Membongkar Mitos Work-Life Balance

by | Jan 25, 2018 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Salah satu pertanyaan yang menghantui saya dan juga banyak kaum pekerja modern adalah bagaimana cara memiliki hidup yang berkualitas dan seimbang. Mungkinkah pola hidup yang menyeimbangkan antara pekerjaan dan hal-hal menyenangkan lainnya dalam hidup, atau sering dikenal dengan work-life balance (WLB), bisa dicapai?

Permasalahan WLB ini sering sekali muncul dalam keluh kesah teman maupun diri saya sehari-hari.

Ada yang mengeluh ingin pindah kerja karena lelah selalu pulang malam dari kantor. Ada yang mengeluh ingin resign karena ingin punya lebih banyak waktu dengan keluarga, terutama jika anaknya masih kecil-kecil. Ada yang setiap hari tidak betah di kantor dan tidak sabar menunggu weekend. Ada yang menuntut gaji selalu naik tinggi sebagai kompensasi atas waktu yang terlalu banyak dihabiskan di kantor. The list goes on. WLB seringkali menjadi biang keladi dalam situasi ini.

Di era smartphone seperti sekarang, batas antara pekerjaan dan nonpekerjaan semakin tipis. Lewat WhatsApp, pesan masuk terkait pekerjaan tidak dapat dicegah kapan masuknya, termasuk di hari libur. Terlebih jika ketahuan bahwa pesan tersebut sudah dibaca tapi belum dibalas. Siap-siap ditagih!

Alhasil, WLB semakin sulit dicapai.

Definisi Bekerja

Ketika sedang memikirkan tentang hal ini, saya dibuat tersentak dengan pandangan dari Alan Watts. Dikenal sebagai filsuf, Watts menyebutkan bahwa definisi kita tentang bekerja itulah yang membuat kita terbebani dengan pekerjaan, yang pada akhirnya memunculkan masalah WLB.

Bekerja, didefinisikan oleh sebagian besar kita, sebagai suatu kegiatan untuk menyambung (gaya) hidup. Kita disebut bekerja kalau kita mendapat bayaran atas pekerjaan tersebut. Kalau kita tidak dibayar, namanya hobi atau volunteer. Jika dibalik, artinya kita tidak akan mau mengerjakan kegiatan tersebut jika tidak dibayar dengan layak.

Dengan bayaran dari hasil bekerja tersebut, kita lantas membelanjakannya untuk kesenangan dalam hidup, misal: makan enak dengan keluarga, menyekolahkan anak di tempat yang bagus, punya rumah yang modern, beli pakaian yang keren-keren, jalan-jalan ke tempat eksotis, berangkat umrah tiap tahun, dan tak lupa menyalurkan hobi mancing atau gowes dengan sepeda mahal setiap weekend.

Bagi kebanyakan orang, bekerja adalah hal menyebalkan, sehingga alasan untuk tetap mau bekerja adalah uang dari hasil bekerja yang dibutuhkan untuk ‘hidup’. Seringkali orang tersebut merasa ‘kehilangan’ dirinya, bahkan ‘mati’ saat bekerja. Sungguh ironis bahwa seseorang harus ‘mati’ untuk ‘hidup’.

Oleh karena itulah kita terobsesi dengan WLB. Kita berusaha mencari cara menyeimbangkan antara bekerja dan hidup. Kita mencoba menyeimbangkan antara kegiatan yang menyebalkan dan kegiatan yang menyenangkan.

Definisi bekerja secara mainstream itulah yang membuat kita tidak pernah menemukan jawaban atas WLB. Seperti kata pepatah, the way you define the problem is part of the problem.

WLB sejatinya adalah masalah mindset. Selama kita masih menganggap bekerja adalah sebuah keterpaksaan, maka selama itu pulalah kita punya masalah WLB. Kita punya masalah WLB karena kita tidak suka dengan pekerjaan kita. Jika kita mencintai pekerjaan bukan karena uangnya, maka secapek apapun pekerjaannya tidak akan dipandang sebagai masalah WLB.

Ambil contoh, seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan sepanjang waktunya untuk mengurus anak-anak dan keluarganya di rumah. Kesibukan sang ibu yang demikian padat itu tidak disebut sebagai bekerja karena sang ibu tidak menerima bayaran. Selain itu, tidak ada ceritanya ibu rumah tangga mengeluh tentang work-life balance. Padahal tidak terbayang capeknya mereka ngurusin rumah karena mereka tulus melakukannya. And there’s no money involved in it.

Beda cerita kalau kita mengupah Asisten Rumah Tangga (ART) untuk mengurus rumah. Pasti ada kalanya ART itu mengeluh soal work-life balance (cuman mungkin istilahnya bukan WLB).

Love What You Do

Granted, secinta apapun terhadap pekerjaan, tidak mungkin seluruh waktu dalam hidup kita dihabiskan untuk bekerja. Kita butuh relaksasi, membina hubungan dengan orang lain, berolahraga, dan melakukan hal-hal penting lainnya agar hidup kita tahan lama (sustainable).

Workaholic atas sebuah pekerjaan yang dicintai juga bukanlah hal yang bagus karena depresi akan mudah datang. Namun, sekali lagi ini bukanlah masalah WLB. Ini adalah soal manajemen waktu. Dalam contoh ibu rumah tangga di atas, keadaan ini sering disebut dengan kebutuhan akan me-time atau waktu-waktu khusus untuk refreshing tetapi tetap disertai dengan kecintaan yang tulus atas kegiatan mengurus rumah tangga.

Lalu, bagaimana caranya mengubah mindset dari terpaksa menjadi tulus dalam bekerja sehingga kita tidak  punya lagi masalah WLB? Berikut adalah beberapa hal yang dapat saya sarankan:

Pertama, temukan dan kenali manfaat dari hasil kerja Anda bagi orang lain. Lupakan sejenak soal potongan absen bulan ini atau honor yang belum cair. Lupakan sementara tentang perilaku klien atau orang lain yang kurang menyenangkan. Di luar keseharian bekerja yang tampak membosankan tersebut, apa sesungguhnya dampak yang Anda ciptakan bagi orang lain?

Yang jadi pegawai pajak, misalnya, pikirkanlah bahwa hasil kerja keras Anda dinikmati oleh masyarakat di seluruh pelosok negeri. Berkat kerja keras Anda mereka turut menikmati hasil pembangunan yang merata sebagai akibat digunakannya uang pajak dengan baik.

Bagi Anda yang bekerja di swasta atau wiraswasta, melalui produk yang dihasilkan oleh perusahaan Anda (dan lahir karena sentuhan Anda) maka masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik.

Kedua, buatlah kebiasaan untuk mengingat bahwa bekerja adalah ibadah. Sebagai sebuah ibadah, maka yang dihitung adalah seberapa besar manfaat yang Anda berikan kepada orang lain, bukan seberapa banyak uang yang dibawa pulang.

Paradigma ‘bekerja sebagai ibadah’ mengajarkan bahwa kepuasan tertinggi dalam bekerja bukanlah ketika pekerjaan itu menghasilkan uang, tetapi ketika pekerjaan tersebut memberi kemaslahatan untuk sebanyak-banyak manusia.

Jika kita tulus dalam membantu orang lain, maka Tuhan akan bekerja dengan cara-Nya sendiri untuk memastikan bahwa kita selalu tercukupi dari manapun sumbernya. Tentu saja ini bukan berarti kita tidak mau dibayar. Tidak ada yang salah dengan mendapatkan bayaran dari pekerjaan. But, it shouldn’t be the primary motive.

Ketiga, gunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Salah satu sumber permasalahan WLB adalah rasa frustrasi atas waktu yang terbuang di antara pekerjaan. Misalnya, commuting time dari dan menuju kantor, waiting time saat bertemu klien, atau meeting time yang kadang bertele-tele.

Stephen Duneier, menyebutkan bahwa dengan mendengarkan MP3 pelajaran bahasa Jerman selama 1 tahun  selama commuting time (dan satu musim panas di Jerman), ia menjadi fasih berbahasa Jerman. The point is, we’re less likely to complain, if we see ourselves useful. Membaca atau mendengarkan audiobooks selama perjalanan bisa menjadi salah satu alternatif dalam memanfaatkan waktu.

Akhirnya, semoga kita semua mampu menemukan ketulusan dalam bekerja dan terbebas dari persoalan work-life balance untuk selamanya!

 

 

1
0
Danny Ardianto ♥ Associate Writer

Danny Ardianto ♥ Associate Writer

Author

Mahasiswa Ph.D. (under examination) di Monash University, Australia yang juga ASN di Kementerian Keuangan RI. Ia tertarik pada topik-topik filosofi pengetahuan, the future of work, dan interaksi komputer-manusia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post