Mengapa Inovasi Digital Pemerintah Sering ‘Mati Suri’?

by | Jul 28, 2025 | Birokrasi Berdaya, Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Perkembangan teknologi telah mendorong pemerintah untuk berlomba-lomba menciptakan inovasi. Hampir setiap instansi kini memiliki aplikasi, sistem informasi, atau platform digitalnya sendiri.

Niatnya sangat mulia: modernisasi, efisiensi,
dan peningkatan kualitas layanan publik. Namun, sering kali inovasi tersebut tidak benar-benar digunakan dan berakhir di ‘kuburan digital’ begitu pimpinan berganti.

Fenomena ini adalah penyakit dalam birokrasi kita. Inovasi teknologi sering kali dimaknai sebatas “mendigitalkan formulir” atau “membuat sistem”. Fokusnya pada output berupa terciptanya sebuah aplikasi, bukan pada outcome: yaitu seberapa bermanfaat inovasi itu bagi masyarakat, bagi pegawai, ataupun bagi instansi.

Fenomena ini semakin diperparah dengan karakter adopsi teknologi di lingkungan pemerintah yang bersifat wajib dan top to down. Sebuah inovasi teknologi diluncurkan karena ada perintah pimpinan.

Penggunaannya diwajibkan dengan menjadikan ia bagian dari Indikator Kinerja Utama (IKU). Akibatnya, pengguna (baik masyarakat maupun pegawai)  tidak punya pilihan lain selain menggunakan teknologi tersebut, meskipun teknologinya user-unfriendly, merepotkan, bahkan sering error. 

Quasi-Compliance vs Acceptance

Dalam konteks adopsi teknologi yang diwajibkan, kita akan sering melihat fenomena kepatuhan semu atau quasi-compliance. Kepatuhan semu adalah kondisi di mana individu atau organisasi menggunakan suatu sistem hanya karena sistem itu wajib digunakan.

Namun, mereka tidak pernah benar-benar menerima inovasi teknologi itu (acceptance). Ini bukan karena mereka menolak perubahan atau anti-teknologi.

Bayangkan jika Anda diminta menggunakan alat baru yang lebih rumit untuk pekerjaan yang sama. Secara naluriah, anda akan menggunakannya sebatas untuk memenuhi kewajiban. Anda tidak “jatuh cinta” pada alat itu. 

Hal ini lah yang terjadi pada kepatuhan semu. Pengguna akan menunjukkan penolakan dengan menggerutu, menggunakannya aplikasi seadanya, atau bahkan mencari cara untuk mengakali sistem agar pekerjaan selesai secepatnya.

Kepatuhan semu ini lemah dan tidak akan bertahan lama tanpa pengawasan atau paksaan. Ketika pimpinan yang menginisiasi inovasi berganti maka nasib inovasi tersebut sudah bisa ditebak. Ia akan ditinggalkan dan diganti dengan “inovasi” baru lainnya. Bukan karena sabotase, tapi karena ia memang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari solusi.

Teori Adopsi Teknologi

Lalu, bagaimana cara memutus siklus yang membuang-buang anggaran negara ini? Jawabannya adalah dengan menggeser fokus dari “yang penting ada sistem” menjadi “sistem ini harus berguna dan mempermudah”.

Untuk  itu ada beberapa teori adopsi teknologi yang dapat diaplikasikan:

  1. Teori Akal Sehat: Technology Acceptance Model – TAM

Teori paling dasar dan paling banyak digunakan adalah Technology Acceptance Model (TAM). Teori ini menyatakan bahwa niat seseorang untuk menggunakan teknologi ditentukan oleh dua faktor utama (Davis, 1989):

  • Perceived Usefulness (Manfaatnya apa?): Sejauh mana pengguna percaya teknologi ini akan meningkatkan kinerjanya dan mempermudah urusannya?
  • Perceived Ease of Use (Susah tidak?): Sejauh mana pengguna percaya teknologi ini mudah digunakan?

Jujur saja, pertama kali mendengar teori ini penulis merasa ini sebuah pernyataan yang sangat jelas dan masuk akal. Tentu saja orang akan mau menggunakan sebuah aplikasi jika ia mudah dipakai dan jelas manfaatnya.

Tidak perlu teori canggih untuk mengetahui hal tersebut. Namun, praktiknya, pemerintah sering melupakan dua pertanyaan mendasar ini sebelum berinovasi: apakah ini bermanfaat dan mudah digunakan?

  1. Teori Gotong Royong: Unified Theory of Acceptance and Use of Technology – UTAUT

Teori kedua adalah UTAUT yang merupakan pengembangan dari TAM. Teori ini  merangkum delapan model penerimaan teknologi dan menemukan empat faktor kunci kesuksesan adopsi teknologi dalam konteks organisasi (Venkatesh et al., 2003), yaitu:

  • Performance Expectancy (Ekspektasi Kinerja): Keyakinan bahwa sistem akan membantu pekerjaan.
  • Effort Expectancy (Ekspektasi Usaha): Keyakinan bahwa sistem mudah digunakan.
  • Social Influence (Pengaruh Sosial): Pendapat orang penting seperti atasan dan rekan kerja. Perintah atasan di surat edaran seringkali kalah sakti dengan bisikan teman di pantry yang bilang, “Awas, datanya suka hilang kalau lewat situ!” 
  • Facilitating Conditions (Kondisi yang Memfasilitasi): Adanya infrastruktur, pelatihan, dan dukungan teknis.

Teori ini mengingatkan bahwa aplikasi membutuhkan ekosistem. Ia memerlukan dukungan lingkungan sosial dan dukungan fasilitas. Inilah titik lemah inovasi pemerintah.

Sebuah aplikasi canggih diluncurkan tanpa testimoni positif, tanpa pelatihan yang cukup dan tanpa helpdesk yang mumpuni. Pengguna dibiarkan bingung sendiri dan frustrasi, yang akhirnya hanya akan memperkuat kepatuhan semu mereka.

Memutus Siklus Inefisiensi

Jadi, apa yang bisa kita lakukan bersama? Jawabannya bukan membuat lebih banyak aplikasi, tapi membangun jembatan empati antara pembuat inovasi teknologi dan pengguna (baik ASN maupun masyarakat). Berikut beberapa resep praktisnya:

  • Detektif Dulu, Developer Kemudian: Jangan mulai dengan “kita mau buat aplikasi X”. Mulailah dengan pertanyaan “Masalah apa yang mau kita selesaikan? Untuk siapa?”
    Sebelum membuka tender atau memanggil developer, luangkan waktu untuk duduk bersama calon pengguna. Dengarkan cerita mereka, pahami kesulitan mereka. Inovasi terbaik lahir dari pemahaman mendalam atas masalah manusia. 
  • Pengguna Bukan Kelinci Percobaan, tapi Co-Pilot: Libatkan calon pengguna sejak awal dalam proses desain. Merekalah yang paling tahu seluk-beluk masalah di lapangan. Ini adalah cara terbaik untuk menjamin sistem yang dibangun benar-benar mudah digunakan.
  • Tim Hore Lebih Penting dari Surat Perintah: Selain surat edaran kewajiban, bangunlah cerita positif. Tampilkan testimoni pengguna yang puas, buat tutorial yang ringan, dan ubah kewajiban menjadi keingintahuan. Ini akan membangun pengaruh sosial yang positif
  • Sediakan ‘Bengkel Resmi’, Jangan Cuma Jualan: Alokasikan anggaran tidak hanya untuk membangun, tetapi juga untuk pemeliharaan, pelatihan, dan dukungan teknis. Pastikan ada kanal bantuan yang mudah diakses dan responsif.
    Kepastian bahwa akan ada yang menolong saat pengguna bingung adalah faktor psikologis yang sangat penting dalam adopsi teknologi. Langkah ini memastikan kondisi pendukung terpenuhi.
  • Perbaikan Berkelanjutan: Ingat, peluncuran versi pertama adalah sebuah awal, bukan akhir. Terus kumpulkan umpan balik untuk perbaikan berkala.

Pada akhirnya, tolok ukur keberhasilan inovasi bukanlah pada kecanggihan sistemnya, melainkan pada dampaknya. Apakah ia berhasil memangkas antrean, mempercepat izin, atau mempermudah pekerjaan ASN?

Jika jawabannya “ya”, maka teknologi itu akan bertransisi dari kepatuhan semu menjadi penerimaan tulus. Ia akan terus hidup, siapapun pemimpinnya, karena inovasi yang berpusat pada manusia akan diadopsi secara alami, bukan karena paksaan.

4
0
Suci Humaira Sophia ♥ Associate Writer

Suci Humaira Sophia ♥ Associate Writer

Author

Pengembang Teknologi Pembelajaran Pertama di BPK RI.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post