Entah sudah berapa kali anak kedua saya, Ayla, selalu protes setiap kali saya membuat mie goreng. Dia selalu mengatakan, “Bunda, lain kali jangan banyak-banyak sayurnya, kol saja.” Biasanya saya hanya mengiyakan, tetapi kali lainnya tetap sama, sayurnya banyak. Toh, nanti bisa saya makan. Konsekuensinya, Ayla terpaksa harus memilah-milah dan hanya mengambil mie dan kolnya saja. Sayuran lainnya tidak dia sentuh sama sekali.
Ketika membuat mie goreng, sayuran yang biasa saya campurkan standar mie goreng jawa: wortel, kol, daun bawang, seledri, dan tomat. Tapi, begitulah. Ayla memang tidak suka wortel. Ketika saya masak sup juga sama, dia hanya memilih kol, kentang, dan makaroni. Wortel dia tinggalkan di panci.
Namun, ketidaksukaannya pada wortel tidak berlaku saat saya masak orak-arik, yang berbahan dasar telur, wortel, dan kol. Satu mangkuk orak-arik bisa habis tak bersisa sekali dia makan, termasuk wortel-wortelnya. Protesnya tentang wortel saat dicampur dengan mie goreng ataupun dalam kuah sup seolah lenyap seketika saat dia dihadapkan dengan wortel dalam orak-arik.
Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada Amira, anak pertama saya. Lahir di kota Makassar tak membuatnya mencintai ikan, meski bukan pula berarti dia tidak suka ikan sama sekali. Ada ikan-ikan favoritnya, ikan nila misalnya. Untuk ikan jenis ini, biasanya cukup digoreng ditemani sambal tomat dan lalap kol sudah membuatnya tampak sumringah.
Reaksi berbeda akan tampak ketika dia mendapati ikan layang, ikan katombo, ikan merah, atau ikan lainnya yang digoreng. Sering dia mengalah dengan membuat telur mata sapi, jika yang dilihat di lemari makan ikan-ikan tersebut.
Namun, semua akan berbeda ketika ikan tersebut saya olah menjadi pempek. Bisa dipastikan dia langsung bersorak. Malah, ketika di hadapannya masih ada semangkuk pempek dia sudah bertanya, “Masih ada pempek di kulkas?” Amira seolah ingin memastikan bahwa yang dia makan bukan pempek terakhir.
Sajikan Pesan yang Lezat
Saya pikir, logika penyajian bahan makanan agar dapat dinikmati dengan selera tinggi juga berlaku ketika kita menyampaikan suatu pesan. Dalam hal ini, pesan yang akan kita sampaikan kita ibaratkan sebagai wortel atau ikan dalam cerita saya di atas.
Sebagaimana wortel dan ikan, dalam menyajikan suatu pesan kita juga perlu memahami siapa target penerima pesan kita dengan baik. Kegagalan mengenali karakter dan ‘selera’ penerima pesan bisa berakibat tertolaknya pesan, tanpa proses pencicipan sebagaimana Ayla diberikan wortel dalam sepiring mie goreng ataupun saat Amira ketika ditawari ikan layang goreng. Dimarahi sekalipun, wortel dan ikan tidak akan dimakan. Begitu juga dengan pesan, mental seketika. Lebih buruk lagi, tak sekedar tertolak, benih kebencian bisa saja muncul jika kita melakukan pemaksaan.
Sebaliknya, ketika kita mampu mengenali karakter penerima pesan, lalu berusaha mengolah pesan tersebut sesuai dengan ‘selera’ target penerima pesan, efeknya akan berbeda. Bahkan, ketika kita berhasil menyajikan pesan dengan tepat sesuai dengan menu yang disukai, penerima pesan akan meminta lagi pesan serupa. Kalau diibaratkan dengan makanan, mereka akan nambah berpiring-piring.
Sayangnya, logika penyampaian pesan yang efektif sebagaimana uraian di atas sering tidak digunakan. Pesan dalam banyak hal disajikan apa adanya, polosan saja. Bayangkan kalau saya minta Ayla mengunyah wortel mentah. Meski bervitamin tinggi, saya sudah bisa pastikan Ayla akan menolaknya. Jangankan Ayla, saya sendiri tidak sanggup, kecuali harus dalam bentuk jus.
Demikian halnya dengan pesan. Satu pesan seringkali disajikan begitu saja, mentahan. Bisa jadi, pesan tersebut bervitamin tinggi, sebagaimana wortel. Bisa jadi muatan pesan tersebut sangat-sangat mulia. Bisa jadi pesan tersebut merupakan pesan kebaikan. Namun, sebagaimana logika wortel dan ikan, tak semua orang bisa menerima pesan dalam bentuk mentahan, murni, atau polosan, sebagaimana kebanyakan orang Australia yang terbiasa menikmati wortel mentah sebagai snack. Tak semua orang bisa menikmati ikan yang hanya disiram cuka tanpa proses dimasak sebagaimana orang-orang Jepang.
Pesan perlu disajikan dalam beberapa menu sesuai dengan selera penerima pesan, tanpa harus mengubah substansi pesan yang dibawa. Bukankah wortel dalam orak-arik tetap sama dengan wortel dalam sup yang sama-sama bervitamin? Bukankah ikan dalam pempek juga tetap menyehatkan? Begitu halnya dengan pesan.
Oleh karena itu, pesan pun perlu di-customize, disesuaikan dengan latar belakang seseorang tanpa harus mengubah substansi suatu pesan. Jika tidak, maka pesan hanya sekedar pesan. Bisa jadi pesan tersebut dibaca atau didengar, tapi efek dari pesan tersebut tidak ada karena sudan ditolak sejak awal. Pesan tersebut tidak akan bisa menembus relung hati seseorang yang anti dengan pesan-pesan yang kita sampaikan.
Sama halnya dengan anak-anak yang tidak suka sayuran, menyajikan suatu pesan butuh kreativitas agar pesan diterima. Tapi, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memahami siapa target penerima pesan. Mungkin kita perlu mengubah pesan tersebut menjadi ”nugget” atau “bakso” yang sehat terlebih dahulu. Jika kita tetap memaksakan pesan yang penuh kepolosan bisa jadi yang kita dapati hanyalah jeritan dan tangisan ketika kita memaksakan anak memakan wortel mentah.
Social Marketing dalam Menyajikan Pesan
Tahun 2011 lalu Philip Kotler dan Nancy Lee menerbitkan sebuah buku yang sangat menarik berjudul Social Marketing: Changing Behavior for Good. Dari judulnya saya yakin Anda bisa menebak isi buku tersebut. Kotler dan Lee mencoba menawarkan sebuah konsep marketing, yang disebut social marketing, sebagai strategi yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku seseorang.
Social marketing pada prinsipnya sederhana saja, yaitu bagaimana menggunakan prinsip-prinsip marketing dalam mengubah perilaku. Kalau dalam marketing konvensional yang dipasarkan adalah barang atau jasa, maka dalam social marketing yang ditawarkan adalah sebuah pesan. Konsep social marketing ini sangat cocok untuk diadopsi di lingkungan pemerintah ataupun lembaga nonprofit.
Social marketing mengajarkan bahwa mengajak hidup sehat, mengubah perilaku bertani, mengampanyekan antirokok, mengajarkan merawat gigi anak, dan pesan-pesan kebaikan lainnya butuh suatu strategi, sebagaimana marketer berstrategi dalam rangka menarik target pasar agar membeli barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan. Pesan yang baik tak serta merta langsung terbeli sebagaimana ayam goreng yang lezat karena tidak memiliki strategi marketing yang handal.
Bahkan top brand minuman bersoda atau ayam cepat saji yang sudah terkenal pun masih terus menggencarkan promosi sebagai salah satu strategi marketing. Alasannya sederhana, agar produk mereka tetap laku di pasaran karena persaingan dengan produk-produk lain semakin ketat.
Hal yang sama pada prinsipnya juga berlaku dengan pesan-pesan sosial. Pesan tersebut harus diolah, disajikan, didistribusikan, dan dipromosikan dengan tepat agar penerima pesan mau melakukan ajakan-ajakan kebaikan.
Epilog
Sebagai birokrat, pemahaman tentang social marketing sangat penting dimiliki dalam mendesain program dan kegiatan. Dalam banyak hal, instansi pemerintah mengandalkan kegiatan-kegiatan sosialisasi sebagai sarana untuk mengampanyekan pesan-pesan sosial, seperti ajakan hidup sehat, menghindari narkoba, putus hubungan dengan korupsi, anti radikalisme, berhati-hati dengan hoax, dan lain-lain.
Sudah cukupkah strategi tersebut untuk mengubah perilaku sebagaimana harapan dan tujuan pembangunan?
Jika demikian, mungkin tidak ada salahnya jika kita membuka literatur social marketing, karena menyampaikan pesan kebaikan ibarat sebuah tugas untuk mengolah bahan baku menjadi sajian lezat dan menyehatkan.
Analoginya bagus sekali. Tinggal contoh implementasi social marketing di dunia birokrasi yang perlu dikupas dalam tulisan berikutnya.
terima kasih Pak Aan, insyaAllah akan dilanjutkan ditulisan berikutnya
tulisan yang sangat bergizi sekali 🙂
Terima kasih mbak Fitra. Smoga menyehatkan😀