Menggagas Masa Depan Hijau Melalui Pendidikan Perubahan Iklim

by | Sep 17, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Perubahan iklim bukan lagi ancaman dan bahaya yang datang dari masa depan, melainkan krisis yang hadir di depan mata yang kita hadapi sekarang. Hujan di musim panas, terik di musim hujan, longsor, dan berbagai kebakaran hutan serta bencana alam lainnya di tanah air  makin sering terdengar.

Kondisi tersebut menegaskan Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan terhadap dampak iklim. Hal ini meniscayakan kesiapan generasi yang paham dan mempraktikkan pola hidup berkelanjutan. 

Di titik masalah demikian, pendidikan,
yang memiliki tekanan khusus pada integrasi kesadaran lingkungan hidup,
menjadi pihak yang sangat penting dalam upaya membentuk generasi yang menjunjung tinggi kepedulian terhadap bumi.

Pendidikan memiliki potensi besar untuk menjadi harapan utama dalam menyemai kesadaran perubahan iklim di Indonesia. 

Sebagai sebuah negara, Indonesia selalu dibayangi ancaman bencana alam seperti banjir, kekeringan, kenaikan permukaan laut, dan polusi plastik.

Dengan populasi siswa mencapai sekitar 50 juta dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK (Kemendikdasmen, 2025), pendidikan dapat menjadi alat transformasi untuk membentuk pola pikir, perilaku, dan keterampilan generasi muda dalam menghadapi krisis iklim.

Salah satu kunci keberhasilan upaya kesadaran perubahan iklim pada ranah pendidikan terletak pada kolaborasi lintas sektor yang terarah dan inklusif.

Pada kurun setahun terakhir ini, harusnya, kolaborasi lintas sektor itu semakin menguat dengan penerbitan dan penerapan Panduan Pendidikan Perubahan Iklim oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2024 (Kemendikbudristek, dulunya) di sekolah. 

Kontekstualitas pendidikan perubahan iklim

Jika ditelisik, kontekstualitas dan keterhubungan antara mata pelajaran dan pendidikan perubahan iklim serta realitas sekiitar masih menjadi tantangan serius. Siswa perlu mendapat pemahaman dampak nyata dari perubahan iklim seperti kenaikan suhu gobal, polusi plastik, dan deforestasi.

Siswa harus terkoneksi dengan pemahaman beragam problem perubahan iklim dan belajar mengambil langkah kecil tapi nyata untuk meresponsnya.

Di sekolah, misalnya, pemanfataan penghitungan penggunaan jejak karbon per individu juga belum lazim diterapkan karene kelaziman siswa ke sekolah yang secara umum masih memakai kendaraan dengan bahan bakar fosil.

Di Indonesia perubahan iklim belum menjadi perhatian penting (PPIM UIN Jakarta, 2024) sebab dipandang kurang relevan dibandingkan prioritas ekonomi atau sosial.

Pandangan ini tidak tepat.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam Sixth Assessment Report (2021-2023) menyebukan kerugian ekonomi global akibat perubahan iklim bisa mencapai 10-20 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia pada 2050-2100 di skenario emisi tinggi.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, kerugian bisa lebih tinggi (hingga 40 persen PDB) karena faktor geografis sebagai negara kepulauan terbesar dan ketergantungan pada sektor rentan seperti pertanian, perikanan, dan hutan.

Hal tersebut sejalan dengan data di ranah pendidikan yang dapat menjadi tantangan mendasar pendidikan perubahan iklim yang terefleksikan dalam beberapa hal.

  • Pertama, perlunya digagas dan dijalankan pola pendidikan yang kontekstual yang mengarah pada penguasaan keterampilan praktis, seperti pengelolaan sampah, dan penggunaan perangkat hemat energi. Pendekatan ini relevan untuk para siswa, dengan tekanan pada pentingnya aspek pembiasaan dalam bertindak, bukan hanya agar siswa tahu dan paham tentang pendidikan perubahan iklim. 
  • Kedua, disparitas dan model pendidikan perubahan iklim yang membutuhkan penanganan segera.

Survei awal dari Kemendikdasmen dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) pada Mei 2025 mencatat bahwa sekitar 30 persen sekolah di Jawa dan Sumatra telah mengintegrasikan panduan pendidikan perubahan iklim ke Kurikulum Satuan Pendidikan (KSP), dengan praktik seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) gaya hidup berkelanjutan di 200 sekolah.

Meski demikian, survei dari Sikolu (2025) menunjukkan informasi yang mengungkap bahwa implementasi pendidikan perubahan iklim belum merata dan mampu menjadi kerja bersama dengan masif. 

Sikolu menyatakan bahwa hanya 20-25 persen guru yang terlatih dengan baik dan pendidikan perubahan iklim juga mengalami hambatan seperti kurangnya koordinasi lintas mata pelajaran, minim pelatihan khusus, dan keterbatasan sumber daya di daerah terpencil.

Data ini juga menunjukkan bahwa terdapat gap antara pengetahuan dan praktik karena panduan masih berkutat pada fokus kognitif, bukan menekankan aspek afektif dan konatif. Tanpa tekanan pada aspek afektif dan konatif, sulit berharap kesadaran perubahan iklim yang digerakkan oleh kesadaran diri dapat tumbuh dan berkembang. 

Contoh dari Jepang

Di banyak negara, dorongan untuk membangun kesadaran perubahan iklim dari bangku sekolah telah lama dipraktikkan. Tekanan untuk fokus pada praktik di lapangan menjadi kebijakan tersendiri.

Di Jepang, misalnya, pendidikan iklim yang terintegrasi ke dalam kurikulum nasional (Courses of Study) sejak SD menekankan pengelolaan limbah plastik melalui proyek seperti daur ulang dan kampanye yang disebut mottainai. 

Mottainai adalah konsep budaya Jepang yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai sikap yang menilai sesuatu sebagai hal yang bersifat sayang sekali atau eman-eman (bahasa Jawa).

Mottainai mencerminkan sikap untuk menghargai sumber daya, menghindari pemborosan, dan menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien hingga akhir masa pakainya.

Survei MEXT (2023) menunjukkan bahwa siswa Jepang yang teredukasi tentang perubahan iklim mampu mengurangi penggunaan plastik hingga 30 persen dan meningkatkan kesadaran dan kesiapan bencana.

Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk mengurangi dampak plastik, misalnya melalui skema Sekolah Adiwiyata dan Sekolah Hijau untuk mengurangi sampah plastik sekolah.  

Menumpu Harapan pada Sektor Pendidikan

Kita harus meyakini bahwa pendidikan mampu menjadi harapan penting dalam turut serta menegakkan kesadaran perubahan iklim di Indonesia dengan menjangkau jutaan siswa, mengubah perilaku, dan mendukung target net-zero 2060.

Indonesia menargetkan mampu mencapai net-zero emission pada tahun 2060, sebagaimana diumumkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui pada 2022 dan ditegaskan kembali pada 2024.

Target ini selaras dengan komitmen global dalam Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5-2°C di mana jelas peran pendidikan untuk membangun kesadaran tentang perubahan iklim tersebut.

Dengan mengatasi ancaman seperti polusi plastik (7,8 juta ton/tahun) dan kerugian ekonomi hingga 1.000 triliun rupiah sebagaimana disebut dalam IPCC AR6, pendidikan dapat menciptakan generasi yang sadar, terampil, dan proaktif.

Meski tantangan seperti implementasi tidak merata dan koordinasi yang lemah masih membayangi, kolaborasi lintas sektor dan inspirasi dari berbagai praktik baik dapat memperkuat upaya ini.

Dengan pendidikan sebagai fondasi, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan hijau, melindungi bumi dari krisis iklim untuk generasi mendatang.

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post