Banyak pertanyaan dari kolega terkait bagaimana menumbuhkan semangat menulis dan belajar di tengah padatnya agenda kerja. Pertanyaan lain juga muncul bagaimana mungkin di organisasi pemerintahan (organisasi publik) anda bisa bebas menulis dan tetap mengembangkan budaya kritis?
Berbagai pertanyaan di atas menjadi menarik dan sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Di negeri ini, budaya literasi sangat rendah. Bahkan hasil riset CSIS (2018), di hampir semua kalangan, terutama generasi milenial, budaya menulis sangat rendah.
Mendengar pertanyaan dari para kolega dan dilatarbelakangi oleh konteks yang tepat, saya merasa terprovokasi untuk menulis artikel singkat ini. Tentu dengan sebuah pengharapan, semoga bermanfaat dan menambah semangat para jiwa yang tidak ingin dilupakan sejarah.
Sebuah Observasi
Tidak hanya di Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A) III LAN Samarinda saja budaya menulis dan baca begitu rendah. Dari total pegawai 49 orang, tidak sampai 10 persennya yang pergi ke perpustakaan setiap harinya untuk mencari literatur dan membacanya sebagai referensi untuk membaca fenomena sosial yang berkembang liar di Kalimantan maupun di Indonesia.
Jelas hal ini berpengaruh terhadap budaya menulis. Padahal, mimpi saya dengan menambah jumlah koleksi terbaru buku-buku berbobot, kegiatan membaca dan menulis menjadi habit.
Dengan demikian, sebagai lembaga kajian, sudah selayaknya personil PKP2A III LAN Samarinda aktif mengisi jurnal-jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional, dan setiap hari artikel pendek bisa menghiasi media cetak lokal maupun level nasional.
Tidak hanya di PKP2A III LAN Samarinda saja budaya literasi dan menulis rendah. Di level pemerintah daerah lebih parah. Wajar jika, untuk melaporkan kegiatan pemerintahan, pemerintah daerah harus membayar mahal jurnalis sekaligus membeli halaman media cetak untuk menyampaikan pesan.
Hasrat Menulis ASN
Padahal betapa pentingnya mengembangkan budaya menulis di kalangan birokrat. Tidak sekedar melaporkan kegiatan kepemerintahan, namun untuk berbagai tujuan penting lainnya seperti sosialisasi kebijakan, saran kebijakan, mencari terobosan atau solusi, dan tentu yang lebih penting dari itu adalah untuk memmengaruhi opini publik sekaligus sebagai wahana pencerahan.
Sulit dipungkiri, hasrat menulis sangat dipengaruhi oleh persepsi individual penulis. Khususnya di kalangan pegawai pemerintah, keinginan menulis lebih dilatarbelakangi oleh harapan dapat digunakan sebagai angka kredit atau kebutuhan administratif.
Terhadap fenomena seperti ini saya sangat paham dan tidak terlalu risau. Bagi saya ini adalah awal bagi terbukanya kesadaran baru menulis dan akan menstimulir keinginan pegawai untuk membaca dan terus membaca demi menggali lebih banyak ide.
Hal ini pun terjadi pada pejabat fungsional Widyaiswara dan Peneliti PKP2A III LAN. Pilihan tujuan administrasi dalam menulis tetap lebih baik daripada ini tidak sama sekali. Apresiasi pada kolega saya ini untuk terus menjaga konsistensi dalam menulis tetap harus dijaga dan dirawat.
Mungkin hal inilah yang melatarbelakangi Almarhum Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA (Mantan Kepala LAN 2012-2015), selalu mengingatkan saya untuk terus memelihara budaya akademik.
“Sebagai lembaga think tank-nya pemerintah dalam bidang pembaharuan administrasi negara, LAN harus terus menjaga dan memelihara budaya akademik (academic culture). Dan saya merasa gagal melakukan reformasi LAN ini karena belum mampu menghadirkan budaya akademik”, tegas Pak Agus dalam sebuah forum diskusi di PKP2A III LAN Samarinda pada awal tahun 2015.
Budaya Akademik
David D. Dill, Profesor Emeritus Kebijakan Publik, Universitas North Carolina, dalam sebuah artikel yang berjudul “The Management of Academic Culture Revisited: Integrating Universities in Enterprenueral”, mengatakan bahwa secara umum budaya akademik tidak berbeda dengan budaya organisasi.
Kedua budaya tersebut memiliki fungsi sebagai identitas organisasi atau dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas dan produktivitas pegawai menghadapi tantangan perubahan yang semakin cepat.
David D. Dill dalam artikelnya menjelaskan bahwa budaya akademik dalam sebuah organisasi setidaknya meliputi budaya disiplin dan budaya profesi akademik.
Budaya disiplin/budaya tertib merupakan nilai dasar setiap orang, organisasi, dan juga bangsa. Bangsa yang menjadikan disiplin sebagai nilai utamanya akan lebih maju dalam segala hal.
Finlandia, Jepang dan Singapura adalah contoh negara-negara maju yang membangun negerinya dengan budaya disiplin yang sangat tinggi dan penuh dengan komitmen.
Pada lingkup organisasi publik, kedisiplinan berperan penting dalam proses mengelola kinerja organisasi. Tidak hanya soal kuantitas kinerja, tetapi juga kualitas, ketepatan waktu dan biaya. Kedisiplinan inilah yang melahirkan budaya atau budaya organisasi yang ideal.
Menurut pandangan Prof. Heru Nugroho, Guru Besar FISIP UGM, budaya profesi akademik ditandai oleh meningkatnya kualitas akademik dan komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti para akademisi.
Para akademisi terlihat lebih mementingkan nilai-nilai pengetahuan bukan pragmatis, banyak melakukan penelitian yang hasilnya sangat dirasakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki semangat kerja dan asketisme akademik yang tinggi.
Baik dalam pandangan Dill dan Nugroho, organisasi publik lebih prospektif dan berpeluang menghidupkan budaya akademik. Hal ini bisa dipahami karena karakteristiknya.
Di organisasi publik, dukungan sumber daya dan sarana dan prasarana, keluangan waktu untuk mengembangkan budaya akademik lebih besar jika dibandingkan dengan di sektor dunia usaha.
Di samping itu, organisasi publik memiliki tujuan yang ideal sebagai pelayanan masyarakat, di mana dalam proses pengembangan pelayanannya sangat didukung oleh program dan dukungan anggaran yang cukup. Sebagai contoh, pengembangan dapat kita lihat pada pengiriman ASN untuk sekolah, program benchmarking dan studi banding, dan lain sebagainya.
Sementara di sektor swasta, karena tujuan didirikannya adalah untuk mencari profit, segala aktivitasnya selalu terbatas apalagi dalam pengembangan budaya akademik.
Namun pertanyaannya adalah, kenapa Amazon dan Facebook dapat sukses menghidupkan budaya akademik?
Belajar dari Amazon dan Facebook
Dalam sebuah artikel yang berjudul “What My Time at Amazon Taught Me About Company Culture”, Pieter Kemps menguraikan pengalaman menariknya selama bekerja di Amazon Web Services (AWS).
Menurutnya, ada tiga budaya perusahaan yang Kemps amati selama di AWS, antara lain, terciptanya prinsip kepemimpinan, merekrut karyawan dengan tepat, serta membangun ekosistem internal yang berkembang dengan cepat.
Keberhasilan Amazon, menurut Kemps, sebagian besar terletak pada “ritual” mereka dalam membimbing karyawan mereka sehari-hari dengan cara menyingkirkan proses dan menggantikannya dengan prinsip kepemimpinan yang disiplin.
Sementara, Facebook membangun budaya perusahaannya melalui pendirinya, Mark Zuckerberg, yang berani menjadikan dirinya sebagai role model dalam menumbuhkan budaya akademik.
Zuckerberg, meski telah mencapai puncak ketenaran dan menjadi the maker of history, meminjam istilah Bung Karno, tidak pernah menghentikan semangatnya untuk terus belajar. Dan ini menjadi prinsip hidupnya yang dapat mengubah dirinya dan dunia.
Mengutip HaloMoney.co.id dari berbagai sumber, dua kekuatan penting Zuckerberg dalam membangun budaya akademik, yakni, pertama, menjadikan membaca sebagai kebiasaan (make reading a habit).
Di tahun 2015, Zuckerberg menantang dirinya sendiri. Katanya, “Membaca sebuah buku baru setiap minggu dengan menekankan pembelajaran tentang ragam kebudayaan, kepercayaan, sejarah, dan teknologi.”
Dia melanjutkan, “Anda bisa mengeksplor sebuah topik dari buku-buku dan membenamkan diri Anda sendiri lebih dari media apa pun saat ini. Jika Anda belum menjadi pembaca yang konsisten, sebaiknya Anda memulainya hari ini.”
Kedua, belajar keterampilan baru (learn a new skill). Zuckerberg berani mengambil tantangan belajar bahasa Mandarin. Pidatonya mengejutkan dunia karena menggunakan bahasa mandarin dengan lancar dalam acara dengan sebuah grup mahasiswa di Beijing.
Kefasihannya dalam berbahasa Mandarin ini membuat Zuckerberg mampu mempengaruhi kalangan akademi Cina dan komunitas bisnis, termasuk regulator di China.
Tanggung Jawab Siapa
Menghidupkan budaya akademik di organisasi publik adalah sebuah keniscayaan. Saya, Anda, dan kita semua memiliki tanggung jawab itu, justru pada saat budaya literasi kita sangat rendah, dan saat di mana hari ini hasrat menulis berada di titik nyaris nol.
Pemerintah juga sudah seharusnya memberi ruang lebih banyak bagi terbangunnya budaya kritis dan mendorong budaya akademis. Sayang sekali. keberhasilan pemerintah yang seharusnya bisa disebarkan untuk mempengaruhi publik ternyata harus terparkir di ruang-ruang hampa arsip perkantoran.
Padahal, sebagaimana dilakukan Amazon dan Facebook, pemerintah bisa membuka ceruk potensi yang tak terlihat sebelumnya dengan terus mendorong semangat belajar warga dan membuka pikiran agar warga tetap kritis.
Sebab, daya kritis adalah bagian terpenting dari merawat negeri ini agar tidak diisi oleh pasukan “ABS” (Asal Bapak Senang) atau “Yes Man” yang pasti tidak akan merubah apa-apa.
Epilog
Budaya akademik akan membuka pikiran dan horizon masa depan. Tidak hanya untuk pribadi, tetapi juga untuk masa depan peradaban manusia dan bangsa. Bagi pemerintah, tentu budaya akademik sangat penting karena bisa membantu lahirnya berbagai terobosan penting yang mendukung ekonomi yang berbasis pengetahuan (knowledge driven economy).
Menghidupkan budaya akademik berarti membuka ruang pegawai, warga bangsa dan seluruh insan cendekia untuk selalu membuka pikiran terhadap hal-hal baru yang belum diketahui.
Saya bersyukur meskipun dengan power coercive approach, yakni menjadikan artikel di media massa (elektronik/ cetak) dan jurnal terakreditasi sebagai salah target sasaran kinerja pegawai (SKP), seluruh pegawai PKP2A III LAN Samarinda kini mampu menulis.
Setidaknya kolega kami sering menyebut PKP2A III LAN Samarinda paling beda. Sebutan itu mungkin muncul karena hidupnya budaya akademik di sana.
Kepala Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN Samarinda. Pengalamannya sebagai pegiat riset di CIDES selama 10 tahun (1994 - 2004) memberikan pengaruh penting pada bangunan idealismenya yang tetap kritis dan open mind dalam menyikapi berbagai problem hidup, baik sebagai pribadi, masyarakat, dan bangsa. Semangat, kritis, dan open mind tampak dari tulisan-tulisannya.
Taufik Ismail berujar budaya malas membaca, pincang menulis masih melekat pada masyarakat.
Insipirasi dari LAN Samarinda tentu akan merubah ujaran Taufik Ismail diatas, semoga.
lumpuh menulis. itu istilah saja. namun menjadi fakta orang seklahan paska kemerdekaan. itu ta terjadi pada zaman kolonial be;landa.
Keren mas mariman ulasannya..mungkin dilevel birokrasi juga harusnya perlu yaa diterapkan budaya literasi .. 15 menit diawal sblm pekerjaan dimulai saya rasa cukuplah..
Skrng ini kami juga lagi menggiatkan literasi disekolah..yakni 15 menit membaca sblm pelajaran dimulai… 5 menit utk tilawah atau membaca kitab bagi non muslim n 10 menit membaca buku apa saja yg disukai….siswa kmudian menuliskan ulasan apa yg telah mereka baca n menyimpannya ke dalam jurnal mreka..kmudian mengambil waktu pada hari jumat atau sabtu..siswa berbagi informasi tentang artikel atau buku yg sudah dibaca…
Two thumbs up for the article Mas Mariman ..wish we had a leader who could support his employees to learn n to contribute their creativities n innovation .. 👍👍
Istimewa..👍👍👍