Ketika kita telah berada di ambang kegagalan, terbersit dalam pikiran kita betapa kita tidak belajar dari sejarah. Bertebaran pula ungkapan kekecewaan mengenai mengapa kita gagal dan betapa seringnya kita tidak benar-benar belajar dari sejarah.
Mungkin satu-satunya pelajaran yang kita ambil dari sejarah adalah bahwa kita justru tidak belajar apa-apa dari sejarah. Hal ini tampaknya terjadi pula pada upaya pemberantasan korupsi.
Tulisan ini berupaya menggambarkan penyebab kegagalan pemberantasan korupsi di beberapa negara dan di Indonesia di masa lalu. Catatan sejarah tersebut diharapkan dapat menjadi bahan refleksi diri untuk dapat menyibak bias pemberantasan korupsi yang tidak produktif dan memaknai apa yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai awal dari proses menemukan kembali (reinventing) KPK.
Sejarah Kegagalan Pemberantasan Korupsi
Penelitian mengenai keberhasilan dan kegagalan pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan di berbagai konteks, terutama pada negara-negara Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Amerika Latin.
Penyebab kegagalan pemberantasan korupsi di negara-negara tersebut antara lain karena kelemahan mendasar pada model manajemen yang digunakan oleh negara dan LSM Barat.
De Maria (2010) menyimpulkan bahwa kelemahan utama strategi pemberantasan korupsi adalah pandangan mengenai korupsi yang terlepas dari konteks kultural dan kesejarahan suatu negara.
Disebutkan dalam artikelnya, negara dan LSM Barat perlu memahami bahwa makna korupsi tidaklah bersifat tunggal, saintifik, dan lintas budaya.
Korupsi bermakna jamak, normatif, dan etnografis, serta tidak dapat sepenuhnya dipahami di luar pengalaman hidup bersama korupsi tersebut.
Analisis lebih mendalam terhadap kegagalan pemberantasan korupsi di Ghana, Malawi, Tanzania, Uganda, dan Zambia, yang dilakukan oleh Doig, Watt, dan Williams (2005) menunjukkan beberapa faktor yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Gagal merekonsiliasi tingkatan dan ruang lingkup permasalahan korupsi dengan kapabilitas dan sumber daya serta konteks politik di negara yang bersangkutan menjadi satu faktor yang menentukan.
Faktor lainnya adalah komisi antikorupsi dan pemerintah gagal menemukenali dan merekonsiliasi perbedaan siklus hidup kelembagaan yang berdampak pada kapasitas negara memberantas korupsi.
Karakter siklus hidup komisi antikorupsi pada umumnya diawali dengan ekspektasi tinggi. Padahal komisi tersebut masih bayi sehingga tidak mampu memenuhi ekspektasi yang tidak realistis tersebut. Kegagalan tahap awal ini kemudian diikuti dengan pengurangan dukungan sumber daya sehingga kapasitas untuk berkembang juga terbatas.
Siklus hidup pemerintahan pada umumnya adalah semakin turunnya prioritas agenda antikorupsi. Komitmen politik antikorupsi pun terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada rezim sebelumnya. Apabila komisi antikorupsi menangani kasus pada tingkatan politik tertinggi, respons yang diterima tidak selalu positif.
Hal ini ditunjukkan antara lain dalam bentuk penggantian pejabat dan pembatasan sumber daya organisasi, sehingga kapasitas dan reputasi komisi antikorupsi di negara-negara itu semakin menurun.
Perkembangan komisi antikorupsi seringkali dianggap linier. Namun realitasnya, perubahannya bersifat sporadis, eratik, dan ringkih terhadap disrupsi dalam bentuk dukungan pemerintah yang mudah goyah.
Kurangnya Political Will
Selain itu, adalah ketidakseimbangan antara dukungan popularitas dan dukungan politik. Komisi antikorupsi di negara-negara tersebut tidak mampu mencapai tingkat keberhasilan yang optimal untuk menjaga otoritas dan kredibilitas publik tanpa kehilangan dukungan dan kerjasama politik.
Menganalisis kondisi di Thailand, Mutebi (2008) mengemukakan bahwa fokus kebijakan dan implementasi antikorupsi terlalu sempit dan gagal menjadikan hubungan struktural yang lebih luas sebagai target pemberantasan korupsi, terutama sistem politik internal organisasi, hubungan antara institusi utama negara, interaksi antara lembaga negara dan korporasi swasta, dan relasi antara negara dan masyarakat sipil.
Walaupun terdapat kebijakan antikorupsi, state capture masih bertahan dan tumbuh subur di tingkatan atas pemerintahan. Kontradiksi ini terletak pada rerangka antikorupsi pasca-1997 di mana hubungan bisnis – politik lebih kuat berkuasa menghambat reformasi. Mutebi (2008) memberi saran perlunya strategi yang lebih luas melampaui pendekatan teknokratis yang digunakan oleh reformis tahun 90-an.
Untuk kasus di China, Singapura, Jepang, Taiwan, dan Filipina, Quah (2015) mengemukan bahwa badan antikorupsi Singapura efektif karena kuatnya political will pemerintah.
Di sisi lain, Filipina dan Taiwan mengandalkan beberapa badan antikorupsi yang tidak efektif karena dana dan sumber daya manusia yang tidak tercukupi, serta saling bersaing mendapatkan sumber daya yang terbatas tersebut.
Badan antikorupsi di China juga dinilai tidak efektif karena anggota partai korup didisiplinkan tetapi tidak dituntut. Selain itu, pimpinan politik menggunakan korupsi sebagai senjata menjatuhkan lawan politiknya.
Political will di Jepang yang lemah tercermin dari keengganan untuk menangani permasalahan korupsi struktural.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di masa orde lama, Juwono (2016) mengemukakan bahwa tingginya kesempatan rent-seeking yang tumbuh pesat pada masa demokrasi terpimpin diiringi dengan pembubaran parlemen, pembatasan pers, nasionalisasi perusahaan asing, monopoli, serta pelemahan administrasi menjadi penyebab korupsi dan penyebab kegagalan pemberantasan korupsi. Runtuhnya akuntabilitas keuangan negara juga mengiringi kegagalan pemberantasan korupsi tersebut.
Di masa orde baru, aparat penegak hukum menjadi bagian dari masalah korupsi. Sistem politik dan kepemimpinan orde baru yang otoriter telah menimbulkan peningkatan dan penyebarluasan korupsi.
Brata (2010) mengemukakan bahwa sistem sentralisasi kekuasaan dengan struktur yang korup memperlemah pengendalian dan mekanisme akuntabilitas. BPKP (1999) juga mengidentifikasi kelemahan infrastruktur politik nasional selama orde baru, tidak adanya strategi nasional yang jelas, kelemahan regulasi dan aparat penegak hukum, serta kurangnya partisipasi masyarakat sebagai penyebab kegagalan pemberantasan korupsi.
Pasca orde baru, korupsi dipandang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD lebih buruk dari masa orde baru (Kompas, 2021). Schütte (2012) memberikan wawasan yang mendalam mengenai kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa efektivitas KPK bagaikan dongeng yang perlu disikapi dengan hati-hati karena keberhasilan tersebut dapat berbalik menjadi sumber kehancuran. Dengan mengejar korupsi sampai ke akar-akarnya di manapun bukti-bukti mengarah, KPK memicu risiko pukulan balik yang tidak terduga dari para koruptor.
Pembingkaian kasus konspiratif dapat dilancarkan terhadap para komisioner KPK. Ketahanan hidup dan keberhasilan KPK bukan karena KPK sendiri melainkan dukungan masyarakat dan kebebasan press yang kuat, serta desain institusional yang tangguh.
Kombinasi antara independensi kelembagaan, otonomi fiskal serta kewenangan dan kapasitas penegakan hukum, baik represif maupun preventif menguatkan keberadaan KPK.
Menyibak Bias Pemberantasan Korupsi
Kegagalan pemberantasan korupsi di banyak negara lain dan beberapa hal yang terjadi pada KPK akhir-akhir ini perlu dimaknai sebagai proses menemukan kembali KPK. Menemukan kembali (reinventing) adalah mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku untuk menjadi baru.
Dalam konteks organisasi, Laloux (2014) menggambarkannya sebagai perubahan dari organisasi merah yang penuh pertarungan kekuasaan, sangat reaktif dengan ikatan organisasional berbasis pada ketakutan serupa kawanan serigala, organisasi kuning kecoklatan yang hirarkis –piramid serupa angkatan bersenjata, organisasi oranye yang berorientasi hasil berbasis inovasi serupa mesin, organisasi hijau yang fokus pada budaya dan pemberdayaan pegawai serupa sebuah keluarga, menjadi organisasi teal yang integral, fleksibel dan terjaga keseimbangannya.
Penemuan kembali suatu organisasi membutuhkan proses refleksif yaitu merenung, mengeksaminasi keyakinan diri, dan menilai apa dan bagaimana kinerja selama ini. Refleksivitas tersebut berupaya mempertanyakan asumsi yang selama ini diterima begitu saja.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, hal ini membutuhkan keterbukaan dan penerimaan bahwa terdapat risiko para aktor antikorupsi adalah bagian dari jaringan parasitik koruptif. Keterbukaan tersebut diperlukan untuk menyibakkan bias-bias pemberantasan korupsi.
Upaya untuk menyusun desain dan mengimplementasikan strategi pemberantasan korupsi perlu diawali kembali (restart) dengan menemukenali bias-bias yang tidak produktif, yang pada umumnya dibangun oleh politisi yang mempunyai kepentingan pribadi agar terlihat aktif menangani permasalahan korupsi.
Di antara berbagai bias penanganan masalah yang diidentifikasi oleh Kaufmann (1999), bias “injeksi”, bias “anti-kontrafaktual” dan bias “retorika” perlu dieksaminasi secara sungguh-sungguh.
Menginjeksikan sumber daya yang berlebih kepada lembaga antikorupsi yang berdiri dalam kesendirian (stand-alone) dapat menghambat perubahan ke arah lingkungan yang lebih kondusif.
Keberhasilan program perubahan hanya oleh pihak KPK tanpa mengikutsertakan aktor-aktor dari instansi pemerintah, aparat pengawasan intern pemerintah, masyarakat sipil dan swasta akan kurang optimal. Dalam hal ini, tata kelola kolaboratif dalam pemberantasan korupsi merupakan suatu keharusan (Abubakar, 2018).
Salah mengambil simpulan dari hasil analisis yang kurang tepat dan peniadaan fakta yang bertentangan dan argumen yang berlawanan (anti kontra faktual) dapat menyesatkan pengambilan keputusan strategis.
Hal ini terjadi misalnya ketika kita terlalu fokus pada klaim keberhasilan pemberantasan korupsi tanpa mempertimbangkan dampak perubahan fundamental pada lingkungan yang lebih luas.
Salah satu sebab kegagalan pemberantasan korupsi lainnya adalah ketenggelaman dalam kegiatan deklarasi, pernyataan, dan seruan retoris antikorupsi sehingga terlupa untuk melakukan analisis yang rasional dan mendalam untuk menyusun dan mengimplementasikan program antikorupsi yang tepat.
Epilog: Membangun Model Baru
Kemauan politis sebagai prasyarat pemberantasan korupsi dapat terbangun apabila telah dilakukan analisis yang mendalam untuk memahami konteks dan penyebab korupsi.
Perumusan strategi antikorupsi yang tidak melalui proses analisis yang rigour dan lebih menyukai gerakan bersih-bersih simbolis menunjukkan lemahnya dan dangkalnya kemauan politis.
Pemerintah juga perlu menyadari bahwa ia mewarisi birokrat yang korup dan resistensi yang tinggi untuk berubah. Mengubah peraturan perundang-undangan dan meningkatkan upaya penegakannya belum tentu efektif mengubah perilaku birokrat.
Terlalu mengandalkan upaya hukum dapat mengakibatkan represi yang berlebihan, penyalahgunaan kewenangan penegakan hukum, dan dampak lebih jauh lagi adalah timbulnya bentuk korupsi baru.
Korupsi pada dasarnya adalah buah dari masalah-masalah governansi yang lebih luas yang tidak juga teratasi (OECD 2007). Apa yang terjadi dengan KPK beberapa waktu terakhir ini mungkin menegaskan hal tersebut.
Menemukan kembali KPK perlu menjadi agenda nasional dan prosesnya diawali dengan kesadaran bahwa kita tidak akan dapat mengubah apapun dengan cara berkelahi melawan realita.
Sebagaimana kata-kata Buckminster Fuller, untuk melakukan perubahan, kita perlu membangun model baru pemberantasan korupsi sedemkian rupa sehingga model yang ada saat ini menjadi sesuatu yang usang dan ditinggalkan.
PNS pemerhati kebijakan publik, reformasi birokrasi, dan pencegahan fraud
0 Comments