
Ketegangan geopolitik terbaru antara Israel dan Iran kembali mengguncang perekonomian global. Lonjakan harga minyak, pelemahan nilai tukar, dan penurunan bursa saham menjadi sinyal bahwa sistem ekonomi konvensional sangat rentan terhadap krisis eksternal.
Dalam situasi seperti ini, sistem alternatif seperti ekonomi syariah
mulai menarik perhatian, khususnya karena prinsip-prinsipnya yang mengedepankan
stabilitas, keadilan, dan keberlanjutan. Apalagi, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar
di dunia, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai
bagian penting dari struktur ekonomi nasional.
Pemerintah telah membentuk Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan mendorong penguatan sektor ini melalui pengembangan perbankan syariah, asuransi syariah, dan industri halal. Namun, belum banyak kajian empirik yang menguji ketahanan ekonomi syariah Indonesia secara langsung di tengah krisis global.
Ekonomi syariah berdiri di atas prinsip-prinsip etis Islam, seperti larangan riba, keterikatan pada aset riil, pelarangan spekulasi (gharar dan maysir), serta dorongan untuk inklusi sosial. Sistem ini tidak mengandalkan bunga, melainkan model bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah.
Prinsip keterikatan pada aset nyata juga mencegah spekulasi berlebihan yang kerap menjadi pemicu krisis dalam sistem konvensional. Transaksi keuangan harus terkait dengan barang, jasa, atau proyek riil.
Sementara itu, larangan terhadap gharar dan maysir mencegah keterlibatan dalam praktik keuangan spekulatif tinggi, seperti derivatif kompleks atau short selling. Tak kalah penting, ekonomi syariah mengintegrasikan aspek sosial melalui zakat, wakaf, dan sadaqah, yang berperan sebagai jaring pengaman sosial saat krisis melanda.
Dampak Konflik Timur Tengah dan Respons Ekonomi Syariah
Lonjakan harga minyak akibat konflik Israel-Iran berdampak langsung pada perekonomian Indonesia. Ketergantungan pada impor energi menambah beban subsidi BBM dan berisiko memperbesar defisit APBN. Kenaikan harga energi juga mendorong inflasi logistik, yang bisa melemahkan daya beli masyarakat.
Rupiah pun ikut melemah karena investor global cenderung menarik dana dari negara berkembang ke aset safe haven seperti dolar AS dan emas. Untuk meredam gejolak ini, Bank Indonesia mengambil langkah intervensi di pasar valuta asing dan mengoptimalkan instrumen DNDF.
Namun menariknya, di tengah tekanan tersebut,
sektor keuangan syariah Indonesia justru menunjukkan performa stabil.
Laporan OJK menyebut bahwa sepanjang 2024 hingga awal 2025, perbankan syariah tumbuh
hampir 10 persen secara tahunan, dengan pertumbuhan dana pihak ketiga
dan pembiayaan yang sehat.
Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) tetap rendah, sementara rasio kecukupan modal (CAR) tetap tinggi. Hal ini menunjukkan ketahanan likuiditas yang kuat dan kemampuan sektor ini dalam menyerap tekanan eksternal.
Kinerja positif ini juga tercermin di pasar modal. Saham Bank Syariah Indonesia (BRIS) dan beberapa entitas syariah lainnya tetap stabil, bahkan cenderung menguat. Investor tampaknya melihat sektor ini sebagai lebih aman, karena fondasi syariahnya yang konservatif dan berbasis aset riil.
Studi Kasus: Ketahanan Sistemik Ekonomi Syariah Indonesia
Menurut data Merdeka.com (12/02/2025), total aset perbankan syariah mencapai Rp980,30 triliun pada akhir 2024. Pangsa pasar meningkat menjadi 7,72 persen dari industri perbankan nasional. Pembiayaan juga meningkat hingga Rp643,55 triliun.
Rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 25,4 persen, menurut Bisnis.com (11/11/2024), menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki buffer yang kuat terhadap risiko.
Rasio likuiditas pun sangat sehat, dengan AL/DPK sebesar 32 persen dan AL/NCD mencapai 154,5 persen. Dalam laporan Warta Ekonomi (13/02/2025), NPF bruto perbankan syariah hanya 2,12 persen dan NPF net sebesar 0,79 persen. Selain itu, Return on Assets (ROA) di kisaran 2 persen mencerminkan efisiensi operasional yang cukup tinggi.
Dalam mendukung pertumbuhan ini, OJK meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027 pada Februari 2025. Peta jalan ini menekankan konsolidasi lembaga, pengembangan produk syariah, peningkatan pembiayaan UMKM, serta integrasi dengan industri halal.
Diversifikasi portofolio juga terjadi. Data Warta Ekonomi (12/02/2025) menunjukkan bahwa 23 persen pembiayaan syariah mengalir ke sektor perumahan (KPR), dan sekitar 16–17 persen ke sektor UMKM. Ini memperlihatkan peran aktif ekonomi syariah dalam mendukung ekonomi riil.
Peluang Strategis: Menjadikan Ekonomi Syariah Pilar Ketahanan Nasional
Di tengah ketidakpastian global, ekonomi syariah Indonesia berada dalam posisi strategis untuk menjadi jangkar stabilitas nasional. Stabilitas kinerjanya memberi sinyal positif kepada publik dan investor.
Pemerintah dan regulator bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperluas inklusi keuangan syariah, khususnya melalui digitalisasi dan kolaborasi dengan fintech.
Ekonomi syariah juga dapat berperan sebagai motor pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Skema seperti green sukuk, wakaf produktif, dan pembiayaan mikro syariah bisa diarahkan untuk mendukung proyek infrastruktur ramah lingkungan dan pengentasan kemiskinan.
Dengan semakin banyaknya investor yang beralih ke investasi berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance), peluang sektor ini untuk tumbuh sangat terbuka.
Namun untuk merealisasikan semua itu, penguatan sumber daya manusia
dan literasi syariah menjadi prioritas. Banyak masyarakat masih belum sepenuhnya
memahami produk syariah.
Oleh karena itu, dibutuhkan strategi komunikasi publik yang inklusif dan relevan, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan bagi pelaku industri.
Di sisi lain, pemerintah perlu mempercepat integrasi sektor keuangan syariah dengan industri halal nasional. Kolaborasi antar sektor seperti makanan halal, fesyen muslim, farmasi halal, dan pariwisata syariah bisa menciptakan ekosistem yang utuh dari hulu ke hilir.
Kebijakan fiskal yang proaktif, seperti insentif pajak untuk lembaga syariah dan pelaku UMKM syariah, juga dapat memperkuat daya saing sektor ini di tingkat regional dan global.
Penutup: Dari Krisis Menuju Transformasi
Ketegangan geopolitik global telah menjadi ujian nyata bagi ketahanan sistem ekonomi nasional. Di tengah tekanan tersebut, ekonomi syariah Indonesia tampil bukan hanya sebagai alternatif, tetapi juga sebagai sektor yang tangguh dan menjanjikan.
Kinerja yang stabil, kepercayaan investor, serta keberpihakan terhadap sektor riil menunjukkan bahwa prinsip-prinsip syariah—yang dahulu dianggap normatif—kini terbukti relevan secara praktis.
Meskipun demikian, peluang besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Pangsa pasar ekonomi syariah masih kecil, literasi masih terbatas, dan integrasi dengan sektor riil belum optimal.
Maka, dibutuhkan langkah strategis dan kolaboratif untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai fondasi sistem ekonomi nasional yang baru—yang adil, berkelanjutan, dan tahan terhadap guncangan global.
Dengan dukungan regulasi, komitmen politik, serta penguatan kelembagaan, ekonomi syariah Indonesia berpotensi menjadi jangkar stabilitas nasional di tengah ketidakpastian global yang terus bergulir.
0 Comments