Oleh: RUDY M. HARAHAP**
Sebagaimana halnya Turki, ketika seluruh partai politik dan masyarakat sipil (civil society) telah dikooptasi oleh para politisi yang berkuasa (political leaders), hal yang ditakutkan kemudian adalah munculnya diktatorship, suatu pemerintahan yang berjalan tanpa penyeimbang. Keberhasilan politisi yang berkuasa saat ini merangkul partai politik dan masyarakat sipil perlu dihargai, tetapi kita juga harus memahami keterbatasannya.
Ketika partai politik dan masyarakat sipil tidak lagi berperan, maka kekuatan birokrasi profesional (professional bureaucracies) (Bezes et al., 2012) haruslah dipertimbangkan untuk ‘menyeimbangkan’ politisi. Kalau kita ingat pun, pada saat di bawah penjajahan Belanda, para birokrasi profesional telah menjadi kekuatan penyeimbang pemerintahan Belanda, seperti dengan berdirinya persekutuan para dokter pribumi dan kemudian menjadi pendorong munculnya Sumpah Pemuda.
Kenapa pada era setelah reformasi para birokrasi profesional sepertinya enggan berperan sebagai penyeimbang politisi? Saya melihat karena selama ini telah dibangun doktrin yang begitu kental bahwa kaum birokrasi profesional hanyalah agen (agent) dari prinsipal (principal), pesuruhnya para politisi. Padahal, dengan masuknya Indonesia ke dalam masyarakat demokratik (democratic society), maka siapapun bisa menjadi politisi (politicians) dan akhirnya menjadi politisi yang berkuasa, apakah ia dulunya hanya sekedar berlatar belakang pendidikan sekolah menengah, sebelumnya hanya tukang batu atau tukang kayu, atau hanya seorang warga negara yang tinggal di pelosok desa.
Karena latar belakang para politisi yang berkuasa itu beragam, sistem pemerintahan kita bisa salah arah. Mereka, misalnya, bisa jadi tidak paham bagaimana mestinya mengelola keuangan negara. Bahkan, jika dibiarkan tidak terkendali, korupsi pun bisa marak di mana-mana, sebagaimana telah terjadi di Indonesia. Karenanya, mereka mesti diimbangi oleh para birokrasi profesional jika sistem demokratik ingin memberikan manfaat yang besar. Sebab, para birokrasi profesional bisa meluruskan para politisi yang tidak paham atau salah arah dalam mengelola pemerintahan.
Sebagai contoh, sebelum masuk kembalinya Sri Mulyani di kabinet, para politisi yang berkuasa telah menetapkan target pajak yang tidak rasional. Dari tahun 2014, dan diperkirakan tahun 2016 ini juga, target pajak tidak tercapai. Hal ini karena penentuan target pajak semata-mata hasil tekanan politisi yang berkuasa tanpa mempertimbangkan pandangan para birokrasi profesional, terutama yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Akibatnya, target penerimaan pajak disusun tanpa mempertimbangkan realisasi tahun sebelumnya, tetapi hanya melihat rencana tahun sebelumnya (lihat kritik Sri Mulyani usai sidang kabinet paripurna, 3/8).
Pengeluaran negara pun dianggarkan tanpa perhitungan yang matang. Semata-mata hanya untuk kepentingan populis, seperti kesehatan dan pendidikan gratis, tanpa mempertimbangkan darimana dana untuk mendukung kesehatan dan pendidikan gratis itu akan diperoleh dalam kondisi ekonomi saat ini. Para birokrasi profesional kesehatan seperti dokter dan ahli farmasi juga kurang terdengar suaranya bagaimana agar layanan kesehatan bisa lebih baik dengan melibatkan partisipasi masyarakat, seperti melalui iuran, bukan malah semakin memperparah keuangan negara. Sistem pensiun bukannya dikelola secara terencana dengan mendengar pandangan birokrasi profesional investasi, tetapi malah membuat keresahan para pensiunan.
Doktrin bahwa peran para birokrasi profesional hanyalah sebatas pesuruh politisi telah begitu mapannya di Indonesia sehingga hal ini selalu tertanam di kepala para birokrasi profesional. Contoh yang paling kental menempatkan para birokrasi profesional hanya sebagai pesuruh adalah dengan tidak bolehnya mereka terlibat dalam urusan politik. Kesannya kemudian, memberikan pandangan kepada politisi yang berkuasa pun menjadi barang haram untuk mereka. Akibatnya, banyak di antara mereka yang semakin apatis melihat keadaan. Sebagai contoh, sebelum masuknya Sri Mulyani kembali, mereka sebenarnya sudah mengetahui bahwa keuangan negara sedang menuju pendarahan (bleeding) karena begitu mudahnya janji-janji politisi yang berkuasa dicorongkan, tetapi mereka diam saja.
Pertanyaannya kemudian, kenapa menempatkan para birokrasi profesional hanya sebagai pesuruh para politisi itu telah begitu berhasilnya di Indonesia? Hal ini karena masuknya program reform yang berbasis ideologi New Public Management (NPM). NPM telah menempatkan fokus utama pada executive government reform, bukan pada para politisi. Karena itu, para birokrasi profesional hanya ditempatkan sebagai hamba sahaya para politisi. Padahal, para birokrasi profesional itu adalah juga manusia yang mempunyai pemikiran-pemikiran cerdas, nasionalis, dan berkebangsaan. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk ‘menetralisasi’ politisi.
Para birokrasi profesional mestinya sadar dan tidak terus menerus didoktrinasi bahwa mereka tidak lebih dari pesuruhnya politisi. Hood (2002) menyatakan bahwa para birokrasi profesional adalah juga orang kepercayaan (trustee). Karenanya, Scott (2016) mencatat pemerintah Selandia Baru telah mengoreksi reformnya pada 2013 dengan menempatkan kembali posisi birokrasi profesional tidak semata-mata sebagai pesuruh (direct agents), tetapi juga orang kepercayaan yang menjaga gawang kepentingan publik (as stewards of the collective interest).
Dalam konteks Indonesia, para birokrasi profesional mestinya lebih tepat dipandang dan ditempatkan dalam posisi sebagai orang kepercayaan. Sebagai orang kepercayaan, mereka merupakan elite leaders (Hood, 2002) dalam lingkungan sosialnya, yang kebanyakan masih miskin, berpendidikan rendah, dan termarginalisasi. Walaupun tidak diakui, para birokrasi profesional di Indonesia sebenarnya pun telah memainkan perannya sebagai elit leaders itu.
Kita bisa melihat peran birokrasi profesional sebagai elite leaders, paling mudahnya, pada saat dengar pendapat (hearing) di DPR. Berbeda dengan sistem parlemen di negara lain, di Indonesia seorang menteri selalu didampingi oleh para birokrasi profesional ketika dengar pendapat dengan anggota DPR. Bahkan, para menteri sering sekali mesti menengok ke barisan belakang saat dengar pendapat untuk bertanya kembali ke para birokrasi profesional terkait hal-hal yang ditanyakan seorang anggota DPR. Para birokrasi profesional ini adalah para pejabat eselon puncak atau juga pelaksana di masing-masing organisasinya.
Bedanya dengan masa lalu, yang mesti disadari oleh para birokrasi profesional, saat ini proses dialog untuk mengimbangi politisi tidak bisa lagi sekedar lewat media massa konvensional atau jurnal-jurnal akademik. Jurnal-jurnal akademik sudah usang dan tidak menjadi bacaan para politisi. Media sosiallah yang kini banyak berperan memberikan tekanan ke para politisi. Karenanya, para birokrasi profesional mesti mau ikut berdialog di media sosial agar kebijakan para politisi yang berkuasa tidak salah arah (lagi).
*) Tulisan ini pernah dipublikasikan sebelumnya di detik.com.
**) Rudy M Harahap adalah pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan PhD (Candidate) pada Auckland University of Technology (AUT), yang tinggal di Auckland, Selandia Baru. Ia adalah penerima beasiswa “the New Zealand Asean Scholarship Award 2014” dari Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (Ministry of Foreign Affairs and Trade) Selandia Baru. Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.
0 Comments