Latar Belakang Penyederhanaan Birokrasi
Sejak penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan metode growth diagnostics dalam perencanaan strategi pembangunan nasional. Growth Diagnostics merupakan metode untuk mencari kendala yang paling mengikat (the most binding constraint) pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Metode ini merupakan rekomendasi dari Profesor Ricardo Hausmann dalam kuliah umum “Growth Diagnostics, A New Approach to National Development Strategies: Identifying the Binding Constraint to Growth in Indonesia (Early Findings)” yang diselenggarakan oleh Bappenas pada 12 Desember 2017 lalu.
Profesor Ricardo Hausmann menyampaikan bahwa Indonesia berada pada posisi yang strategis dan diiringi pertumbuhan ekonomi potensial yang tinggi, tetapi belum sepenuhnya memanfaatkan kesempatan yang ada. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengidentifikasi the most binding constraint agar perekonomian tumbuh lebih cepat lagi.
Menteri PPN/Bappenas saat itu, Bambang Brodjonegoro, dalam beberapa kali pemaparannya terkait dengan Fokus Pembangunan menyampaikan bahwa penghambat utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah regulasi dan institusi.
Regulasi dianggap menghambat karena tidak mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis. Bahkan, regulasi dianggapnya cenderung membatasi khususnya pada regulasi yang berkaitan dengan tenaga kerja, investasi dan perdagangan.
Kedua, kualitas institusi yang rendah. Kualitas institusi yang rendah ini ditunjukkan dengan banyaknya kasus korupsi dan ketidakefisienan birokrasi yang menyulitkan koordinasi antar lembaga, khususnya dalam mengeksekusi kebijakan yang sifatnya lintas sektoral baik di tingkat antar pemerintah pusat maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan Pemerintah terkait Penyederhanaan Birokrasi
Hasil identifikasi penghambat utama (the most binding constraint) pertumbuhan ekonomi ini, menjadi salah satu fokus pembangunan nasional untuk periode RPJMN 2020-2024.
Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa birokrasi dan prosedur yang panjang menghambat masuknya investasi, sedangkan investasi sangat dibutuhkan untuk penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, dalam arahan beliau, birokrasi dan prosedur dalam kegiatan pemerintahan harus disederhanakan melalui penyederhanaan eselonisasi, dari 4 (empat) level menjadi 2 (dua) level.
Arahan Presiden RI Joko Widodo tersebut, selanjutnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) dengan menerbitkan 2 (dua) kebijakan utama yang mengakomodasi Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melakukan penyederhanaan birokrasi.
Kebijakan yang pertama, yakni menerbitkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional. Kebijakan tersebut memberikan insentif berupa kemudahan dalam menyederhanakan birokrasi K/L dengan mengalihkan Jabatan Administrasi (Jabatan Struktural Eselon III sampai dengan V) ke dalam Jabatan Fungsional.
Kebijakan yang kedua, KemenPANRB menetapkan bahwa penyederhanaan birokrasi merupakan quick wins dalam penilaian Reformasi Birokrasi sebagaimana yang dimuat dalam PermenPANRB Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.
Penyederhanaan birokrasi merupakan bagian dari penataan dan penguatan organisasi. Dalam penyelenggaraannya, penataan dan penguatan organisasi terdiri dari dua komponen utama yaitu penataan organisasi dan tata laksana.
Penataan organisasi memiliki muatan yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan penyesuaian struktur dan penyesuaian metode evaluasi kelembagaan dalam mengakomodasi pencapaian tujuan strategi K/L.
Sedangkan penataan tata laksana berkaitan erat dengan penyesuaian proses bisnis dan penerapan teknologi informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi K/L dalam pencapaian tujuan strategisnya yang telah ditetapkan. Keputusan K/L untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan penataan dan penguatan organisasi mempengaruhi skor akhir dari Indeks Reformasi Birokrasinya.
Didorong oleh Kebutuhan
Namun demikian, kedua kebijakan di atas tidak fair jika ‘hanya’ dipandang sebagai instruksi tanpa mempertimbangkan kebutuhan dalam melakukan penyederhanaan birokrasi oleh masing-masing K/L. Kebutuhan didefinisikan sebagai gap antara tujuan strategis yang ingin dicapai oleh K/L dengan kondisi existing seperangkat proses bisnis dan struktur yang tersedia (Gambar 1).
Tujuan strategis K/L – dalam hal ini Rencana Strategis K/L – disusun dengan mempertimbangkan kontribusi K/L berdasarkan tugas dan fungsinya pada sasaran dan indikator program nasional pada RPJMN yang telah ditetapkan. Dengan demikian, penyederhanaan birokrasi sebaiknya berangkat dari identifikasi gap sesuai kebutuhannya, yaitu apa tujuan strategis yang diemban padanya dan apa yang perlu dibenahi dari sisi proses bisnis dan strukturnya.
Identifikasi gap yang pertama, yaitu pembenahan peta proses bisnis. Pada implementasinya, penyusunan proses bisnis pemerintahan mengikuti pendekatan structure follow strategy. Hal ini terlihat dari apa yang diamanatkan dalam PermenPANRB Nomor 19 Tahun 2018 tentang Penyusunan Peta Proses Bisnis Instansi Pemerintah.
Berdasarkan regulasi tersebut, peta proses bisnis didefinisikan sebagai diagram yang menggambarkan hubungan kerja yang efektif dan efisien antar unit organisasi untuk menghasilkan kinerja sesuai dengan tujuan strategis organisasi agar menghasilkan keluaran yang bernilai tambah bagi pemangku kepentingan.
Dalam teknis penyusunannya, tujuan strategis atau Rencana Strategis K/L turut menetapkan Sasaran Strategis K/L, yang kemudian dialirkan ke bawah (cascade) ke dalam Sasaran Program/Outcome, dan Sasaran Kegiatan/Output (Gambar 3).
Mempertimbangkan definisi Peta Proses Bisnis dan muatan dalam Rencana Strategis K/L, penyusunan Peta Proses Bisnis menjadi sangat penting dalam upaya mencapai Sasaran Strategis K/L.
Proses bisnis menjembatani kegiatan daily operation unit dapat diselenggarakan untuk mencapai Sasaran Kegiatan/Output dan secara bottom-up berkontribusi pada pencapaian Sasaran Strategis K/L. Idealnya, secara top-down ketika sasaran di level puncak berubah, sasaran dan proses di bawahnya juga ikut menyesuaikan.
Lebih jauh, penyederhanaan birokrasi dalam koridor proses bisnis dapat diartikan sebagai upaya minimalisasi keterlibatan banyak fungsi/unit, optimalisasi suatu fungsi/unit, dan minimalisasi subproses, dan juga prosedur di dalam suatu proses (Gambar 4).
Dengan demikian, penyederhanaan birokrasi dapat mengakselerasi waktu pelayanan dan pada akhirnya meningkatkan produksi output dalam kurun waktu yang sama.
Identifikasi gap yang kedua adalah penataan struktur. Struktur organisasi merupakan aspek pokok organisasi yang sering dianalisis dan dibahas oleh banyak pihak. Secara ideal struktur organisasi bersifat dinamis sebagai konsekuensi dari adaptasi terhadap dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Perubahan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk perubahan proses bisnis, yang kemudian dirangkai pada unit-unit sesuai dengan fungsinya sebagai para pemilik proses.
Dengan demikian, struktur organisasi yang disusun benar-benar mencerminkan kegiatan dan proses yang dibutuhkan dalam memproduksi output sebagai kontribusi pencapaian seperangkat sasaran pada tingkatan yang lebih tinggi.
Penataan struktur, dalam konteks pemerintahan diatur dalam PermenPANRB Nomor 20 Tahun 2018 tentang Evaluasi Kelembagaan. Kegiatan evaluasi tersebut dapat dilaksanakan paling singkat satu kali dalam 3 (tiga) tahun, sehingga pelaksanaannya dapat sejalan dengan penyusunan Rencana Strategis K/L.
Penyederhanaan Birokrasi Bukan a One-time Exercise
Namun demikian, meskipun berbagai hal di atas dilakukan, proses penyederhanaan birokrasi tidak hanya selesai sampai disitu saja. Penyederhanaan proses bisnis dan struktur sangat erat kaitannya dengan analisis jabatan dan analisis beban kerja, serta penyesuaian subproses dan prosedur dalam organisasi.
Variabel-variabel tersebut menjamin bahwa turunan strategi-proses bisnis dapat dilakukan dalam day-to-day operations yang melekat pada target kinerja setiap pegawai di dalam suatu K/L, serta dipantau secara terus-menerus untuk menjadi bahan optimalisasi penataan organisasi pada periode berikutnya.
Pada akhirnya untuk dapat melakukan penataan organisasi secara optimal, dibutuhkan kontribusi kolektif dari para pegawainya. Oleh karena itu, sudahkan Anda secara konsisten melaporkan kinerja harian ‘riil’?
Seorang prokopton berprofesi sebagai ASN di BPKP yang selalu menghabiskan waktu tempuh perjalanan menuju ke dan pulang dari kantor dengan membaca buku, mengeksplorasi spotify, dan menggulung tab trending pada 9Gag. Selain itu, Andy adalah seorang pemerhati closed-loop supply chain, project, dan operations management yang digeret paksa untuk benar-benar paham mengenai kebijakan publik.
semoga konsep dan implementasi sejalan.
Menarik mas. Masalah klasik yg belum sepenuhnya terpecahkan berdirinya Kemenpan-rb. Semoga terealisasi sebelu saya pensiun 🙂
Aaamiin Pak Bergman. Semoga adanya penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional menjadi titik tolak awal dalam menata organisasi di pemerintahan.