Mengenal Mazhab dalam PBJ dan Permasalahannya di Indonesia*

by | Mar 30, 2019 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah upaya memenuhi kebutuhan terhadap barang atau jasa yang dilakukan oleh organisasi dalam rangka aktivitas tertentu atau mencapai tujuan organisasi. Tujuan dan strategi organisasi hanya akan tercapai manakala barang atau jasa yang dibutuhkan telah tersedia sehingga mampu mendukung pencapaian tujuan dan strategi tersebut.

Dalam lingkup pemerintah, pengadaan barang jasa selama ini dipayungi oleh regulasi  presiden, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 Tahun 1994, Keppres Nomor 18 Tahun 2000, Keppres Nomor 80 Tahun 2003 hingga Perpres Nomor 54 Tahun 2010.  Bahkan terakhir, karena dipandang perlu banyak penyesuaian dengan perkembangan terkini, maka regulasi tersebut diubah secara fenomenal melalui Perpres 16 Tahun 2018.

Namun sayangnya, terobosan yang ada saat ini pun masih perlu didobrak secara lebih masif lagi dengan mendasarkan kepada filosofi keilmuan pengadaan dan best practices yang ada dalam pengadaan.

Ada beberapa isu penting yang menurut penulis perlu dilakukan perubahan secara fundamental, karena banyak pemangku kepentingan di republik ini, yang masih menganggap pengadaan sebagai penyumbat (bottleneck) bahkan penghambat proses pembangunan.

Mazhab Universal

Pengadaan barang jasa adalah tata kelola universal yang dilakukan di setiap entitas organisasi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pengadaan adalah cara belanja, atau lebih ekstremnya cara menghabiskan uang. Belanja pada dasarnya merupakan aktivitas yang ‘menyenangkan’ karena berurusan dengan menghabiskan nominal tertentu.

Kendati begitu sebagai bagian dari manajemen dalam organisasi, cara menghabiskan uang tersebut tetap harus mengikuti tata kelola yang efektif. Sebab, sumber pendanaan adalah bagian subyek audit yang vital. Terdapat beberapa mahzab mainstream pengadaan barang dan jasa yang sudah cukup teruji di seluruh dunia, dua di antaranya adalah CIPS dan APICS.

CIPS (The Chartered Institute of Procurement & Supply)

Mahzab pengadaan ini berasal dari Eropa dan telah mengakar hingga mencakup 150-an negara. Kekuatan filosofi dan best practice telah mengakar sedemikian dalam dan sangat aplikatif.

CIPS adalah badan profesional global berbasis di Inggris yang bergerak untuk profesi pembelian/pengadaan dan pasokan. Dengan tujuan “keunggulan terkemuka dalam pembelian/pengadaan dan pasokan”, badan ini bertujuan untuk mempromosikan praktik yang baik dan menyediakan layanan untuk kepentingan komunitas pengadaan.

CIPS mempunyai misi mempromosikan dan mengembangkan standar tinggi dalam hal keterampilan, kemampuan, dan integritas profesional di antara semua orang yang terlibat dalam pembelian/pengadaan dan manajemen rantai pasokan. Jaringan globalnya memiliki komunitas global dengan lebih dari 200.000 profesional pengadaan dan pasokan dan anggota di lebih dari 150 negara.

Di Inggris, CIPS berupaya untuk bekerja dengan profesi pengadaan di sektor publik dan menandatangani nota kesepahaman dengan kantor kabinet pemerintah Inggris pada 28 Mei 2012 dan berusaha untuk bekerja lebih dekat dan meningkatkan kemampuan pembelian pemerintah.

CIPS juga bermitra dengan Institut Manajemen Pasokan Amerika Serikat atau Institute of Supply Management (ISM). CIPS bekerja untuk mempromosikan pemahaman tentang pengadaan sebagai “pilihan karier” dan untuk membantu orang yang tertarik dalam pengadaan memasuki profesi.

CIPS adalah badan profesional yang awalnya didirikan sebagai Purchasing Officers Association pada tahun 1932 dan dianugerahi Piagam Kerajaan Inggris pada tahun 1992.

APICS  (American Production and Inventory Control Society)

Mahzab pengadaan ini berasal dari praktisi pengadaan di belahan amerika utara dan berperan pula sebagai salah satu best practices. Pada tahun 1957, 20 manajer kontrol produksi membentuk American Production and Inventory Control Society (APICS).

Organisasi ini kemudian menjadi asosiasi internasional yang dikenal sebagai APICS. APICS adalah asosiasi untuk manajemen rantai pasokan dan organisasi pendidikan internasional nirlaba, yang menawarkan program sertifikasi, pelatihan, dan peluang jaringan untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja.

APICS bergabung dengan Dewan Rantai Pasokan pada tahun 2014 dan Perhimpunan Transportasi dan Logistik Amerika atau American Society of Transportation and Logistics (AST & L) pada tahun 2015. Sertifikasi Profesional Rantai Pasokan Bersertifikat APICS  Certified Supply Chain & Procurement (APICS CSCP), adalah sertifikasi yang menunjukkan pengetahuan profesional dan keterampilan organisasi untuk mengembangkan operasi yang lebih ramping.

Sejak diluncurkan pada 2006, lebih dari 24.000 profesional di 100 negara telah mendapatkan sertifikasi CSCP. APICS menawarkan beberapa sertifikasi profesional. Setelah itu, APICS melakukan rebranding pada Oktober 2018 menjadi Asosiasi Manajemen Rantai Pasokan atau Association of Supply Chain Management (ASCM).

ASCM bertujuan untuk menjadi pemimpin global dalam transformasi, inovasi, dan kepemimpinan organisasi rantai pasokan. ASCM adalah organisasi rantai pasokan yang mencakup semua yang akan mendorong industri rantai pasokan ke depan dan mengubah cara organisasi melakukan bisnis.

Program sertifikasi APICS diakui di seluruh dunia dan memberi pendidikan para profesional manajemen operasi yang relevan dan esensial yang melengkapi kemampuan para profesional dalam rangka mengantisipasi pasar yang berubah dengan cepat saat ini.

Sertifikasi tersebut dianggap sebagai standar keunggulan profesional dan kualitas dalam industri manufaktur dan jasa. Sertifikasi APICS meningkatkan daya jual para profesional pengadaan dan dapat mengarah pada peluang yang lebih besar.

Permasalahan Pengadaan Indonesia

Dari kedua aliran utama pengadaan yang ada tersebut, pemerintah Indonesia sepertinya berupaya untuk menyusun aliran hulu dan hilir pengadaan menggunakan pendekatan yang berbeda, dalam arti tidak mengikuti salah satu mazhab di atas.

Pendekatan tersebut bisa jadi justru dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa praktek dari kedua mazhab pengadaan tadi, atau mungkin dengan beberapa tata kelola pengadaan yang lain lagi.

Namun demikian, pola penggabungan semacam itu belumlah dapat dikatakan proven (terbukti), apalagi robust (teruji). Apalagi jika dibandingkan dengan kedua mahzab yang telah dibangun berdasarkan praktek yang matang, terus menerus dan perbaikan berkelanjutan. Paling tidak, aturan pengadaan yang disusun setidaknya menggunakan sebuah kajian ilmiah serta best practice, yakni  pengalaman yang telah terbukti tangguh di lapangan.

Belum jelasnya kajian ilmiah ataupun mazhab yang digunakan, membuat regulasi pengadaan di Indonesia menemui kebimbangannya. Hal itu dapat dilihat dari seringnya terjadi revisi regulasi serta rumitnya pelaksanaan di lapangan.

Sejak regulasi awal pengadaan, belum pernah dijumpai secara eksplisit bahwa aturan pengadaan yang ada disusun berdasarkan sebuah tata kelola atau mengikuti konsep teori tertentu. Terdapat beberapa kelemahan fundamental yang memerlukan pencermatan mendalam, seperti uraian di bawah ini.

Aturan sering berubah

Sejak diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, telah terjadi berulangkali perubahan, di antaranya :

  1. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004
  2. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005
  3. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005
  4. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006
  5. Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006
  6. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006
  7. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007

Perkembangan zaman dan tuntutan perubahan tata kelola menjadikan perubahan regulasi tersebut menjadi tidak relevan lagi, sehingga di tahun 2010 terjadi perubahan yang signifikan menjadi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

Akan tetapi, sebagaimana aturan pendahulunya, maka regulasi tersebut juga mengalami berbagai dinamika dengan munculnya perubahan sebagai berikut:

  1. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011
  2. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012
  3. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014
  4. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015

Dinamika dan disrupsi di berbagai sektor, telah melahirkan kebutuhan tata kelola baru dalam pengadaan barang jasa pemerintah, sehingga regulasi yang ada akhirnya menjadi seolah-olah tertinggal.

Seiring bergantinya tahun 2018, maka muncullah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

Kerumitan Dalam Implementasi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pengadaan barang jasa pemerintah memiliki tingkat kerumitan yang luar biasa. Segudang aktivitas klerikal sebagai manifestasi dari kolonialisasi akuntansi, bahkan tidak menggambarkan tujuan dan strategi pengadaan yang sesungguhnya.

Pengadaan dengan nilai kecil sampai dengan nilai besar, ternyata memiliki kerepotan administrasi yang luar biasa. Kegaduhan pencairan di akhir tahun anggaran menjadi gambaran nyata betapa ruwetnya pengadaan dikorelasikan dengan keuangan.

Jangankan berbicara mengenai bukti elektronik, bahkan sekedar belanja ATK saja, bisa memunculkan bukti pencairan yang sedemikian tebal. Masih banyak lagi berbagai alasan yang menjadikan banyak calon penyedia atau supplier bonafide menjadi antipati dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Bahkan di beberapa tempat, ketika seharusnya membeli katering ke warung seberang kantor bisa sedemikian mudah, tetapi akan berbeda prakteknya ketika memakai mekanisme pengadaan pemerintah.

Ketika seharusnya membeli peralatan kantor semudah membeli langsung ke toko online, maka akan memerlukan penyedia palugada (apa lu mau gua ada) ketika menggunakan mekanisme belanja negara, hanya karena mencari bukti Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau sekedar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Perlunya Database Permasalahan

Salah satu hal yang dapat membantu mengatasi berbagai kelemahan adalah dengan terlebih dulu mengenali permasalahan. Untuk itu, diperlukan sebuah database permasalahan yang terkodifikasi secara cermat. Perubahan regulasi pengadaan pemerintah yang terjadi hampir setiap tahun, tanpa diimbangi dengan bank data, hanya menyisakan kerumitan-kerumitan baru.

Setiap kerumitan membutuhkan pendekatan dan upaya yang tidak sedikit, dan akhirnya tujuan pembangunan yang dititipkan melalui mekanisme pengadaan berujung kepada permasalahan yang lebih kompleks.

Penutup

Saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang mungkin dapat menggelitik kita semua, untuk kemudian memantik diskusi lebih lanjut.

“Akankah seterusnya pemerintah berupaya untuk membuat model pengadaan sendiri? Sudahkah ada kajian akademis atau teori yang mendasari pengadaan ala republik? Pernahkah dikalkulasi seberapa besar kerumitan menyusun sendiri aturan pengadaan baru atau lebih baik menginduk kepada tata kelola pengadaan yang sudah teruji?”

*Tulisan ini adalah sepenggal bagian dari sebuah kontemplasi panjang dari perjalanan dalam pengadaan, “another procurement journeys”.

 

 

6
0
Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Author

Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post