpenting dari agama adalah untuk beriman kepada Tuhan, menghormatiNya, dan mengajak semua orang untuk percaya bahwa alam semesta ini bergantung pada Tuhan yang mengaturnya.
Asumsi ini menekankan kesadaran bahwa Dialah Sang Pencipta yang telah membentuk kita dengan kebijaksanaan ilahi-Nya dan telah menganugerahkan kepada kita anugerah kehidupan untuk melindunginya.
Sebuah anugerah yang tak seorang pun berhak mengambil, mengancam, atau memanipulasinya demi kepentingan dirinya sendiri.
0 Comments