Sebelum kita membahas judul di atas lebih lanjut, mari sejenak kita menyelami penggalan lirik lagu kebangsaan kita:
Hiduplah tanahku,
Hiduplah negeriku,
Bangsaku, rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya, merdeka! Merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!
Tujuh puluh sembilan tahun kita merdeka, dengan berbagai eksperimen dan pengalaman berbangsa dan bernegara, bolehlah kita berimajinasi akan adanya bangsa yang bersatu, dengan badan perkasa, akhlak terpuji, serta mampu berdiri sama tinggi dengan bangsa lain.
Namun, saat kita terbangun dari alam imajinasi, kita akan menyadari bahwa kondisi tersebut belum hadir di alam realitas kita.
Kenyataan yang ada, ditambah mandeknya pemerintahan
dalam upaya reformasi dirinya sendiri dari korupsi-kolusi-nepotisme/KKN
(sampai perlu adanya gerakan kompetisi Zona Integritas, WBK, atau WBBM), dapat kita nilai bahwa ada sesuatu yang hilang dalam pembangunan negara ini.
Menyelami lirik demi lirik lagu Indonesia Raya, kita perlu berfikir kembali, apa apa hal yang perlu dilakukan untuk mengisi kemerdekaan? Untuk menjadi Indonesia Raya yang kemudian di-visi-kan dalam gerakan menuju Indonesia Emas di tahun 2045.
Sewajarnya, kita harus malu dan mengakui bahwa seluruh proses bernegara sekarang ini sedikit banyak mencerminkan kegagalan kolosal dari pembangunan manusia Indonesia.
Ketika sekarang bahkan keluarga pemimpin Indonesia dan Kementerian Agama saja memiliki banyak masalah etis yang digelar gamblang di media. Pembangunan manusia yang mana yang dinilai gagal dalam hal ini?
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya manusia Indonesia
Pembangunan manusia dalam lagu negara kita terdiri dari dua, badan dan jiwa. Dengan kepedulian terhadap guru sekarang, dan alokasi dana pendidikan yang relatif mantap kita merasa ada kemajuan.
Namun di sisi lainnya, di mana proses pembangunan jiwa bangsa kita dalam pendidikan. Sudah baik dan pantaskah untuk membawa Indonesia dalam martabat tinggi?
Bagaimanakah proses seleksi jiwa jiwa yang besar atau yang telah siap memimpin bangsa ini. Apakah proses seleksi jiwa untuk menjadi pelayan negara sudah dilakukan, sehingga perjalanan kenegaraan ini menjadi mulus tanpa ketergelinciran dari oknum yang lemah jiwanya?
Dapat kita simpulkan bahwa pembangunan sekarang banyak bertumpu pada lahiriah saja atau pembangunan badan, dan jiwa masih belum mendapat tempat sebagai tujuan pembangunan.
Dalam dimensi jiwa yaitu dimensi non empirik, terdapat ilmu psikiatri dan juga ilmu agama. Sayangnya, kita tidak dapat melaksanakan diskursus untuk yang pertama karena psikiatri sudah dilaksanakan dalam pemilihan pimpinan masyarakat.
Hasilnya, kita tetap gagal dalam asesmennya untuk mencegah ketergelinciran. Sehingga dapat sementara disimpulkan, permasalahan ini hanya dapat dipecahkan melalui dimensi non empirik yaitu melalui agama.
Kesalahan pada Pendidikan Jiwa
Rasio manusia sebagai sebuah masterpiece ilahi, membuatnya terkadang menjadi angkuh dan tidak mau diperintah. Pendidikan persaingan menjadikan manusia Indonesia sibuk untuk menjadi yang terbaik meskipun itu berarti mengorbankan moral etika yang ada.
Di sisi lain, Pancasila mewajibkan adanya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasannya. Mengakui Tuhan atau mengakui suatu yang non empiris adalah salah satu ciri jiwa tidak angkuh, yang menghamba pada sesuatu yang tidak dapat dinalarnya.
Aspek ketergelinciran dan keangkuhan tidak akan terbersit jika jiwa mengakui bahwa diri adalah seorang hamba yang merupakan bagian dari mahluk lain sebagai sebuah mata rantai kerjasama tanpa akhir di dunia.
Manusia Indonesia yang baik adalah
yang mengakui adanya entitas kuasa tertinggi yang menghendaki kehidupan terbaik
bagi mahluknya semua. Tanpa adanya pengawas dia akan merasa diawasi
selalu, karenanya.
Inilah pembangunan jiwa yang terlupakan oleh pendidikan Indonesia. CCTV yang merupakan program di banyak negara sekuler untuk mengurangi tingkat ketergelinciran moral kejahatan akan obsolete jika pembangunan jiwa mereka mengikuti Pancasila.
Setidaknya ini lah yang dapat dianalogikan dari para pendiri bangsa dalam lagu maupun dasar negara Indonesia.
Selain dari sisi pembangunan jiwa dalam ranah formal, perlu juga dibahas mengenai pendidikan agama informal dari berbagai rumah ibadah dan alim ulamanya. Apakah mereka hanya menyampaikan sisi seremonial ibadah, ataukah sudah mencakup aspek pemurnian jiwa?
Jika belum maka tidak salah jika kita juga dapat menyalahkan mereka sebagai guru jiwa bangsa ini. Dan mungkin jika hal ini dapat disadari, dan diperbaiki, bukan tidak mungkin manusia Indonesia bangkit melalui sistem dan guru guru jiwa yang baik dan menyongsong Indonesia Emas 2045.
0 Comments