Membongkar Kedok Kemanusiaan Gaza Humanitarian Foundation

by | Jul 19, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Krisis kelaparan dan kekerasan di Gaza, Palestina, mengetuk batas nurani kemanusiaan. Hanya untuk mengambil bantuan pangan yang disediakan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), warga Gaza dalam beberapa waktu terakhir banyak yang harus meregang nyawa.

Hal ini terjadi karena serangan Israel Defense Force (IDF), kontraktor Amerika, dan kelompok sipil pro Israel Popular Forces (kelompok oportunis yang memanfaatkan lemahnya kekuasaan yang selama ini dikelola Hamas). 

Krisis kelaparan di Gaza telah mengakibatkan 96 persen anak-anak setempat menderita malnutrisi di tengah 90 persen warganya yang bolak-balik mengungsi.  Hal ini mengakibatkan de facto kekosongan kekuasaan yang selama ini dipegang Hamas dan sekarang, dalam beberapa hal, dimainkan oleh Popular Forces.  

Berbagai media melaporkan, mereka mengambil alih distribusi bantuan atau melakukan aksi kriminal untuk bertahan hidup di tengah berbagai impitan meski untuk itu harus membunuh saudara sebangsa sendiri. Hal ini memantik pertanyaan dasar,

apakah titik bantuan yang difasilitasi GHF, yang merupakan satu-satunya instrumen bantuan yang dibolehkan IDF, merupakan spot bantuan untuk rakyat Gaza? 

Ataukah sebenarnya merupakan umpan untuk pelan-pelan membasmi populasi Gaza lewat tangan mereka sendiri maupun pertikaian internal di Gaza?

Proyek di Tengah Krisis

Blokade total terhadap Gaza dimulai pada 2 Maret 2024. Blokade ini dijalankan atas klaim Israel dan AS yang menuduh Hamas mengalihkan bantuan kemanusiaan untuk keperluan militer mereka. 

Tuduhan ini telah dibantah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai organisasi kemanusiaan, dengan mengatakan tuduhan itu tidak beralasan dan bersandar pada bukti. 

Blokade ini didesain untuk membatasi masuknya bantuan kemanusiaan seperti makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar.

Semenjak itu, praktis tidak ada bantuan kemanusiaan yang dapat memasuki Gaza secara resmi. Hanya bantuan yang nekat dengan menyabung nyawa yang berhasil sampai ke Gaza sebagaimana yang dilakukan pemerintah China, misalnya. 

Mengantisipasi dan merespons kondisi demikian, pada Februari 2025 Amerika memutuskan membuat badan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang bertujuan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza selama krisis kemanusiaan berlangsung. 

GHF dibuat untuk menggantikan peran PBB lewat lembaga United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA) dan World Food Programme (WFP) sekaligus mengontrol sepenuhnya bantuan yang masuk ke Gaza. 

Pada dasarnya GHF didukung dan dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat di bawah administrasi Donald Trump dan Israel serta dioperasikan dengan keterlibatan kontraktor keamanan swasta Amerika, seperti Safe Reach Solutions (SRS). 

SRS dikepalai Philip Reilly yang adalah veteran pimpinan Central Intelligence Agency (CIA).  Trump memilih jalan pembentukan GHF, di antaranya, setelah desakan Qatar dan UEA serta laporan PBB yang memperingatkan risiko kelaparan massal bagi 2,3 juta penduduk Gaza. 

Distribusi bantuan dilakukan melalui Pelabuhan Ashdod dan penyeberangan Kerem Shalom, jalur yang sepenuhnya dikontrol Israel. 

GHF, dalam klaim AS dan Israel, merupakan skema bantuan yang langsung tertuju ke warga Gaza, namun tidak bisa menghindari tuduhan transparansi dan akuntabilitas untuk sektor tata kelolanya dan keamanan yang dijalankan otoritasnya.

Trump Plan

Saat banyak warga Palestina (hingga kini telah sekitar 635 warga tewas dari sekitar 54 ribu korban nyawa keseluruhan) yang mengantri bantuan dan harus tewas ditembaki IDF dan otoritas GHF, pertanyaan dan kecaman menguar. 

Nyawa warga Gaza seperti tidak ada harganya dan itu dilakukan IDF dan otoritas GHF saat kecamuk perang Iran-Israel. Bagi warga Gaza, dengan blokade total yang dijalankan IDF, GHF adalah satu-satunya harapan mencari bantuan. 

Sebegitu langkanya, tidak mengherankan jika PBB, melalui pejabat seperti Tom Fletcher dan Jonathan Whittall, menyebut sistem GHF sebagai kelangkaan yang direkayasa yang membatasi akses bantuan dan menjadikan makanan sebagai alat politik. 

GHF adalah satu-satunya harapan bagi warga Gaza sekaligus ancaman yang mengerikan bagi mereka. Hal demikian setidaknya memunculkan tiga hal utama:

Pertama, tindakan GHF dan IDF berada di luar batas regulasi internasional. Lembaga berpengaruh Amnesty International dan lebih dari 200 organisasi non-pemerintah, termasuk Oxfam dan Save the Children, mengutuk GHF atas tindakan yang jelas-jelas melanggar Konvensi Jenewa.
Konvensi ini mensyaratkan distribusi bantuan dilakukan oleh organisasi kemanusiaan berpengalaman secara imparsial dan independen.
Berada di daerah tengah dan selatan Gaza, GHF dianggap memaksa warga Palestina, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas, untuk melakukan perjalanan panjang melalui zona konflik dalam upaya mencapai pusat distribusi.
Ironisnya, perjalanan panjang ini sering kali berakhir dengan kekerasan yang dilakukan oleh IDF dan, bahkan, otoritas GHF.

Kedua, represi dan tindakan brutal pada para pencari bantuan kemanusiaan pada dasarnya merupakan tindakan tanpa nilai.
Sejak GHF mulai berperan, berbagai laporan menunjukkan bahwa, saat mencoba mengakses bantuan, lebih dari 635 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.200 terluka oleh tembakan pasukan Israel, kontraktor GHF, dan kelompok bersenjata Popular Forces.
Insiden ini dimulai sejak hari pertama operasi GHF. Tindakan represif dilakukan dengan tembakan dari drone, tank, dan helikopter terhadap warga sipil yang kelaparan.
Seorang mantan kontraktor GHF mengatakan (sebagaimana laporan BBC) bahwa budaya di organisasi tersebut menganggap warga Palestina sebagai horde zombie (gerombolan zombie).
Dengan nalar ini, tembakan senjata sering kali dilakukan tanpa alasan yang jelas, bahkan terhadap warga yang tidak menunjukkan ancaman yang berbahaya. Tidak heran jika dalam konteks ini banyak anak-anak dan wanita menjadi korban kebrutalan Israel.
Praktis, tindakan seperti ini mengingatkan pada hal yang disampaikan Frantz Fanon berpuluh tahun lalu. Dalam The Wretched of the Earth (1961), ia menulis:

Kekerasan kolonial bukan hanya bertujuan untuk menundukkan, tetapi juga untuk menghilangkan martabat kemanusiaan dari mereka yang dijajah”.

Pemikiran ini memiliki relevansi yang kuat dengan kondisi Gaza saat ini. Di tengah sensor ketat media barat, blokade Israel dan kekerasan terhadap warga sipil, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press terkait GHF, mencerminkan upaya untuk mengubur semangat rakyat Palestina dalam memperjuangkan hak mereka.

Ketiga, GHF sesungguhnya bentuk kegagalan Amerika dan Israel dalam mengelola konflik, bisa jadi malah semacam hipokrisi.
Donald Trump memilih untuk membuat kelembagaan GHF sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, tetapi dengan motif yang lebih kompleks daripada “sekadar” bantuan.
Berulang Trump menolak keterlibatan dunia internasional dengan berbagai dalih.

Dari sini terlihat, GHF tampaknya dirancang untuk mendukung rencana politik yang lebih besar dari Trump dan Israel, termasuk Trump Plan.


Publik ingat, pada 4 Februari 2025, Trump mengumumkan niatnya untuk mengambil alih Gaza dan mengembangkan wilayah tersebut menjadi apa yang disebutnya sebagai Riviera of the Middle East. Dengan konsep ini, Trump merencanakan pemindahan paksa sekitar 2 juta warga Palestina ke beberapa negara sekitarnya.
Rencana ini, yang diusulkan selama gencatan senjata sementara antara Israel dan Hamas, mendapat dukungan kuat dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan menteri sayap kanan seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir.
Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir adalah dua petinggi Israel yang terang-terangan menormalisasi genosida warga Gaza, menyebutnya sebagai hal yang diperlukan bagi Israel.
Tidak mengherankan bila kemudian AS dan Israel memiliterisasi bantuan dan melanggar prinsip kemanusiaan melalui pola yang dijalankan mereka.

Desakan Dunia atas Ekonomi Genosida Gaza

Tindakan nirkemanusiaan AS dan Israel terang memantik banyak pihak untuk bereaksi keras. Pelapor Khusus PBB untuk Gaza Fransesca Albanese secara terbuka mengatakan bahwa Gaza tengah mengalami ekonomi genosida.


Ia mengkritik keras korporasi ternama dunia yang mendukung dan mengambil keuntungan dari bencana kemanusiaan di Gaza dan menyerukan embargo dan sanksi kepada Israel.
Dengan dukungan Amerika yang menjaga dan membantu Israel dalam semua aspek, seruan Albanese untuk embargo dan sanksi ke Israel terasa mimpi meski bukan tidak mungkin terjadi.

Hal lain yang juga mendesak adalah bantuan kemanusiaan. Ini menyangkut jutaan nyawa warga Gaza yang dikepung blokade Israel dan mengalami persekusi IDF. Mengembalikan proses bantuan kemanusiaan ke tangan UNWRA dan lembaga kemanusiaan lainnya adalah langkah paling tepat.

1
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post