Mencuci Dosa di Hari Berbuka (An Unpopular Thought)

by Fitriati Anom ♥ Associate Writer | Apr 17, 2025 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Bersih | 0 comments

a wooden statue with a white hat on top of it

Hari Berbuka

Meski ini sudah melewati pertengahan bulan Syawal, hawa Idul Fitri masih sangat terasa. Bulan Syawal selama ini memang identik dengan Idul Fitri, euforianya bahkan berasa hingga akhir Syawal. Jadi, jangan heran sepanjang bulan Syawal ini orang-orang bila bertemu mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin”.

Tapi, apakah sejatinya Idul Fitri adalah hari khusus maaf memaafkan?

Menurut ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc., sebagaimana diulas di sini, Idul Fitri adalah Hari Berbuka, yaitu hari kembali makan dan minum setelah sebulan penuh berpuasa pada bulan Ramadhan.

Karenanya, zakat yang dikeluarkan oleh umat muslim disebut zakat fitri atau zakat berbentuk makanan. Setidaknya ini adalah makna Idul Fitri secara harfiah. Jika kita ingin menambahkan makna sesuai persepsi kita sendiri, maka bebas bebas saja. Namun itu tidaklah merubah definisi pakemnya.

Mencuci Dosa?

Setiap anak Adam pasti berdosa. Itu sudah keniscayaan. Tidak perlu didebat. Namun, pernahkah melihat fenomena mencuci dosa ala money laundry?

Money Laundrying intinya adalah tindakan menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan seseorang, sehingga uang tersebut seolah-olah sah dan legal. Dengan kata lain, tindakan mengelabui.

Nah sejalan dengan prinsip money laundry tersebut,
fenomena sejak dulu juga terdapat manusia-manusia yang-naturally-berdosa, namun menyembunyikan dosa tersebut seolah-olah dia adalah manusia tidak bersalah, apatah lagi suci. Atau memanipulasi kesalahan seolah-olah itu bukanlah suatu kesalahan.

Beragam cara ditempuh guna mengelabui orang lain, mulai dari membangun imej baik/shalih/alim, imej dermawan, imej polos lugu, imej berprestasi, dll. Namanya juga imej, sifatnya hanya tampak luar saja.

Atau ada juga yang mengelabui dengan cara memanipulasi, pintar berkata-kata atau berperilaku lemah lembut, sopan santun ditambah soft spoken, sehingga seolah-olah kesalahannya itu lumrah, kecil, tidak perlu dibesar-besarkan.

Dalam versi lebih pro, mengelabui bahkan dilakukan dengan memanipulasi instrumen-instrumen negara, aturan-aturan negara sehingga kesalahan tersebut bias dan “terpaksa” legal. Hal-hal seperti ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dan bahkan pelaku-pelaku tersebut adalah seorang aparatur negara pengemban amanah rakyat. Sungguh berbahaya sekali.

Mencuci dosa tidak menjadikan dosa itu hilang, malah mencuci dosa itu adalah suatu bentuk dosa tersendiri. Karena itu termasuk menipu. Jadi dosanya menjadi dua, dosa yang lebih dulu ada plus dosa karena mencuci dosa terdahulu itu.

Bingung?

Ya memang menyadari suatu pengelabuan dan manipulasi itu mesti sangat berhati-hati dan harus dalam mode waspada tingkat langit ke tujuh. Fitur peka harus digunakan level maksimal. Mengaktifkan segala indera agar dapat mendeteksi, serta selalu mengandalkan akal sehat untuk menimbang.

Akal saya yang sempit ini hampir-hampir tidak bisa menerima kenyataan melihat fenomena orang ramai-ramai berbuat dosa, dan kemudian mencuci dosa itu sebagaimana halnya kejahatan pencucian uang, dilakukan dengan enteng dan bahkan memanfaatkan momen Idul Fitri, dengan dalih saling memaafkan dan kembali ke fitrah (baca:suci).

Kemudian seiring berlalunya waktu berharap dosa itu menjadi biasa bahkan menjadi (seolah) bukan dosa lagi. Menjadi hal yang lumrah, sehingga terus dilakukan menjadi kebiasaan. Menjadi banal. Wah, tidak logis nih.

Parahnya lagi, pihak-pihak yang tidak sepakat dengan mereka justru dihakimi sebagai manusia yang tidak kembali suci, hanya karena tidak bisa menerima cara permintaan maaf selintas lalu tersebut.

Dituduh tidak berjiwa lapang. Dituduh tidak meneladani Rasulullah yang ringan dalam memaafkan. Sungguh, ini merupakan jurus manipulasi edisi komplit spesial pakai telur. 

Tidak Lekang oleh Waktu

Dosa itu tidak lekang oleh waktu. Dosa itu abadi. Sekali sikap dusta hukum asalnya adalah dosa, maka hingga akhir waktu sikap dusta akan tetap menjadi sebuah dosa. Adanya beberapa pengecualian karena terdapat kedaruratan, tidak serta merta membuat si dusta itu berubah jadi mulia.

Barangkali orang-orang kebanyakan bisa menerima konsep dosa yang lebur dan terkikis hingga lenyap dari pandangan mata mereka, berganti menjadi suatu hal yang biasa. Tetapi tanyalah pada alam,

  • Apakah dosa bisa dicuci selain dengan taubat?
  • Apakah dosa bisa dikelabui sehingga menjadi bersih dan lumrah?

Alam akan menjawab dengan jujur, dan suara alam itu tidak didengar oleh telinga melainkan oleh hati nurani.

Dosa tetaplah dosa. Tiada jalan lain untuk bebas darinya selain mengakui, bertaubat dan mengadakan perbaikan. Terlebih jika dosa itu menyangkut dengan hamba Allah lainnya, kita wajib meminta keikhlasannya.

Dosa tidak akan lenyap dengan mendiamkannya selama beberapa waktu, bahkan jika sampai berbilang abad sekalipun. Untuk golongan manusia tertentu, bahkan Allah sampai membuat “monumen” untuk manusia di masa depan mengenangnya sebagai dosa.

Lihatlah Firaun, yang tubuhnya dijadikan Allah laksana monumen untuk mengenang perbuatannya. Allah berulang kali berfirman dalam Al Quran agar kita sebagai manusia mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana kesudahan dari kaum-kaum yang berdosa.

Suatu kesalahan yang amat sangat jika menyerahkan pencucian sebuah dosa pada sang waktu. Waktu mungkin bisa membuat lupa. Namun waktu tidak mampu mengubah sebuah dosa menjadi sebuah kemuliaan.

Alam tetap mencatatnya sebagai dosa. Hanya taubatlah yang bisa menghapus dosa. Namun, bukan taubat namanya jika ingin mengelabui manusia, menganggap seakan-akan dosa itu biasa, dan akhirnya hidup “happily ever after” dengan dosa tersebut.

Bukanlah taubat, jika berslogan “kepalang basah, terusin aja mandi sekalian, mandinya tiap hari”. Taubat itu jika kepalang basah, segera menarik diri dari kubangan dan membersihkan sisa-sisa air kubangan tersebut. Serta bertekad tidak ingin jatuh ke kubangan itu lagi. Selamanya.

Mengubah Persepsi, bukan Esensi

Birokrat, jangan sampai menjadi pelaku seperti ini. Akan sangat berbahaya bahkan hingga berdampak pada organisasi. Sebab birokrat juga sebagai penerima amanah, digaji dengan pajak rakyat untuk melayani rakyat.

Hati-hati dengan dosa menyalahgunakan dan mengabaikan amanah, termasuk manipulasi aturan dan instrumen demi kepentingan pribadi, sekali lagi berhati-hatilah. 

Sebagai manusia termasuk birokrat, Idul Fitri jangan “dibajak” untuk mencuci dosa. Mencuci dosa bisa dan tentu saja dapat dilakukan kapan saja, lebih utama dilakukan ketika sudah menyadari akan dosa tersebut. Sesegera mungkin.

Ingat rumus di atas, mengakui, meminta maaf, bertaubat dan mengadakan perbaikan. Bukan dengan permintaan maaf sekilas lalu kemudian berharap clear. Oh tidak sesederhana itu.

Jadi ketika Idul Fitri ada seseorang yang anda kenal merupakan pelaku manipulasi kesalahan namun dengan ringannya mengajak salaman, menyatakan “mohon maaf lahir batin” disertai quote Pertamina “mulai dari nol ya”, oh nanti dulu. 

Begitupun saya dan Anda, jika, naudzubillah, merupakan pelaku manipulasi kesalahan dan hendak mencuci dosa pada momen Idul Fitri, tolong camkan hal ini, tidak semua orang dapat dikelabui. Renungkan baik-baik, bahwa mencuci dosa hanyalah mengubah persepsi, bukan esensi. 

0
0
Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Author

Seorang Abdi Negara pada Mahkamah Agung RI

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post