Mengarusutamakan Standar Keselamatan Konstruksi di Pesantren

by | Oct 15, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Pesantren adalah sistem pendidikan tertua di Indonesia. Keberadaan  Pesantren jauh mendahului kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945.

Sejak abad ke-13, pesantren telah menjadi pusat pembelajaran agama, budaya, dan ilmu pengetahuan, mencetak tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan yang mampu membentuk identitas bangsa hingga kini. 

Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2024/2025, terdapat 42.433 pondok pesantren aktif di seluruh Indonesia, dengan jumlah santri mencapai 9,8 juta jiwa. Angka ini menunjukkan pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga benteng budaya dan moral yang mengakar pada kearifan lokal yang tersebar di 33 provinsi.

Dalam amatan akademik, pesantren bukan hanya dipandang sebagai tempat untuk memelihara tradisi, tetapi juga laboratorium intelektual yang mampu menghasilkan solusi bagi permasalahan umat dan bangsa (Azyumardi Azra dalam  buku The Road to Paradise: The Roots of Indonesian Islamic Thought, 2006)

Dalam sistem pendidikan nasional, pesantren berperan strategis sebagai penyeimbang antara pendidikan formal dan pembentukan karakter berbasis nilai-nilai keagamaan serta kemandirian.

Pesantren menampung sekitar 10 persen populasi pelajar usia dini hingga remaja, dengan kontribusi signifikan dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) nasional, literasi agama, dan keterampilan hidup.

Ambivalensi sikap

Namun demikian, peran strategis ini baru mendapat pengakuan formal melalui Undang Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang ini mengatur otonomi pesantren, pengakuan terhadap kurikulum berbasis keagamaan, dan dukungan anggaran dari negara.

Sayangnya, pengakuan ini terhitung terlambat. Pasalnya, pesantren telah berdiri kokoh selama berabad-abad, menghadapi kolonialisme dan modernisasi dan kontributif terhadap proses berbangsa dan bernegara. 

Keterlambatan ini mencerminkan sikap ambivalen pemerintah terhadap sistem pendidikan asli (indigenous) Indonesia yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional.

Undang-undang tersebut, meski jelas merupakan langkah maju,
sesungguhnya menjadi titik awal, karena implementasinya masih tersendat, di antaranya dalam hal pengawasan infrastruktur dan keselamatan di pesantren.

Tragedi Al Khoziny pada dasarnya menyibak problem klasik yang banyak berlaku di pesantren, yakni sikap bersandar pada “takdir”. Minimnya standar keselamatan konstruksi di banyak pesantren sering disandingkan dengan unsur ilahiah, bahwa nyawa dan keselamatan sudah diatur oleh-Nya dan manusia hanya menjalani.

Meski demikian, berdasarkan laporan BNPB, musala yang runtuh dibangun dengan material di bawah standar dan melibatkan santri dalam pekerjaan konstruksi sangat berisiko tinggi bagi keselamatan, terlebih bila konstruksi tersebut tanpa pengawasan teknis memadai dari institusi berwenang dan kredibel. 

Akibatnya, korban meninggal cukup banyak. Jelas dan nyata, tragedi ini bukan sekadar kelalaian lokal, tetapi cerminan sistemik dari kurangnya regulasi dan pengawasan terhadap kualitas bangunan pesantren.

Banyak pesantren, terutama yang beroperasi dengan anggaran terbatas, mengandalkan swadaya masyarakat tanpa mematuhi standar teknis seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau pedoman konstruksi aman. Keterlibatan santri dalam pekerjaan konstruksi, sebagaimana terungkap dari kesaksian di Al Khoziny, juga menunjukkan kemenduaan. 

Di satu sisi, ini mencerminkan semangat kemandirian dan gotong royong di pesantren, namun di sisi lain, ini membahayakan nyawa anak didik yang seharusnya dilindungi.

Pemerintah yang kini memiliki wewenang lebih besar pasca-diberlakukannya Undang-Undang Pesantren, perlu bertindak tegas dengan memastikan setiap pesantren mematuhi standar keselamatan konstruksi. 

Mengarusutamakan keselamatan

Untuk mencegah tragedi serupa, pemerintah perlu mengarusutamakan standar keselamatan konstruksi di pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional dengan mengedepankan beberapa pendekatan.

  • Pertama, mengembangkan kolaborasi untuk menyusun regulasi bangunan pesantren. Pemerintah harus berkolaborasi dengan berbagai unsur untuk menyusun pedoman teknis konstruksi khusus pesantren dengan mempertimbangkan keterbatasan anggaran namun tanpa mengorbankan keselamatan.
  • Kedua, pelatihan mitigasi bangunan. Semua pihak harus mampu memahami dan menjadi bagian wajib pengelolaan pesantren, termasuk pemahaman tentang risiko material dan tenaga kerja. Hal ini menjadi penting karena fakta bahwa terdapat 9,8 juta santri rentan terlibat.
  • Ketiga, alokasi anggaran renovasi pesantren. Alokasi anggaran dari APBN untuk renovasi infrastruktur pesantren harus dipercepat, mengingat UU Pesantren telah memberikan landasan hukum untuk ini dan negara harus benar-benar hadir dalam konteks ini. 
  • Keempat, modernisasi kurikulum. Pesantren harus didorong untuk mengintegrasikan pendidikan keselamatan dalam kurikulum mereka. Meski berbasis tradisionalitas, santri perlu dilatih untuk memahami risiko kerja fisik dan pentingnya standar teknis, sehingga semangat kemandirian, tawadhu, dan nilai keikhlasan tidak berujung pada pengorbanan nyawa. 
  • Kelima, pembentukan badan independen pengawas kepatuhan infatruktur pesantren. Negara harus mempercepat implementasi UU Pesantren, salah satunya dengan membentuk badan pengawas independen yang memantau kepatuhan infrastruktur di seluruh pesantren, bukan hanya mengandalkan laporan sporadis.

Dengan demikian, insiden seperti Al Khoziny, yang menewaskan belasan bahkan bisa jadi puluhan korban jiwa, dapat dicegah. 

Pesan dari Tragedi

Tragedi Al Khoziny adalah pengingat bahwa pesantren bukan hanya warisan budaya, tetapi juga aset strategis pendidikan nasional yang harus dilindungi. Keterlambatan pengakuan negara melalui UU Nomor 18 Tahun 2019 seharusnya menjadi pelajaran agar implementasi kebijakan tidak lagi berjalan lamban.

Pesantren telah membuktikan ketangguhannya selama berabad-abad. Kini saatnya negara meresponsnya dengan memberikan dukungan nyata, bukan hanya dalam bentuk anggaran, tetapi juga regulasi keselamatan yang ketat dan terukur.

Seyogianya, kita tidak boleh lagi membiarkan nyawa santri menjadi taruhan kecerobohan. Mengarusutamakan standar keselamatan konstruksi di pesantren bukan hanya soal teknis, tetapi juga penghormatan terhadap sistem pendidikan indigenous yang telah menjadi ruh bangsa.

Di momen ketika semua pihak tengah menuju Hari Santri Nasional 2025, kita juga perlu menjadikan peristiwa Al Khoziny sebagai titik balik untuk memperkuat pesantren sebagai pilar pendidikan yang aman, bermartabat, dan berdaya saing.

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post