Sejarah birokrasi adalah cerminan dari rentang-panjang sejarah perubahan masyarakat, yang tak lepas dari faktor sosial-politik sebagai determinan utama. Di Indonesia sendiri, term birokrasi menimbulkan perasaan dan perspektif beragam bagi banyak kalangan.
Dahulu, birokrasi menjadi pengejawantahan makna kekuasaan di hadapan masyarakat, sebagai pangreh praja, pemimpin bagi masyarakat di bawahnya.
’Bila pejabat kolonial Belanda dapat mengeluarkan peraturan cara orang Indonesia harus bernapas di udara bebas, mereka akan melakukannya’, tulis Onghokham (2018) yang menggambarkan betapa absolutnya kuasa birokrat dalam mengatur mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan masyarakat.
Birokrasi dan birokrat kerap dipandang sebelah mata karena pendekatan serta cara kerja yang berbasis pada hirarki, formalisasi, dan instrumentalisasi—sebuah pendekatan ideal di masa lalu yang justru menemui kebuntuannya kini.
Merujuk kondisi tersebut, memanfaatkan momentum demokratisasi pasca-1998, upaya reformasi digalakkan pada semua lini birokrasi, melalui intervensi berbasis regulasi dan program yang dituangkan dalam Road Map Reformasi Birokrasi sebagaimana diperbarui lima tahun sejak tahun 2010 hingga saat ini.
Hasilnya, beberapa instansi pemerintah menunjukkan prestasi cemerlang dalam mereformasi diri secara internal maupun eksternal, namun tak sedikit yang kebingungan, terjebak dalam pendekatan project-based, atau sebatas berorientasi pada insentif materiil pascaprogram.
Geger Pandemi
Sejurus kemudian, pandemi COVID-19 menghantam dunia. ‘The World is Temporarily Closed’, tulis sebuah iklan yang sesungguhnya menampilkan informasi atas penutupan sementara The World Theatre di Nebraska, Amerika Serikat.
Kalimat tersebut menjadi viral di jagat maya pada awal pandemi karena secara ikonik menunjukkan lumpuhnya dunia akibat sergapan COVID-19.
Meskipun nampak berlebihan, pada kenyataannya dunia memang ‘tutup’ akibat pembatasan pergerakan dan interaksi fisik, ketika semua orang dipaksa untuk menjaga jarak lewat seruan stay at home.
Tak hanya itu, perubahan besar dari level individual hingga sosietal terjadi secara cepat juga tak terduga. Penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan terhambat, usaha bisnis mandek, operasi industri manufaktur dan jasa macet, tak terkecuali birokrasi yang sempat tergagap menghadapi situasi krisis ini.
Namun, birokrasi pada akhirnya menemukan pendekatan dan cara baru—walaupun belum optimal—dalam bekerja, berkomunikasi dan berkoordinasi, serta melayani masyarakat.
Maka akhirnya kita mulai mafhum pada istilah dan praktik seperti pengaturan bekerja secara fleksibel, bekerja dari rumah (work from home), penyelenggaraan pelayanan publik digital, dan pertemuan-pertemuan daring berbasis aplikasi digital.
Secara umum, hal tersebut bermuara pada tuntutan perubahan paradigmatik atas penyelenggaraan birokrasi pemerintahan agar lebih lincah guna meningkatkan performa birokrasi dari aspek struktur, proses, dan kultur; serta lebih kokoh (robust) dalam menghadapi permasalahan publik yang bertransformasi menjadi semakin tak terprediksi, tak menentu, serta inkonsisten (Ansell, Sørensen & Torfing, 2020).
Pada konteks tersebut, digitalisasi penyelenggaraan pemerintahan bukan lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan yang dalam perjalanannya justru terakselerasi di masa pandemi.
Dalam pelayanan publik, ia membawa perubahan baru sebagai angin segar bagi birokrasi dan masyarakat yang dilayaninya: kecepatan, fleksibilitas, personalisasi, kustomisasi, direct and fast feedback, serta interaksi nonface-to-face (Kuldosheva, 2021), yang mendudukkan penciptaan pelayanan publik sesuai kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh, Studi dari Deloitte (2018), UK Home Office (2019), dan UN-DESA (2022) menggadang-gadang bahwa kemunculan berbagai teknologi canggih terkini mampu menjadi terobosan dalam kerja birokrasi masa depan.
Di antaranya kecerdasan buatan, komputasi awan, realitas virtual, dan teknologi kuantum, yang dinilai mampu mengurai, menemukan korelasi, dan mencari jawaban atas kompleksnya permasalahan publik secara cepat.
Potret Digitalisasi
Namun kembali pada kondisi Indonesia, bagaimana sesungguhnya potret penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik digital kita?
Survei yang dilakukan Litbang Harian Kompas pada tanggal 18-20 Agustus 2021 yang melibatkan 522 responden dari 34 Provinsi (Sakti, 2021) menunjukkan bahwa:
- 13,6 persen responden pernah dan sering memanfaatkan pelayanan publik dengan teknologi digital atau daring,
- 34,2 persen pernah menggunakan sekali-kali, dan
- mayoritas 52,2 persen tidak pernah memanfaatkan sama sekali.
Kemudian dari segi keterbantuan,
- 56,9 persen responden merasa sangat terbantu,
- 40,1 persen merasa cukup terbantu, dan
- 3 persen merasa tidak terbantu bahkan justru jauh lebih repot dengan adanya pelayanan publik digital.
Sedangkan dari segi tantangan,
- sebanyak 50,2 persen responden menilai bahwa masyarakat yang masih belum terbiasa menjadi tantangan implementasi pelayanan digital,
- disusul dengan tantangan infrastruktur sebesar 14,3 persen,
- keamanan data sebanyak 14,3 persen,
- kemampuan sumber daya manusia pemerintah sebesar 11 persen, dan
- masih kuatnya budaya pelayanan berbasis kertas sebanyak 4,9 persen, serta
- sisanya menjawab tidak tahu (5,4 persen) dan lainnya (0,2 persen).
Temuan survei di atas setidaknya mengemukakan beberapa isu krusial.
Pertama, masih rendahnya tingkat pemanfaatan pelayanan publik berbasis digital menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat Indonesia berada pada jangkauan teknologi informasi dan komunikasi.
Hingga tahun 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 12.000 Desa belum terjangkau sinyal 4G, yang mayoritas berada di daerah tertinggal (Farisa, 2020).
Meskipun lebih dari 270 juta penduduk Indonesia memiliki telepon seluler dan juga lebih dari 212 juta penduduk Indonesia menjadi pengguna internet (Kemp, 2023), namun tingkat kecepatan aliran data (throughput) baik fixed maupun mobile broadband Indonesia tergolong yang paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara (World Bank, 2021).
Hal ini mendorong urgensi percepatan pembangunan infrastruktur digital hingga ke titik last mile dengan bertumpu pada tiga prinsip kunci: konektivitas, pemerataan, dan kualitas.
Kedua, peningkatan kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia birokrasi khususnya para street-level bureaucrat perlu dijadikan perhatian penting, mengingat merekalah yang menjadi wajah sekaligus tulang punggung roda pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik digital.
Temuan Survei Literasi Digital Tahun 2022 yang menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai segmen masyarakat yang cukup mafhum dalam hal keterampilan digital maupun budaya digital (Kemenkominfo & Katadata Insight Center, 2022) perlu dijadikan modalitas penting sebagai fondasi awal sebelum melangkah lebih jauh pada hal-hal yang lebih teknikal pada ranah transformasi digital.
Ketiga, yang paling fundamental bahwa transisi ke arah digitalisasi tidak sekadar bertumpu pada dukungan dan ketersediaan infrastruktur digital semata.
Juga diperlukan sokongan aspek-aspek fundamental lainnya meliputi cara pandang birokrat, ketersediaan sumberdaya, budaya organisasi, dan kapasitas masyarakat penerima layanan dalam mendukung digitalisasi (UN-DESA, 2020).
Lebih lanjut, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik membutuhkan kesadaran serta pemahaman birokrat atas nilai kepublikan sebagai pijakan pemenuhan kebutuhan masyarakat selaku warga negara (citizen) yang memiliki hak-hak dasar yang melekat pada dirinya.
Hal ini menggeser paradigma citizen under control menjadi citizen in control. Dari semula pamong praja sebagai orang tua serba tahu dalam kuatnya kerangka budaya kekuasaan, menjadi pelayan publik yang bijak dengan berkiblat pada budaya melayani.
Penguatan Jejaring
Kemunculan pandemi COVID-19 yang tergolong sebagai wicked problem, di mana kemudian disiasati melalui akselerasi transformasi digital pemerintahan dan pelayanan publik, merupakan satu dari berbagai ujian yang menjadi keniscayaan dan akan selalu hadir dalam gerak roda birokrasi.
Wicked problems yang ditandai sebagai permasalahan yang kompleks, tidak pasti, sulit diprediksi dan tidak berdimensi tunggal (Morris, 2004) menuntut intervensi cepat, adaptif, dan mengandalkan kerjasama melibatkan kemajemukan pemangku kepentingan.
Hal ini membawa pada diskursus tentang pentingnya mengembangkan dan memperkuat soliditas jejaring (network) dalam tata kelola pemerintahan, dalam bentuk mulai dari self-governed network, lead organization-governed network, hingga network administrative organization (Rondelez, 2018).
Untuk menjaga keberlanjutan dan kesuksesan jejaring, diperlukan penatakelolaan jejaring (the governance of network) yang efektif, mengingat upaya mempersatukan berbagai pengetahuan dan sumberdaya yang dimiliki berbagai pemangku kepentingan ke dalam jejaring bukanlah hal mudah.
Dibutuhkan aturan main yang jelas dan mekanisme akomodasi kepentingan dari tiap aktor, dengan menjadikan konsensus sebagai penentu atas pilihan-pilihan yang diambil dalam jejaring, yang tak lain berangkat dari seni klasik mengelola kekuasaan: negosiasi, strategi, dan trade-off sumberdaya (Pratikno, 2007).
Sehingga pada akhirnya, transformasi birokrasi dan birokrasi yang transformasional tidak semata diukur pada gemuk-ramping atau besar-kecilnya struktur, namun dari efektivitas cara kerja, penghantaran pelayanan secara prima, birokrat yang melayani dan menggerakan, yang didukung oleh kepemimpinan yang dipercaya masyarakat.
0 Comments