Menakar Kelanjutan PPDB Sistem Zonasi

by | Jul 10, 2020 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Puluhan tahun sudah pemerintah menggunakan sistem PPDB berbasis prestasi berdasarkan nilai ujian nasional (UN). Hingga akhirnya, perubahan pun digulirkan pada tahun ajaran 2018/2019 dengan diberlakukannya PPDB berbasis SKTM (surat keterangan miskin) – sistem yang memicu munculnya fenomena mendadak miskin di kalangan orang tua murid.

Dimulainya PPDB Zonasi

Karena banyak mudaratnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Prof. Dr. Muhadjir Effendy mengganti PPDB model SKTM dengan PPDB berbasis jarak rumah tinggal dari sekolah. Metode ini disebut juga PPDB Sistem Zonasi (kompas.com. 15/01/19). Sejak saat itu (PPDB 2019/2020), diterapkan PPDB sistem zonasi sebagai salah satu jalur dalam melakukan seleksi siswa baru.

Konon, penerapan sistem zonasi ini mengadopsi sistem PPDB serupa di Jepang. Tidak salah jika kita berkiblat ke Jepang. Harus diakui bahwa Jepang merupakan salah satu kiblat sistem pendidikan modern di dunia, baik itu sistem pendidikan dasar, menengah maupun tinggi.  

Berdasarkan peringkat pendidikan dunia tahun 2018 yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), Jepang menduduki peringkat ke 15, sementara Indonesia menempati urutan ke 72 dari 77 negara. Indikator yang digunakan adalah kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains.  

Sebagaimana disampaikan Muhadjir saat itu, terdapat tiga faktor utama yang melatarbelakangi diterapkannya PPDB sistem zonasi, yaitu pemerataan kualitas pendidikan, pemerataan sumber daya manusia, dan harapan agar orang tua lebih mampu memonitor putra-putrinya, disebabkan jarak sekolah yang dekat dari rumah.

Empat Perspektif Lain

Sebagai orang tua (ortu) siswa, saya sangat mendukung apapun kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan kualitas pendidikan. Namun demikian, dalam rangka PPDB 2020/2021, saya mengajukan sedikit perspektif yang berbeda terkait sistem zonasi.

1) Zonasi Indonesia Belum Sesiap Jepang

Pertama, pada sistem zonasi di Jepang, dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa sistem zonasi di Jepang hanya berlaku untuk PPDB setingkat SD dan SMP. Sementara untuk setingkat SMA, murni menggunakan sistem merit/prestasi.

Perlu diingat bahwa perbandingan kualitas pengajar, sarana, dan prasarana (sarpras) antarsekolah di Jepang identik. Bahkan mulai model bangunan, ruang kelas, hingga meja-kursi memiliki kualitas yang sama. Hal ini didukung pula dengan perputaran penugasan guru yang bersifat dinamis.

Artinya, jika pemerintah konsisten menerapkan kebijakan PPDB sistem zonasi ala Jepang maka diperlukan anggaran triliunan rupiah untuk memperbaiki gedung sekolah, meningkatkan sarpras, hingga pemenuhan kuantitas dan kualitas guru.

Saat ini, guru SD didominasi oleh guru non-PNS. Ketika rekrutmen tidak diperhatikan metode seleksi yang dapat dipertangunggjawabkan. Demikian pula dengan guru SMP dan SMA, meski tidak separah SD,  pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik mulai didominasi oleh guru non-PNS. 

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan ketua IGI, Muhammad Ramli Rahim, yang menyatakan bahwa saat ini lebih dari 60 persen guru berstatus non-PNS dan bahkan diprediksi  dalam 5 tahun ke depan kekurangan guru semakin besar (fajar.co.id, 09/05/2020).

2) Penghargaan atas Prestasi

Kedua, Abraham Maslow (1943) mencetuskan konsep hierarki kebutuhan yang didasarkan pada motivasi kekurangan dan motivasi perkembangan. Manusia hidup pada dasarnya mempunyai kebutuhan secara berjenjang akan banyak hal. Mulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. 

Dengan mengadopsi konsep Maslow, dapat dilihat bahwa kebutuhan manusia tertinggi adalah penghargaan dari orang lain (rasa diakui) dan aktualisasi diri (pembuktian terhadap orang lain). Menghargai prestasi merupakan bagian dari penerapan konsep ini.

Dalam konteks PPDB, manakala pemerintah belum mampu menyediakan pendidikan yang merata secara kualitas, sejatinya keberadaan sekolah yang sudah maju/favorit tidak perlu dikebiri dan “dipaksa” untuk menurunkan kualitasnya agar sejajar dengan sekolah-sekolah yang belum maju.

Keberadaan sekolah favorit bukan untuk membentuk kastanisasi pendidikan, tetapi lebih untuk memacu hasrat berprestasi. Ketika saya sekolah SD, misalnya, saya akan mengejar cita-cita dan bermimpi untuk sekolah di SMP X. Mengapa? karena sekolah di SMP X merupakan wujud dari bukti aktualisasi diri baik bagi diri sendiri, orang tua maupun teman dalam peer group.

Ketika saya punya cita-cita masuk SMP X yang favorit, maka sebagai anak desa, saya mesti belajar lebih keras dari yang lain. Adanya mimpi acapkali memberikan energi positif bagi seseorang untuk dapat mengeluarkan kemampuan terbiknya. Kerap pula inovasi dan ide-ide cemerlang muncul ketika kita punya cita-cita yang tinggi dan pada saat kondisi terdesak.

Hal ini senada dengan teori kebutuhan berprestasi, Need of Achievement (N-Ach)-nya David McClelland (1961) yang menyatakan bahwa membiarkan sekolah tumbuh sesuai dengan kemampuan dan kualitas masing-masing justru memberikan variasi pilihan kepada siswa.

Variasi pilihan bagi siswa akan mendorong mereka untuk berlomba mengeluarkan kemampuan terbaiknya demi mewujudkan cita dan mimpi untuk dapat sekolah di SMP dan SMA favoritnya.

Sikap mental masyarakat dengan tingkat kebutuhan berprestasinya yang tinggi dan tertanam sejak dini, biasanya akan menghasilkan wirausahawan yang tahan banting. Hal ini akan sangat membantu Indonesia dalam persaingan global.

3) Relevansi Pertimbangan Keuangan

Ketiga, Adam Smith (1776) menyajikan kerangka berpikir bahwa dalam sistem ekonomi akan terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran yang kemudian membentuk satuan harga dan jumlah barang. Dalam konteks PPDB, pemerintah menawarkan sekolah-sekolah dengan kualitasnya masing-masing.

Sementara, siswa berhak memilih sekolah sesuai dengan cita-citanya. Jika pemerintah gagal menyediakan sekolah sesuai dengan permintaan siswa, maka siswa dengan sendirinya akan mencari alternatif lainnya.

Hal ini nyata terlihat ketika keinginan siswa untuk belajar di sekolah yang menjadi impiannya digagalkan oleh PPDB sistem zonasi. Bagi siswa dari kalangan kelas ekonomi menengah dan atas, mereka akan memilih sekolah di sekolah-sekolah swasta favorit atau bahkan ke luar negeri.

Atas nama kualitas dan hukum ekonomi, orang tua siswa tidak akan memedulikan biaya yang harus dikeluarkan. Bagi mereka aktualisasi diri dan kebutuhan berprestasi jauh lebih penting daripada sekedar pertimbangan keuangan.

Di Temanggung misalnya, pada PPDB tahun 2019/2020 kemarin ada sejawat yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di SMA swasta di Semarang dan Yogyakarta dengan kualitas nomor satu dengan biaya yang mencapai jutaan untuk uang pangkal, SPP dan biaya boarding.

Sedangkan bagi siswa dari kalangan ekonomi biasa akan menerima takdir sekolah bukan di tempat yang diinginkan dengan konsekuensi membunuh motivasi untuk berprestasi. Mereka adalah sedikit contoh dari banyaknya siswa berprestasi yang gagal diterima di SMAN 1 Temanggung.

4) Antitesis Perilaku Koruptif?

Keempat, sebagai sebuah kebijakan, PPDB sistem zonasi maupun prestasi mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dikotomi sekolah favorit-non favorit diduga memicu maraknya jual-beli bangku sekolah.

Terkadang memang ada segelintir ortu siswa yang menghalalkan berbagai cara, baik itu dengan memanfaatkan kekuasaan maupun keuangan. PPDB sistem zonasi seakan sebagai antitesis dari perilaku koruptif dalam PPDB.

Sayangnya, sistem tersebut justru memicu munculnya masalah baru. Bagi ortu yang mampu, mereka akan membeli rumah dan mengganti alamat mendekati sekolah yang dianggap favorit, sementara ortu lainnya akan menitipkan anaknya dalam kartu keluarga (KK) milik saudara atau teman yang tinggal di zona sekolah yang dituju.

Epilog

Dengan demikian, ada baiknya jika Kemendikbud meninjau atau mengevaluasi kebijakan PPDB sistem zonasi. Saat ini saja, SD Negeri yang notabene merupakan sekolah tanpa biaya/gratis sudah mulai ditinggalkan oleh ortu siswa.

Meskipun harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, ortu lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta dengan konsep terpadu. Jika keadaan ini terus dibiarkan, jangan heran apabila dalam 10 tahun ke depan, SMP dan SMA negeri favorit akan semakin tertinggal oleh sekolah swasta dan ditinggalkan para siswa.

Ketika masa itu terjadi, dimungkinkan biaya pendidikan akan menjadi kian mahal mengingat pemerintah tidak akan bisa mengitervensi besaran SPP dan sumbangan pendidikan sekolah swasta.

Akhirnya, dapat saya sampaikan bahwa kemajuan suatu negara sangat tergantung dari besarnya hasrat siswa untuk berprestasi, menggapai cita, dan mewujudkan mimpi.

8
0
Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Author

Alumni Administrasi Negara dari UNS dan Univ. Brawijaya, serta Cooperation Policy pada Ritsumeikan Asia Pasifik University Japan. Di samping profesi sebagai PNS Kabupaten Temanggung, juga menjadi dosen pada UI UPBJJ Yogyakarta dan aktif dalam komunitas penulis Temanggung.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post