Mengukir Wajah Birokrat Indonesia* (bagian 3-selesai): Identitas Birokrat di Dua Segmen Era Reformasi

by | Jul 1, 2021 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Birokrasi pasca orde baru terbagi dalam dua segmen, yakni era sebelum munculnya gagasan Reformasi Birokrasi dan saat setelah Reformasi Birokrasi digaungkan. Perlu dipisahkan, karena gagasan Reformasi Birokrasi menyampaikan diskursus baru yang menarik dalam pertarungan identitas birokrat.

Dilema Identitas Birokrat di Era Awal Reformasi

Birokrasi di awal era reformasi diharapkan menjelma menjadi birokrasi yang memihak kepada pelayanan publik dan aparat dapat bekerja secara lebih profesional. Banyak pihak berharap demikian karena kata reformasi menjadi jalan ampuh untuk merombak berbagai tatanan termasuk  birokrasi.

Masyarakat yang sebelumnya tidak mampu mengontrol birokrasi, menjadi lebih berani dan terbuka menyuarakan kegelisahannya. Media salurannya pun telah tersedia. Berbagai media yang selama masa orde baru terpaksa ‘bungkam’, di era reformasi mereka mendapatkan ‘angin’. Para jurnalisnya berlomba-lomba menyorot kinerja birokrasi, dan masyarakat pun mendapatkan panggungnya.

Pemerintah terlihat berbenah untuk merespons berbagai tuntutan masyarakat. Salah satunya ditandai dengan berubahnya sistem anggaran. Anggaran yang sebelumnya menggunakan sistem berimbang, yaitu pengeluaran menyesuaikan penerimaan, menjadi anggaran berbasis kinerja.

Sistem anggaran baru ini mensyaratkan perencanaan tentang indikator dan target kinerja dalam pembuatan anggarannya, artinya anggaran yang disusun haruslah berdasarkan perencanaan kinerja. Dengan perubahan sistem anggaran tersebut menyiratkan adanya keinginan birokrasi untuk mendahulukan kinerja dalam pelayanan publik.

Namun pada kenyataannya, kondisi tersebut masih cukup sulit diwujudkan. Keluhan masyarakat di awal era reformasi masih sangatlah banyak, mulai dari masalah pelayanan publik yang masih lamban dan berbelite, proses rekrutmen pegawai yang masih  bernuansa titipan, hingga banyaknya kejadian pungutan liar dan korupsi.

Belum berhasilnya birokrasi untuk bersikap akuntabel dan responsif dikarenakan perbaikan birokrasi baru pada taraf kelembagaan. Di awal era reformasi, birokrasi mencoba menata diri pada sisi struktur dan sistem. Mental dan cara bekerja birokrat masih terbawa era sebelumnya. Hal ini akibat nilai dan kultur yang tertanam selama ini cukup kuat dan melekat dalam diri aparat birokrasi. 

Pendisiplinan perilaku birokrat dan penilaian kinerja birokrat masih mengikuti pola dan aturan era orde baru. Dengan demikian, identitas birokrat yang terbangun masih sama dengan era orde baru, yaitu birokrat loyal dan patuh pada aturan dan atasan.

Meskipun tuntutan masyarakat akan kinerja birokrasi cukup tinggi, tetapi relasi birokrat masih sentralistik dan vertikal. Birokrat masih lebih senang memandang ke atas, yaitu pimpinannya, daripada memperhatikan masyarakat. Kultur paternalistik masih cukup kental. Para bawahan masih terlihat takut salah dan cenderung menghormati berlebihan terhadap atasannya.

Identitas loyal dan patuh di tengah tuntutan menjadi abdi masyarakat, menjadikan birokrat sering mengalami dilematika dalam menjalankan norma birokrasi. Pada suatu titik, beberapa birokrat yang sadar sebagai pelayan publik akan berusaha memberikaan pelayanan yang optimal, meski terkadang harus melakukan diskresi. Diskresi yang dilakukan ini bertujuan memudahkan dan mempercepat pelayanan.

Namun di sisi lain, diskresi tanpa persetujuan pimpinan apalagi tidak sesuai aturan menjadi hal yang keliru bagi birokrat. Birokrat tersebut akan kehilangan identitas sebagai birokrat yang baik di mata atasannya.

Kegamangan untuk melakukan diskresi demi optimalnya pelayanan publik diperkuat dengan sistem penilaian kinerja yang masih menggunakan metode orde baru, yaitu menggunakan DP3 yang sarat dengan subjektivitas atasan.

Identitas birokrat masih dipisahkan secara oposisi biner (dua kondisi yang bertentangan), yaitu birokrat loyal-pengkhianat dan birokrat patuh-pembangkang, ataupun birokrat aktif-pasif. Lebih lanjut, dilematika tersebut menimbulkan perasaan terasing bagi birokrat di lingkungan kerjanya. Birokrat merasa hasil kerjanya tidak dinikmati oleh dirinya, tetapi oleh orang lain, yang bisa jadi adalah atasannya atau masyarakat pengguna layanan.

Dapat dikatakan, meski pengawasan masyarakat akan kinerja birokrasi di era awal reformasi telah dibuka, tetapi kultur birokrasi masih belum beranjak dari era orde baru. Perilaku birokrat masih sangat tergantung pada instruksi dan arahan atasan atau pimpinannya. Birokrat justru sering mengalami dilema tatkala berhadapan dengan tuntutan masyarakat dan tuntutan atasan. 

Ambivalensi di Era Reformasi Birokrasi

Semangat reformasi yang terus berlanjut dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi membuat pemerintah mencoba mengubah seluruh tatanan birokrasi mulai dari kelembagaan, aturan, sumber daya manusia, hingga kultur dan perilaku birokrat melalui Reformasi Birokrasi.

Reformasi birokrasi muncul sebagai pertanda adanya kegagalan birokrasi masa sebelumnya yang harus diatasi dan diperbaiki. Khusus dalam hal mereformasi sumber daya manusia, konsep ini memandang bahwa pola pikir dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, dan profesional.

Selain itu, birokrat dianggap belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik, dan belum berorientasi pada hasil. Konsep reformasi birokrasi ini menginginkan birokrat mampu membenahi berbagai kekurangan tersebut.

Reformasi birokrasi menginginkan adanya perubahan pola pikir dan perilaku birokrat. Jargon yang mengemuka adalah birokrat inovatif, yang memiliki pola pikir di luar kebiasaan (out of the box), dan mampu melakukan kegiatannya melalui upaya yang luar biasa (business not as usual). Jargon inilah yang kemudian berusaha mengubah identitas birokrat, dari yang tadinya birokrat sekedar patuh dan loyal menjadi birokrat yang profesional dan inovatif.

Identitas baru, yakni profesional dan inovatif, secara otomatis mengonstruksi dirinya agar berbeda dengan birokrat yang sekedar patuh atasan dan tidak memiliki inisiatif. Profesional memiliki makna kompeten sedangkan inovatif bermakna penuh inisiatif dan kritis akan kompleksitas permasalahan.

Pada titik inilah birokrasi mulai memilah birokrat beridentitas baru dan birokrat beridentitas lama. Identitas birokrat terdahulu sangat erat kaitannya dengan kultur paternalistik warisan feodal yang diperkuat oleh kolonial. Sedangkan identitas baru memerlukan kultur yang juga baru, yaitu kultur yang mengedepankan nilai profesionalitas. Kultur ini menganut rezim kompetisi dengan mekanisme merit system.

Paskarina, salah seorang alumnus doktoral ilmu politik UGM, dalam disertasinya mengatakan bahwa rezim kompetisi memang sengaja dikonstruksi oleh elite birokrasi untuk mempercepat perubahan pola pikir dan cara kerja birokrat.

Rezim kompetisi ini diperkuat dengan adanya mekanisme tunjangan kinerja yang diberikan kepada pegawai sesuai dengan kinerja yang dilakukan. Artinya, birokrat berusaha berkompetisi untuk mencapai standar identitas yang dipersyaratkan dan memenuhi target kinerjanya demi keutuhan tunjangan yang akan diterima.

Capaian standar identitas yang dipersyaratkan oleh elite dipercaya akan memudahkan birokrat untuk tampil sebagai ‘pemenang’ di antara birokrat yang lain. Kultur paternalistik, yang selalu menuruti perintah atasan agar dirinya tetap disukai atasan, berubah menjadi birokrat yang tampil profesional dan berfikir out of the box agar disukai oleh atasan/pimpinan.

Dengan kata lain, birokrat di era reformasi birokrasi, dalam menjalankan tugasnya tidak selalu menunggu perintah atasan, melainkan justru dapat mengajak atasan untuk mengimplementasikan ide-ide inisiatifnya. Bahkan, dapat mengusulkan adanya revisi peraturan yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Perebutan identitas ini sebenarnya rawan konflik, dapat menjadi ajang diskriminasi bagi identitas tertentu. Beberapa birokrat yang belum mampu mengubah identitasnya, merasa janggal dengan adanya birokrat beridentitas baru di sampingnya. Sementara pemilik identitas baru merasa birokrat dengan identitas lama sudah tidak selayaknya ada di lingkungan birokrasi yang juga sudah berubah.

Masing-masing dari mereka berusaha mempertahankan identitasnya dan menganggap dialah yang lebih cocok berada di lingkungan birokrasi. Konsep pengetahuan seperti manajemen perubahan yang digaungkan oleh reformasi birokrasi pun berusaha mengubah identitas lama menjadi identitas baru dengan strategi tertentu.

Dalam pemahaman ini, identitas lama dianggap usang. Terlebih lagi, birokrat yang masih ingin bertahan dengan identitas lama dapat dikategorikan sebagai birokrat resisten yang perlu penanganan khusus. Pada era inilah identitas birokrat diperdebatkan dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Perdebatan ini diperkuat oleh Undang-Undang no 5 tahun 2014, tentang Aparat Sipil Negara (UU ASN). Pada UU ASN tersebut, salah satu kode etik ASN adalah, “Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan”.

Kode etik ini secara tidak langsung berusaha mempertahankan kultur paternalistik yang tidak sesuai dengan keinginan reformasi birokrasi, yaitu mencetak birokrat inovatif. Bunyi salah satu kode etik tersebut juga menegaskan bahwa masih adanya relasi kuasa yang kental dominasi antara pimpinan dengan bawahan. Relasi yang bukan hanya tidak setara, namun lebih kental dengan nuansa dominasi, pada praktiknya dapat dianggap sebagai penghambat inovasi seorang birokrat.

Ambivalensi terjadi pada diri elite birokrasi. Pada satu sisi, elite birokrasi menginginkan birokratnya bekerja secara kreatif, memiliki ide-ide inovatif seperti yang diamanatkan dalam asas reformasi birokrasi. Namun, pada saat yang sama, elite tidak berkeinginan untuk kehilangan kontrol terhadap bawahannya.

Setiap langkah yang dilakukan oleh birokratnya sebisa mungkin mendapatkan persetujuannya dan mengikuti hierarki yang ada di birokrasi. Elite berada pada kondisi in between, yakni sebuah kondisi yang berada di antara dua kultur yang keduanya tidak dapat ditolaknya, yaitu kultur baru yang dibentuk oleh reformasi birokrasi dan kultur lama (paternalistik) yang tidak dapat sama sekali hilang.

Hal ini terungkap pada penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk. pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, terdapat sebuah pernyataan mengenai anggapan dari seorang pimpinan terhadap anak buahnya:

“Kelompok yang berani mengusulkan perubahan dan perbaikan hanya kurang lebih 20 persen saja. Mereka tidak terjebak pada kegiatan yang bersifat rutin dan seremonial. Bagi kelompok ini yang penting adalah bagaimana mereka bertanggung jawab pada pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Mereka berani mengembangkan diri dan mampu mengambil keputusan yang bahkan tidak perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada atasannya. Hanya saja, sayangnya mereka terlalu berani sehingga dianggap tidak menghargai orang yang lebih tua atau senior.”

Hal ini berefek pada birokrat sebagai obyek sasaran perubahan. Birokrat sebagai pihak terjajah (colonized) seringkali merasa pada kondisi yang tidak nyaman. Birokrat dengan gairah kerja yang tinggi, memiliki banyak ide segar, menyukai fleksibilitas, tetapi tidak memiliki kebebasan dalam menyalurkan idenya.

Ruang gerak dan penyaluran ide terkungkung oleh hierarki, senioritas, dan dominasi pimpinannya. Selalu dibayangi oleh banyak anggapan abnormal dari lingkungannya jika dia menabrak pakem kultur lama di birokrasi.

Pada titik ini pula sebenarnya perlu disadari bahwa identitas tidak selalu tunggal. Pada masa sebelum Reformasi Birokrasi muncul, identitas birokrat selalu tunggal. Berbagai usaha penyeragaman selalu dilakukan oleh elite untuk mempertahankan identitas tunggal tersebut dengan maksud agar para birokrat lebih dapat dikendalikan.

Birokrat yang tidak sesuai dengan kriteria identitas tersebut dikategorikan sebagai birokrat yang menyimpang. Namun, hal ini tidak berlaku lagi ketika Reformasi Birokrasi muncul. Identitas mendapatkan tempat untuk diperdebatkan dan dipertarungkan.

Ungkapan salah satu pimpinan di atas, tidak dapat serta merta menganggap kelompok birokrat 20 persen tadi adalah sebagai pembangkang. Pimpinan tetap mempertimbangkan efek dari kegiatan birokrat tersebut.

Jika inisiatif dan idenya memang membawa perubahan positif di organisasi dan pelayanan publik, maka pimpinan dapat merelakan sekaligus mengakui bahwa kontrol dan dominasinya berkurang. 

Begitu juga bagi birokrat yang selalu patuh pada perintah atasan, bukan berarti dia adalah birokrat yang pasif dan murni tidak berdaya. Bahkan, birokrat diam belum tentu tidak melakukan perlawanan.

Sebuah contoh, seorang birokrat tidak pernah menolak perintah di depan atasannya hanya karena agar dia dianggap patuh. Namun, sejatinya tindakan tersebut bisa jadi adalah sebuah perlawanan. Ia tidak menolak, tetapi juga tidak melaksanakan apa yang diperintahkan atasannya.

Ketidakkonsistenan birokrat tersebut hanya mencontoh atasannya yang tidak konsiten.  Seperti juga yang diungkap salah seorang birokrat dalam peneliteian Agus Dwiyanto dkk,:

“…. Sering pimpinan menasihati supaya pegawai disiplin, tetapi pimpinannya sendiri tidak konsisten. Seharusnya dia berbuat seperti isi nasihatnya itu”

Kepatuhan terhadap atasannya dia lakukan karena kultur di dalam lingkungan kerjanya tetap mensyaratkan itu sebagai hal yang utama. Tidak dilaksanakannya perintah, karena mencontoh pimpinan yang selama ini dilihatnya tidak konsisten dengan perkataannya. Selain itu perintah tersebut bisa jadi tidak bermanfaat bagi organisasi dan justru menimbulkan inefisiensi.

Bagi sebagian sejawatnya, birokrat seperti ini justru memiliki inisiatif dan dapat dikatakan profesional karena lebih mementingkan kepentingan organisasi. Namun, bisa juga birokrat ini adalah seorang pembangkang, tetapi terselubung. Identitas biroktrat menjadi hybrid, alias tidak terpaku pada sebuah identitas saja, melainkan berupa gabungan dari berbagai identitas.

Tindakan birokrat tersebut juga sebenarnya adalah merupakan upaya untuk mengendalikan atasannya. Dia melakukan perlawanan dengan cara meniru gaya atasannya yang tidak konsisten dan selalu nge-les (berdalih) jika pihak lain menanyakan konsistensinya.

Tiruan ini sekaligus mengandung unsur ‘olok-olok’ kepada atasannya. Di saat atasannya menanyakan apakah pekerjaan telah dilaksanakan, dia selalu memiliki berbagai macam dalih.

Dalam tinjauan pos-kolonial, perilaku birokrat seperti ini termasuk pada praktik mimicry (sebuah praktik dekonstruksi di mana si terjajah mempraktikkan kembali apa yang dilakukan oleh penjajah, biasanya dengan cara meniru. Peniruan ini bukan sekedar mengekor, tetapi ada unsur olok-olok – Bhaba, 2007).

Melalui pemahaman di atas, kita dapat menganggap bahwa identitas brikorat tidak selalu tunggal, yang justru dapat muncul beberapa varian identitas yang hibrid. Dengan mengakui identitas hibrid dan mengelolanya dengan baik, maka Reformasi Birokrasi akan terhindar dari diskriminasi dan dapat lebih optimal menjalankan fungsinya.   

Simpulan

Pembentukan identitas birokrat tidak saja hanya dilihat dari proses yang terjadi setelah pendudukan penjajah. Namun sebelum penjajahan, yaitu pada masa kerajaaan (feodal), justru terdapat dasar yang kuat dalam sejarah pembentukan budaya dan identitas birokrat.

Kultur paternalistik yang muncul pada masa feodal bahkan sampai saat ini belum hilang. Kultur itu hanya mengalami sedikit perubahan bahkan tidak jarang melebur dengan kultur di masing-masing masanya.

Identitas birokrat selalu ditentukan dan dibangun oleh rezim yang sedang berkuasa dan dipengaruhi oleh situasi politik di masanya. Identitas tersebut dibangun tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat, tetapi lebih banyak untuk kepentingan memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan sekelompok elite.

Selain itu, permasalahan identitas yang dibangun memunculkan berbagai potensi masalah diskriminasi di birokrasi. Bahkan pada era di awal orde baru pernah terjadi kekerasan fisik dan psikis akibat adanya diskriminasi tersebut.

Pada masa lainnya, diskriminasi terus berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda. Dengan pemahaman bahwa identitas tidak tunggal dan dapat bervariasi, maka elite birokrasi diharapkan mampu melakukan refleksi untuk tidak lagi melakukan diskriminasi terhadap identitas yang tidak sesuai dengan konstruksinya.

Melalui pemahaman bahwa identitas tidak serta merta muncul dengan sendirinya, maka birokrat diharapkan mampu menjadi lebih mawas diri dengan efek keberlanjutan dari kolonialisme. Birokrat diharapkan mampu bekerja dengan identitas yang kokoh sebagai pelayan masyarakat.

Artikel ini merupakan sambungan dari dua artikel sebelumnya, yakni bagian kesatu dan bagian kedua.

*Tulisan ini merupakan penayangan ulang disertai dengan beberapa perubahan, dari salah satu bab yang ditulis oleh penulis yang sama, dalam buku yang berjudul “Kebijakan Publik Dalam Pusaran Perubahan Ideologi”, yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press di tahun 2019. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berafiliasi atau mewakili instansi manapun.

2
0
M. Rizal ♣️ Expert Writer

M. Rizal ♣️ Expert Writer

Author

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

1 Comment

  1. Trian Ferianto

    Maka, beruntunglah para birokrat yang ‘hidup’ di kantor dengan atasan yang menghargai dan mensupport setiap inovasi perbaikan yang diusulkan demi efisiensi dan efektivitas pekerjaan.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post