
Sebuah bangsa terbentuk dari komunitas sekian banyak orang yang tidak benar-benar saling mengenal dan sangat mungkin sama sekali tidak mengenal satu sama lain. Nasionalisme menyatukan komunitas tersebut hingga mereka dapat saling peduli dan bekerja efektif.
Proses membangun nasionalisme sangat tidak mudah karena menyatukan berbagai faktor dan elemen. Itulah mengapa seorang John Lennon menulis lagu “imagine” yang menawarkan dunia sebagai surga yang penuh damai tapi tanpa adanya nasionalisme.
Imagine bisa jadi bentuk ketidaksabaran Lennon melihat kecamuk perang Vietnam saat itu dan dia memilih jalan pintas, tiadanya nasionalisme itu, yang dipercayainya.
Namun demikian, tanpa adanya nasionalisme, kita akan hidup dalam sebuah kekacauan antarsuku. Nasionalisme mengandaikan terbentuknya ikatan-ikatan yang mengatasi perbedaan dan menyatukannya dalam wadah berbangsa yang disepakati.
Negara-negara dengan tingkat kemakmuran terdepan
semisal Jepang, Swedia, dan Swiss memiliki nasionalisme yang kuat pada warganya.
Berkebalikan dengan kondisi tersebut, negara-negara dengan nasionalisme rendah,
sebagaimana yang ditunjukkan negara seperti Somalia dan Afghanistan,
cenderung menjadi negara yang keras dan miskin.
Sampai kemudian pertanyaan tentang fasisme mengemuka, apa itu fasisme dan apa bedanya dengan nasionalisme?
Relevansi pertanyaan tersebut adalah fakta kecenderungan berbagai negara saat ini yang condong ke kanan dan dalam banyak hal merefleksikan nasionalisme berlebihan, bahkan mengarah ke fasisme.
Kecenderungan masif seperti ini relatif tidak ditemukan pada beberapa tahun sebelumnya. Hari ini dunia disuguhi drama nasionalisme yang begitu agresif di Amerika Serikat dengan slogan percaya diri yang diusung, “America First”.
Lewat berbagai Executive Order (EO), Donald Trump mengentak dunia dengan berbagai kebijakan kerasnya dan dengan gamblang ia menjelaskan latar kebijakan tersebut: membangkitkan kejayaan Amerika. Nuansa politik serupa, yakni demi nasionalisme dengan tekanan keras, juga melanda Eropa, dari Jerman, Prancis, hingga Hongaria.
Fasisme Posthuman
Dalam relasi ini, apa yang menjadi pandangan fasisme oleh Yuval Noah Harari (2018) cukup menarik dan relevan.
Sejarawan ternama ini mengatakan bahwa fasisme mampu membentuk citra dan pandangan orang bahwa bangsanya adalah bangsa yang tertinggi dan bahwa orang tersebut memiliki kewajiban eksklusif terhadapnya. Sikap ini akan membawanya untuk tidak perlu peduli dengan siapa pun atau apa pun selain bangsanya.
Fasisme adalah apa yang terjadi ketika orang mencoba mengabaikan kerumitan dan membuat hidup terlalu mudah bagi diri mereka sendiri.
Fasisme menyangkal semua identitas kecuali identitas nasional dan bersikeras bahwa orang hanya memiliki kewajiban terhadap bangsanya.
- Jika bangsa menuntut orang tersebut mengorbankan keluarganya, maka orang tersebut akan mengorbankannya.
- Jika bangsa menuntut orang itu membunuh jutaan orang, maka orang itu akan membunuh jutaan orang.
- Tidak cukup dengan itu, bahkan jika bangsa saya menuntut orang itu untuk mengkhianati kebenaran dan keindahan, maka orang tersebut harus mengkhianati kebenaran dan keindahan.
Misalnya, bagaimana seorang fasis mengevaluasi seni? Bagaimana seorang fasis memutuskan apakah sebuah film adalah film yang bagus atau film yang buruk? Sebenarnya hanya ada satu tolok ukur, yakni jika film itu melayani kepentingan bangsa, itu adalah film yang bagus. Sebaliknya, jika film itu tidak melayani kepentingan bangsa, itu adalah film yang buruk.
Dalam dirinya, fasisme mengandung narsisme dan kesombongan. Pada tahun 1930-an, ketika orang Jerman melihat ke cermin fasis, mereka melihat Jerman sebagai hal yang paling indah di dunia.
Jika hari ini orang Rusia melihat ke cermin fasis,
mereka akan melihat Rusia sebagai hal yang sangat indah di dunia di balik horor perang Ukraina. Dan jika orang Israel melihat ke cermin fasis, mereka akan melihat Israel sebagai hal terindah di dunia di atas genosida Palestina yang terus berlangsung.
Fasisme dan kediktatoran bisa jadi akan kembali, tetapi mereka akan kembali dalam bentuk baru yang jauh lebih relevan dengan realitas teknologi Abad ke-21.
Pada zaman dahulu, tanah adalah aset terpenting di dunia. Saat ini, dalam pandangan Harari, mesin dan penguasaan algoritma untuk memengaruhi pendapat menjadi lebih penting daripada tanah.
Bahaya teknologi lain yang mengancam masa depan demokrasi adalah penggabungan teknologi informasi dengan bioteknologi, yang dapat mengakibatkan terciptanya algoritma yang mengenal seseorang lebih baik daripada seseorang itu mengenal dirinya sendiri.
Begitu seseorang memiliki algoritma tersebut, sistem eksternal, seperti pemerintah, tidak hanya dapat memprediksi keputusan seseorang, tetapi juga dapat memanipulasi perasaan dan emosi.
Seorang diktator mungkin tidak dapat memberikan perawatan kesehatan yang baik, tetapi ia akan dapat membuat orang untuk mencintainya dan membuat orang membenci pihak oposisi.
Demokrasi akan sulit bertahan dari perkembangan seperti itu karena, pada akhirnya, demokrasi tidak didasarkan pada rasionalitas manusia, namun demokrasi didasarkan pada perasaan manusia. Inilah godaan fasisme posthuman.
Mikropolitik
Fasisme saat ini tidak lagi bermuka klasik sebagaimana Benito Mussolini menyajikan ideologi ini. Mussolini mendefinisikan fasisme sebagai “revolusi melawan revolusi” namun fasisme saat ini berkutat dari dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Dalam batas tertentu, kita bisa meminjam pandangan Felix Guattari dan Gilles Deleuze (1972) tentang mikropolitik. Pemikiran Félix Guattari, khususnya konsep mikropolitik, memiliki relevansi yang cukup kuat ketika kita melihat politik Indonesia saat ini, termasuk pengesahan RUU TNI pada 20 Maret 2025.
Mikropolitik Guattari menekankan bagaimana kekuasaan tidak hanya bekerja melalui struktur makro (negara, hukum, institusi), tetapi juga melalui dinamika mikro—keinginan individu, hubungan sosial, dan praktik sehari-hari yang sering kali tidak terlihat.
RUU TNI yang baru disahkan merevisi Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dengan beberapa perubahan krusial, di antaranya memperluas jumlah kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif (dari 10 menjadi 16), menambah tugas TNI –seperti penanggulangan ancaman siber, dan mengatur ulang usia pensiun.
Pengesahan ini memicu kontroversi di berbagai daerah karena dianggap membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer ala Orde Baru yang mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer.
RUU TNI tidak hanya soal kebijakan makro, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan militer meresap ke dalam kehidupan sipil secara halus. Dengan TNI aktif bisa menduduki lebih banyak posisi sipil (BNPT, Bakamla, hingga Kejaksaan Agung), maka terjadi normalisasi kehadiran militer di ranah yang sebelumnya non-militer.
Ini mencerminkan apa yang Guattari sebut microfascisms—kecenderungan kecil menuju kontrol yang akhirnya memperkuat struktur otoriter. Dalam pandangan Guattari, ia menekankan bahwa keinginan (desire) adalah motor politik.
Dalam konteks RUU TNI,
pemerintah dan DPR mungkin memanfaatkan keinginan masyarakat akan “keamanan” (misalnya dari ancaman siber atau terorisme) untuk melegitimasi perluasan peran TNI.
Namun demikian, ini juga menekan keinginan lain—semisal demokratisasi atau supremasi sipil—yang menjadi cita-cita Reformasi 1998. Cara pandang mikropolitik mengajak kita bertanya: siapa yang benar-benar menginginkan ini, bagaimana keinginan itu dibentuk?
Pertanyaan-pertanyaan tajam mengiringi kondisi perpolitikan terkini. Kita dapat menambahnya dengan berderet pertanyaan lain.
Kritisisme ini tumbuh sebagai bagian dari tugas bersama mengembangkan mekanisme check and balances dalam kelaziman demokrasi. Kritisisme juga diperlukan untuk menghindari godaan fasisme sebagaimana tergambar di atas.
0 Comments