Pendahuluan
Kementerian Keuangan mengumumkan tercapainya target penerimaan pajak Tahun 2021 sebesar 1.231 Triliun yang telah melampaui 100 persen, pertama sejak 12 tahun terakhir yang selalu di bawah target (Kemenkeu, 2021).
Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan kekhawatiran akan hutang Indonesia yang sampai dengan September 2021 mencapai 6.711 Triliun, di mana rasio hutang terhadap penerimaan mencapai 369 persen, melampaui rekomendasi IMF yang hanya sebesar 90-150 persen (IHPS I Tahun 2021).
Dua pernyataan kontradiktif tersebut, kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah kesehatan fiskal kita di tengah pandemi dalam kondisi baik, atau sebaliknya? Jangan sampai di satu pihak euforia merayakan ketercapaian target penerimaan pajak, di sisi lain ternyata ada penambahan utang di tahun yang sama mencapai 1.186,2 Triliun (Iswinarno, 2021).
Artikel ini akan mengulas masalah itu dengan harapan masyarakat awam sekalipun dapat lebih memahami permasalahan anggaran negara.
Standar Ganda Pengukuran Kinerja
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan fiskal sangat tergantung pada aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya akan mendorong pencapaian target penerimaan pajak. Pencapaian target penerimaan pajak tahun 2021, setidaknya didukung oleh dua hal:
- Yang pertama karena memang targetnya ditetapkan lebih rendah selama masa pandemi,
- Yang kedua adalah karena aktivitas ekonomi yang berangsur pulih. Salah satunya karena nilai ekspor Indonesia bulan Oktober tahun 2021 yang mencatat rekor tertinggi mencapai US$ 22,03 Miliar. Kepala BPS menyatakan bahwa peningkatan eskpor tersebut didorong adanya peningkatan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor (Pink, 2021).
Sebagaimana banyak kita saksikan dalam pemberitaan, akibat dari pandemi yang berkepanjangan, banyak negara-negara yang mengalami krisis energi dan bahan makanan.
Intinya, pencapaian target penerimaan pajak hanyalah hasil akhir, sedangkan prosesnya dimulai dari permintaan yang meningkat, sehingga aktivitas ekonomi ikut meningkat, ekspor meningkat, dan penerimaan pajak naik.
Dengan demikian, pengukuran kinerja pajak memiliki standar ganda, apakah cukup hanya dinilai ketercapaiannya saja, ataukah perlu dilihat sampai dengan proses bagaimana penerimaan pajak bisa naik. Tentunya dengan melihat proses, akan semakin banyak pihak yang terlibat, bukan hanya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Kinerja pencapaian pendapatan pajak, sebenarnya adalah kinerja masyarakat sebagai pelaku ekonomi yang taat membayar pajak, serta didorong oleh berkah dari Tuhan berupa peningkatan permintaan, sehingga ekspor meningkat.
Apakah ketercapaian target penerimaan pajak pantas dirayakan berlebihan? Itu yang menjadi permasalahan. Di tengah masih adanya ancaman virus Covid-19 varian omicron, tentunya kurang bijak untuk cepat berpuas diri, karena masih banyak yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ekonomi ke depan.
Sayangnya, setiap pemberitaan tentang pencapaian target, umumnya dibuat branding dan pemberitaan yang masif, dan pada ujungnya menjadi alasan pembenaran pembagian bonus akhir tahun.
Memang tidak salah, karena insentif peningkatan kinerja perlu didorong agar organisasi lebih bersemangat untuk memberikan pelayanan lebih baik lagi, sehingga penerimaan tahun berikutnya berpotensi akan meningkat.
Namun, sebagus apapun pelayanan yang diberikan, tapi jika perekonomian tidak tumbuh, maka target penerimaan pajak juga tidak akan tercapai. Fakta inilah yang perlu dipertimbangkan, sehingga euforia pencapaian target pajak dapat disikapi dengan bijaksana.
Kondisi Fiskal Indonesia: Besar Pasak Daripada Tiang
Sebagaimana dialami oleh negara-negara lain di dunia yang masih berdampingan dengan pandemi, Indonesia memiliki postur anggaran yang defisit. Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian kompak memprediksi defisit anggaran Tahun 2021 antara 5,1 sampai dengan 5,4 persen dari produk Domestik Bruto (PDB) (Victoria, 2021).
Posisi sampai dengan Oktober 2021, realisasi defisit APBN mencapai 548,9 Triliun atau 3,29 persen dari PDB. Dengan asumsi defisit 5 persen, maka nilai defisit APBN kita adalah 834,2 Triliun Rupiah di Tahun 2021.
Menteri keuangan menilai, kritik terhadap utang adalah sesuatu yang bagus, sehingga semua ikut mengawasi dan mengkritisi risiko-risiko yang akan dihadapi. Tentunya, pemerintah telah menyiapkan serangkaian kebijakan pengelolaan hutang sehingga risikonya dapat diminimalisir.
Salah satunya adalah pemantauan terhadap jatuh tempo utang, di mana tahun 2022 jatuh tempo utang mencapai 443 Triliun rupiah (Sembiring, 2021). Beberapa hal itulah yang perlu diantisipasi, sehingga tidak mengganggu keuangan negara dan dapat dipersiapkan sedini mungkin.
Teori Alam untuk Kesehatan Fiskal
Dalam konteks terkini, kesehatan fiskal merupakan kondisi ideal keuangan negara yang cukup aman untuk menghadapi pandemi, khususnya mengantisipasi pengeluaran akibat varian omicron yang mulai masuk ke Indonesia.
Terinspirasi dari ilmu fisika, sebuah rumus tentang tekanan kiranya relevan untuk menggambarkan kesehatan fiskal: tekanan itu sebanding dengan gaya yang mendorongnya, berbanding terbalik dengan luas area yang menopangnya (P=F/A).
Sama halnya dengan kesehatan fiskal, semakin tinggi masalah yang dihadapi suatu negara, maka tekanan juga semakin besar, dan ketika tidak ditopang dengan luas area atau pendapatan yang cukup, akibatnya pertahanan bisa jebol, bahkan dalam beberapa kasus menjadi pemicu terjadinya kebangkrutan dan krisis ekonomi.
Sejak tahun 2020, Indonesia menghadapi pandemi covid-19 sehingga membutuhkan anggaran yang besar untuk melindungi masyarakat sekaligus menopang perekonomian agar tetap berjalan. Permasalahan itu menyebabkan tekanan terhadap keuangan negara semakin besar, sehingga memerlukan penopang berupa pendapatan yang lebih besar.
Dikarenakan pendapatan juga mengalami penurunan yang signifikan karena perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, sehingga dibutuhkan suntikan dana berupa utang. Utang, di satu sisi mampu menopang sementara waktu, tetapi di sisi lain akan menambah tekanan lain di masa depan. Ia harus dikembalikan dan ditambah dengan biaya bunga. Belum lagi dampak non-finansial yang ditimbulkannya.
Oleh karena itu, utang perlu dikelola dengan baik, khususnya ketika jatuh tempo agar tekanannya masih dapat diantisipasi. Meskipun salah satu upaya mengurangi tekanannya adalah dengan menerbitkan utang baru, tetapi pemerintah harus terus fokus untuk dapat menggerakkan perekonomian sehingga hutang yang menumpuk akhirnya dapat terbayar.
Menjaga Fiskal Tetap Sehat
Bagaimana menjaga fiskal agar tetap sehat? Pada masa pandemi memang sangat sulit untuk mempertahankan kesehatan fiskal. Hal ini tidak hanya dihadapi Indonesia, tapi juga oleh negara lain, bahkan negara-negara maju sekalipun.
Ibarat orang yang sedang sakit, maka semua prioritas adalah untuk membeli obat, bahkan tidak masalah jika harus berutang terlebih dahulu. Setelah sembuh, dan mulai bisa bekerja kembali, barulah utang dapat diangsur. Intinya, pada masa kritis, memang perlu disusun skala prioritas, apa yang harus diselesaikan segera, dan mana yang bisa diselesaikan secara bertahap.
Kondisi saat ini, ekonomi mulai berangsur pulih, pendapatan mulai meningkat yang dibuktikan dengan target penerimaan pajak yang tercapai. Boleh saja hal itu dirayakan, sebagai wujud rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada pembayar pajak.
Akan tetapi bukan dengan menambah pengeluaran yang pada akhirnya justru akan membebani anggaran yang belum sepenuhnya pulih itu. Mindset inilah yang perlu ditanamkan, agar pemulihan ekonomi segera terwujud.
Kesehatan Fiskal, Tidak Sekedar Bicara Anggaran
Kesehatan fiskal di masa pandemi tidak sekedar hitungan surplus atau defisit anggaran saja, tapi harus memperhatikan kepentingan lain yang lebih besar. Nyawa rakyat tidak dapat tergantikan oleh materi, dan disitulah peran negara dibutuhkan untuk menjaga agar rakyat terlindugi dari pandemi covid-19.
Dalam kondisi darurat, maka utang masih menjadi pilihan yang rasional. Indonesia masih lebih baik, karena masih ada kreditur yang bersedia memberikan pinjaman. Bagaimana jika pinjaman saja sudah sulit diperoleh, tentunya akan memperparah kondisi dan bisa berkembang menjadi krisis sosial.
Oleh karena itu, kesehatan fiskal mungkin bukan prioritas yang utama untuk sementara waktu, namun tetap harus berhati-hati. Jika menggunakan uang dari hasil utang untuk pemulihan ekonomi, maka pengawasannya harus diperkuat, sehingga program lebih efektif, dan pemulihan ekonomi segera terwujud, dan utang bisa segera dikembalikan.
Sangat disayangkan jika masih ada perilaku korupsi di masa pandemi, karena kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi itu bisa berkali-kali lipat terhadap keuangan negara. Oleh karena itu, sepakat jika pelaku korupsi selama pandemi, dijatuhi hukuman lebih berat.
Hal yang sama berlaku untuk pejuang yang telah bekerja keras menyelamatkan masyarakat dari pendemi, misalnya tenaga kesehatan yang merawat pasien covid-19. Karena kerelaannya bekerja di tengah risiko tertular, mereka dapat dipertimbangkan untuk diberikan insentif untuk menghargai pengorbanannya.
Penutup
Semua pantas bersyukur atas keberhasilan pencapaian target penerimaan pajak tahun 2021, tapi perlu diingat bahwa perjuangan belum berakhir karena varian omicron masih mengancam.
Namun, kurang bijak apabila keberhasilan pencapaian target itu diakui sebagai kinerja Dirjen Pajak atau Kementerian Keuangan sendiri dan menjadi pembenaran pembayaran bonus karena penerimaan pajak itu hanyalah hasil akhir dari perekonomian yang berangsur pulih.
Apresiasi justru harus diberikan kepada pembayar pajak karena kontribusinya, sehingga negara lebih kuat menghadapi pandemi. Salam.
Catatan:
Artikel ini juga ditayangkan di Kompasiana, tanggal 31 Desember 2021 https://www.kompasiana.com/triw66748/61ce9d629bdc404e1e59e192/menjaga-kesehatan-fiskal-di-tengah-pandemi-beyond-pencapaian-target-anggaran
Referensi:
Iswinarno, C, 2021, Sepanjang 2021 Penerbitan Surat Utang Negara Lebih Rendah, Begini Data Kemenkeu, Suara.com, 13 desember 2021, https://www.suara.com/news/2021/12/13/194047/sepanjang-2021-penerbitan-surat-utang-lebih-rendah-begini-data-kemenkeu?page=1, diakses 30 Desember 2021
Kemenkeu, 2021, Menkeu: DJP Capai Target 100 persen bahkan sebelum tutup tahun, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-djp-capai-target-100-bahkan-sebelum-tutup-tahun/, diakses 30 Desember 2021
Pink, Bidara, 2021, BPS beberkan penyebab ekspor pada Oktober 2021 jadi yang tertinggi sepanjang masa, Kontan.co 16 November 2021, https://newssetup.kontan.co.id/news/bps-beberkan-penyebab-ekspor-pada-oktober-2021-jadi-yang-tertinggi-sepanjang-masa, diakses 29 Desember 2021.
Sembiring, 2021, Awas Meletus Pak Jokowi, Utang RI RP 443 T jatuh tempo 2022, CNBC News, 15 Desember 2021, https://www.cnbcindonesia.com/news/20211215091037-4-299379/awas-meletus-pak-jokowi-utang-ri-rp-443-t-jatuh-tempo-2022, diakses 28 Desember 2021.
Victoria, A, 2021, Sri Mulyani perkirakan defisit APBN 2021 bisa capai 5,1 persen PDB, Antara News, 16 Desember 2021, https://www.antaranews.com/berita/2588925/sri-mulyani-perkirakan-defisit-apbn-2021-bisa-capai-51-persen-pdb, diakses 28 Desember 2021.
Victoria, A, 2021, Menko Airlangga opimis defisit APBN 2021 hanya 5,4 persen PDB, Antara News, 15 Desember 2021,
https://www.antaranews.com/berita/2586745/menko-airlangga-optimis-defisit-apbn-2021-hanya-54-persen-pdb, diaskes 28 Desember 2021.
Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.
0 Comments