
Asia Selatan telah lama dikenal sebagai kawasan dengan potensi konflik bersenjata paling tinggi di dunia. Di jantung kawasan ini, berdirilah dua negara berkekuatan nuklir: India dan Pakistan.
Perseteruan historis keduanya, mulai dari pemisahan wilayah hingga konflik berdarah seperti Perang Kargil 1999, telah membentuk lanskap keamanan yang rapuh. Namun, satu kebijakan terbaru dari India berpotensi memperkeruh suasana: strategi “kebebasan operasional penuh”.
India: Kebebasan Operasional Penuh
Strategi ini memberikan kewenangan penuh kepada militer India untuk mengambil keputusan ofensif tanpa perlu persetujuan langsung dari otoritas sipil.
Dalam teori pertahanan modern, langkah ini dipandang sebagai cara untuk mempercepat respons terhadap ancaman, terutama serangan terorisme lintas batas. Namun, dalam konteks kawasan bersenjata nuklir, langkah ini bukan sekadar teknokratis—ia mengandung risiko eskalasi yang sangat besar.
Konsep deterrence atau penangkalan didasarkan pada prinsip bahwa kekuatan destruktif senjata nuklir akan mencegah agresi karena potensi kehancuran bersama. Namun, penerapan strategi kebebasan operasional penuh justru menantang prinsip ini.
Dengan kontrol politik yang lemah atas keputusan militer, risiko miskalkulasi dan salah tafsir meningkat secara signifikan.
Sebagaimana diungkapkan dalam banyak studi, termasuk oleh Biswas (2017), meskipun serangan “bedah” India dimaksudkan sebagai tindakan terbatas, praktik di lapangan menunjukkan bahwa aksi-aksi ini bisa berkembang menjadi konflik terbuka. Situasi ini diperparah oleh minimnya sistem komunikasi krisis yang efektif antara India dan Pakistan.
Strategi tersebut juga berdampak langsung pada sistem komando dan kendali (command and control/C2). Dalam situasi ideal, sistem C2 dirancang agar keputusan penggunaan senjata nuklir berada di bawah kontrol sipil dan melalui proses komunikasi yang ketat dan aman.
Namun, ketika otoritas didelegasikan langsung ke militer, apalagi dalam situasi darurat, maka potensi peluncuran senjata berdasarkan informasi yang keliru menjadi sangat tinggi.
Kesenjangan Komunikasi Pemicu Eskalasi
Kelemahan ini bukan sekadar asumsi teoritis. Kajian empiris dari kawasan ini menunjukkan bahwa kesenjangan komunikasi dan ketegangan domestik sering kali menjadi pemicu eskalasi. Ambil contoh insiden Balakot 2019, di mana respons cepat militer justru memperbesar risiko konflik strategis antara dua negara dengan kapabilitas nuklir.
Ironisnya, tujuan awal dari strategi ini adalah
meningkatkan kredibilitas ancaman India dalam konteks deterrence. Dengan menunjukkan kesiapan bertindak cepat, India berharap dapat mencegah agresi dari Pakistan. Namun, pendekatan ini ibarat bermain api dalam gudang mesiu. Tanpa kontrol yang ketat dan koordinasi lintas sipil-militer, kecepatan justru menjadi pemicu.
Kita juga harus mencermati bagaimana Pakistan merespons kebijakan ini. Negara tersebut sejak lama mengadopsi strategi Full Spectrum Deterrence, yang memungkinkan penggunaan senjata nuklir dalam situasi ekstrim sebagai respons terhadap ancaman konvensional.
Maka, semakin agresif India bertindak, semakin besar kemungkinan Pakistan merespons dengan peningkatan kesiapsiagaan nuklir.
Masalah semakin pelik jika melihat bahwa baik India maupun Pakistan belum memiliki mekanisme transparansi atau confidence-building measures yang kuat. Ketidakpercayaan satu sama lain membuat setiap gerakan militer dianggap sebagai potensi ancaman eksistensial.
Dengan latar ini, pertanyaannya sederhana:
- Apakah strategi kebebasan operasional penuh benar-benar memperkuat pertahanan India?
- atau justru melemahkan stabilitas kawasan?
Fakta-fakta yang ada justru menunjukkan kecenderungan kedua.
Keputusan militer yang terburu-buru, diambil tanpa koordinasi politik, sering kali mengabaikan aspek diplomasi dan kalkulasi jangka panjang. Bahkan dalam konteks serangan terbatas, seperti serangan udara, efek domino bisa sangat cepat terjadi.
Pelemahan Kontrol Sipil dalam Negara Demokrasi
Perlu diingat, strategi militer bukan hanya soal efisiensi taktis, tetapi juga akuntabilitas strategis. Dan dalam kawasan yang telah mengalami beberapa krisis nuklir sejak 1998, setiap keputusan yang menghilangkan kontrol sipil patut dipertanyakan urgensinya.
India tentu memiliki hak untuk melindungi diri dari ancaman, termasuk terorisme lintas batas. Namun, dalam menghadapi ancaman tersebut, perlu dipastikan bahwa respons yang diambil tidak menciptakan ancaman yang lebih besar.
Sebagai negara demokratis, India harus menjaga prinsip supremasi sipil dalam pengambilan keputusan strategis. Melemahkan kontrol sipil berarti mengorbankan nilai demokrasi itu sendiri.
Bagi Pakistan, situasi ini juga menuntut kebijakan yang bijak. Mengimbangi strategi India dengan postur nuklir yang lebih agresif hanya akan menciptakan siklus ketegangan tanpa ujung.
Apa yang dibutuhkan saat ini adalah komitmen bersama untuk membangun mekanisme de-eskalasi, saluran komunikasi krisis, dan transparansi militer. Asia Selatan tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang konflik nuklir.
Tulisan ini menghendaki bahwa deterrence bukan sekadar soal memiliki senjata, tetapi juga tentang bagaimana otoritas, struktur, dan komunikasi dikendalikan secara hati-hati.
Maka, pesan utama dari strategi kebebasan operasional penuh adalah: kecepatan tidak boleh menggantikan kebijaksanaan. Dan dalam urusan nuklir, kebijaksanaan selalu datang dari kontrol yang terstruktur, bukan dari reaksi spontan.
0 Comments