Pernah menyaksikan film dokumenter Alexander the Great atau Alexander Agung? Saya baru tahu bahwa kisah perjalanan hidup Pangeran dari Kekaisaran Macedonia ini begitu menarik dan banyak hal yang bisa diulas. Mungkin, Anda sudah membaca kisah ini sejak SD. Dahsyat bukan?
Dalam tulisan ini saya hanya ingin berfokus pada pola pendidikan yang diperoleh Alexander the Great, baik oleh ibunya, ayahnya, maupun gurunya yang begitu menginspirasinya. Lalu, saya akan mencoba mengaitkannya dengan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di instansi pemerintah.
Alexander the Great atau yang juga disebut sebagai Alexander III of Macedon lahir pada tahun 356 Sebelum Masehi di Pella, Macedonia. Alexander adalah anak dari Raja Philip II. Di usia yang ke dua puluh tahun, Alexander menjadi raja, menggantikan ayahnya karena terbunuh.
Alexander terkenal sebagai panglima perang yang tak terkalahkan sepanjang masa. Di usia yang ketiga puluh, Alexander sudah menakhlukkan kekaisaran-kesaisaran yang membentang dari Yunani, Mesir, Persia, hingga India. Apa rahasianya sehingga Alexander mampu mencapai semua itu di usia yang begitu muda?
Peran Olympias Dalam Mengindoktrinasi Alexander
Alexander the Great lahir dari rahim Olympias, anak dari raja Epirus yang bernama Neoptolemus. Olympias adalah istri keempat dari tujuh istri Raja Philip II of Macedon, ayah Alexander. Dari semua istrinya, Philip II hanya memiliki dua anak. Alexander adalah satu-satunya yang dapat dibanggakan dan diharapkan akan menjadi pewaris kerajaan.
Olympias, sang ibu, memiliki keyakinan yang kuat bahwa Alexander adalah putra Zeus. Sebagai informasi, Zeus adalah raja para dewa dalam mitologi Yunani. Plutarch, biographer Yunani Kuno, mengatakan bahwa suatu malam, setelah menikah dengan Philip II, Olympias bermimpi mendengar suara guntur dan merasakan ada petir yang menyambar rahimnya. Petir itu lah yang ia anggap sebagai ‘campur tangan’ Zeus hingga kemudian menjelma menjadi bayi Alexander. Olympias tak pernah lelah menanamkan keyakinan kepada Alexander bahwa ia putra Zeus.
Suatu ketika saat Alexander gagal membuat Philip II bangga akan kemampuan bertarungnya, ia mendatangi ibunya. Alexander mengatakan bahwa ayahnya sangat kecewa dengannya. Olympias lalu memangku dan memeluknya sembari mengatakan, “Jangan dengarkan ayahmu. ayahmu tidak kecewa, ayahmu hanya iri denganmu,” Katanya lagi, “Your father knows that your blood is more royal than his”.
Aristoteles, Guru Yang Menginspirasi
Sejak kecil Alexander mendapatkan pendidikan yang sangat baik dalam bertarung dan memegang senjata. Di usianya yang ke-13, Philips II mecarikan seorang guru untuk Alexander. Philip memilih Aristoteles, filosof dan pemikir yang sangat berpengaruh kala itu, bahkan hingga kini, sebagai sang guru dan menjadikan Temple of the Nymphs di Mieza sebagai tempat belajar Alexander. Di sanalah Alexander bersama sahabat kecilnya, di antaranya Ptolomy, Hephaistion, dan Cassander mendapatkan pendidikan yang sangat baik dari Aristoteles. Sahabat-sahabat inilah kelak di kemudian hari yang menjadi penglima perang mendampingi Alexander menakhlukkan dunia.
Dalam film dokumenter Alexander the Great History, digambarkan bahwa Philip II tak hanya memilihkan guru yang hebat, tapi juga mempersiapkan sebuah alam pembelajaran yang sangat mendukung, yang memungkinkan Alexander untuk belajar langsung dari alam. Di tempat inilah Alexander bersama sahabatnya belajar tentang banyak hal, berbagai ilmu pengetahuan, filsafat, moral, agama, logika, budaya, kesusasteraan dan seni. Ya, di usia ke-13 hingga 16 tahun, Alexander sudah mempelajari semua itu.
Achilles, Role Model Bagi Alexander
Di bawah didikan Aristoteles, Alexander mengenal karya Homer, terlebih khusus tentang the Iliad. Karya Homer ini merupakan buku wajib bagi anak-anak Yunani Kuno. Oleh Alexander, karya Homer ini dia bawa kemana-mana, hingga ia tertidur dan bahkan menemaninya ketika ia menakhlukkan Mesir, Persia, dan India. Kisah yang paling kuat melekat dalam alam bawah sadarnya adalah tokoh yang bernama Achilles.
Bagi Alexander, Achilles adalah role model. Alexander ingin selalu menjadi yang terbaik melebihi siapapun, sebagaimana Achilles, parjurit pemberani dan tidak terkalahkan pada Perang Troya dalam mitologi Yunani. Di sisi lain, Alexander sering merasa tidak percaya diri. Di saat seperti inilah, Aristoteles selalu muncul dan membangkitkan kembali hasratnya untuk menakhlukkan dunia.
Suatu ketika dalam sebuah dialog dengan sang guru, Alexander menyatakan bahwa keinginannya untuk menjadi seperti Achilles sulit terwujud. Alexander merasa tidak cukup percaya diri saat melihat begitu hebat dan kuatnya sang Ayah. Alexander khawatir kelak ia tidak mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, karena ayahnyalah yang akan menakhlukkan Yunani. Menyaksikan hal itu, Aristoteles pun menunjukkan sebuah peta dunia kepada Alexander. Ia katakan, “Anggaplah Ayahmu mampu menakhlukkan Yunani, kamu masih punya sisanya, seluas dunia yang membentang.” Mendengar kata-kata Aristoteles, Alexander seolah tersadarkan dari kegalauannya.
Begitu berpengaruhnya Aristoteles dalam hidupnya, Alexander pernah mengatakan “Ayahku yang memberiku hidup, tapi Aristoteles lah yang mengajariku hidup dengan baik”.
Refleksi Pendidikan Alexander Dalam Birokrasi
Kisah Alexander the Great sangat menarik untuk ditelaah dari sisi pendidikan, terlebih khusus dari sisi pembentukan karakter yang membuatnya menjadi panglima yang mampu menakhlukkan kerajaan yang membentang dari Yunani hingga ke India. Dalam konteks organisasi sektor publik, kisah Alexander ini sangat menarik untuk dicermati lalu direfleksikan untuk membangun birokrat yang berkarakter.
Memang, mungkin bukan aple to aple jika kita ingin menyandingkan antara bagaimana Olympias, Philip II, dan Aristoteles membangun karakter Alexander dengan program peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor publik. Namun, ada beberapa hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran untuk memperbaiki pola pengembangan SDM para birokrat kita, sebagai berikut:
- Peran Pimpinan
Kita mulai dari Philip II of Macedon, ayah Alexander. Meski dalam adegan film Alexander, Philip II terkesan keras dalam mendidik anak, mencarikan dan memilihkan guru dan lingkungan pembelajaran terbaik adalah salah satu bentuk komitmen yang layak untuk diapresiasi. Dalam hal ini, jika kita bawa dalam konteks tata kelola pemerintahan, maka pimpinan memiliki peran yang besar dalam menentukan kualitas SDM. Dalam hal ini pimpinan harus menyadari dan memiliki komitmen yang kuat dalam penyediaan dan penyelenggaraan program pengembangan kompetensi pegawai.
Salah satu bentuk komitmen yang dapat kita ambil pelajaran dari Philip II adalah penyediaan anggaran yang memadai. Meski SDM sering dianggap sebagai faktor kunci keberhasilan, dalam praktiknya perusahaan pun banyak mengabaikan, Juani Swart dkk dalam buku Human Resource Development juga menyatakan hal yang sama. Senior manager di banyak perusahaan lebih sering memangkas anggaran yang terkait dengan peningkatan kualitas mereka. Padahal, masih menurut Swart, SDM yang mewujud dalam bentuk modal manusia merupakan salah satu komoditas yang sangat berharga jika ingin mendapatkan keunggulan kompetitif.
Pengembangan kompetensi pegawai di instansi pemerintah tak jauh berbeda, bahkan masih jauh panggang dari api. Dari hasil pengamatan saya terhadap anggaran program peningkatan kapasitas pegawai di pemerintah daerah yang menjadi obyek penelitian saya, masih kurang dari satu persen dibandingkan total anggaran.
- Mentor Yang Handal
Kalau dalam dunia pendidikan, Yohanes Suryo pernah mengatakan, “tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak-anak yang belum sempat mendapatkan guru-guru terbaik”. Analogi yang sama sepertinya tepat untuk menggambarkan bagaimana sebaiknya pola pengembangan kompetensi pegawai. Berikan para ASN trainer dan mentor-mentor terbaik. Menghadirkan trainer-trainer terbaik memang membutuhkan biaya yang besar. Namun, dengan berkembangnya e-learning dan bertebarannya video di Youtube tentang hal-hal relevan untuk pengembangan kompetensi bisa menjadi salah satu alternatif solusi. Bahkan, kita bisa belajar dari professor dan expert kelas dunia dari Youtube.
Pendidikan Alexander dimulai dari Olympias, sang ibu yang memiliki kepercayaan bahwa Alexander adalah putra Zeus. Olympias menanamkan kepercayaannya itu kepada Alexander setiap saat agar dia mampu mengungguli sang ayah. Dalam hal ini, sang ibu memiliki peran yang besar dalam melakukan doktrinasi bahwa ia bukan manusia biasa, Alexander adalah anak raja para dewa. Konsep diri semacam ini perlu dimiliki juga oleh para birokrat untuk membentuk kepercayaan diri yang kuat.
Selain Olympias, kita juga bisa melihat bagaimana Aristoteles tidak hanya berperan sebagai guru, tapi juga mentor bagi Alexander. Dia lah yang memperkenalkan Alexander dengan Achilles. Dia pula lah yang selalu mendorong Alexander untuk menjelajah menakhlukkan dunia. Aristoteles pula yang selalu membangkitkan kembali kepercayaan diri Alexander.
Dalam konteks organisasi sektor publik, siapakah yang bisa menjadi mentor? Grand design reformasi birokrasi (RB) memiliki tujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang professional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Untuk menciptakan birokrat dengan karakter seperti ini tentu tidak cukup mengandalkan diklat, workshop, dan training. Selain faktor biaya yang cukup tinggi untuk mendidik ribuan ASN, menciptakan mentor-mentor handal sangat penting dalam melakukan indoktrinasi nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan pengabdian. Para mentor inilah yang nantinya akan mampu menyebarkan semangat untuk berubah sepertinya dapat menjadi salah satu solusi.
Dalam road-map RB 2016-2019 pun sebenarnya sudah dirancang kegiatan untuk menetapkan agent of change yang menjadi role model untuk mendukung terjadinya perubahan yang diharapkan. Hanya saja, hingga saat ini peran para role model ini sepertinya masih di atas kertas, dalam SK. Strategi untuk memperkuat peran dan menggerakkan para role model untuk mampu melaksanakan fungsi haruslah dirancang dengan baik agar proses internalisasi nilai-nilai profesionalisme, integritas, dan pelayanan masyarakat dapat tumbuh subur dalam dada setiap ASN.
- Menciptakan Ketokohan
Terakhir terkait peran sastra, kisah, mitos, legenda sebagai salah satu pembangkit semangat. Dalam sejarah kehidupan Alexander, Achilles adalah role model yang selalu menari-nari dalam kepalanya. Kehadiran Achilles yang tergambar dalam the Iliad karya Homer tertancap begitu kuat dan menjadi energi bagi Alexander untuk mewujudkan mimpi dan ambisinya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah ketokohan baik itu fiksi ataupun dari dunia nyata dalam membentuk kepribadian seseorang. Merefleksikan Achilles dalam konteks ASN membawa implikasi pentingnya mengenal kehidupan tokoh-tokoh inspiratif yang dapat membentuk profesionalisme, integritas, dan semangat melayani masyarakat.***
Orang hebat yang menginspirasi sangat di perlukan untuk membentuk SDM yang kuat di masa depan. Peran proses, memegang peran penting dalam pembentukan karakter manusia. Hanya mereka yang dapat mengambil pelajaran secara positif dari semua proses yang positif atau negatif yang kemudian menjadikan itu semua untuk membangun karakter nya menjadi lebih kuat dan baik.
Ummu madrasatul ula / ibu adalah guru pertama ..namun tanggung jawab pendidikan tetap di pundak ayah…….
peran teladan menjadi sangat penting ya bu….bermula dari rumah kemudian sampai dilingkungan kerja masing2……..
Saya tertarik sekali dengan soal pengembangan SDM, bu, lebih tepatnya penasaran. Selain persentase anggaran yang sangat kecil untuk kegiatan sejenis training, dukungan pemda untuk beasiswa pun sangat minim. Bahkan dibeberapa daerah malah dipersulit meski tak menggunakan APBD. Padahal seharusnya semua pegawai didorong untuk melanjutkan pendidikan.
Mengenai training atau diklat dan sejenisnya, harusnya bukan hanya melulu teknis yang ada di tupoksi, tetapi juga training hal-hal mendasar yang kerap dipandang sepele seperti hospitality, kemampuan dasar tata bahasa, public speaking, dll
Ijin cite bu Doktor..hehe..
Setiap raja dan penguasa besar mengikuti pola yg sama, nature & nurture. Memiliki asal yg baik dan diolah dgn baik. Sama halnya dgn Sultan Muhammad al Fatih, maka menjadi penakluk, karena memang disiapkan sejak lama. Tp dengan model birokrasi yg sering terkooptasi politik praktis, pengembangan SDM Berkelanjutan mungkin hanya utopia semata mbak
Benar mas Atas, menarik memang menyaksikan kisah2 bagaimana raja-raja dahulu dibentuk. Dari beberapa faktor yang membentuk karakter terlihat peran ayah-ibu yang dalam hal ini adalah pimpinan perannya tak dapat di sangkal. Cuma ada satu hal yang menari dari kisah Alexander ini, yaitu bagaimana dia begitu terinspirasi oleh kisah Achilles, karya sastra yang begitu melekat kuat. Banyak cerita sukses yang juga membuktikan hal ini, bagaimana orang-orang akar rumput menjadi sukses karena terinspirasi kisah-kisah dan cerita yang ia baca di masa kecil. Dalam hal birokrat, saya rasa kalaupun dari aspek pimpinan dan lingkungan tidak mendukung, kita masih bisa berharap dari diri kita sendiri melalui literasi yang menginspirasi sebagaimana slogan BM, kritis cerdas dan menginspirasi.