Perkembangan Paradigma
Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) di Indonesia ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 6/2006). Pada awal implementasinya, pemerintah pusat masih fokus melakukan pembenahan pencatatan BMN untuk mendukung akuntabilitas penyajian aset dalam neraca pemerintah.
Dari pertama kali disusun (2004), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mendapatkan opini disclaimer atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sampai dengan tahun 2008.
Pemerintah terus bekerja keras untuk lepas dari disclaimer melalui penataan sistem pencatatan sehingga pada tahun 2009, LKPP mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Upaya penyajian ulang nilai awal aset berupa BMN di neraca atau yang dikenal dengan penilaian kembali giat dilaksanakan sebagai bentuk pembenahan administrasi BMN, sehingga akuntabilitas penyajian nilai aset dalam laporan keuangan menjadi wajar.
Periode pembangunan tatanan administrasi pencatatan BMN ini dikenal dengan era asset administrator. Hal itu termaktub dalam storyline perjalanan pengelolaan BMN di Indonesia (Paparan Widyaiswara Ahli Utama berjudul “Optimalisasi Aset: Penguatan dan Arah Rancangan Teknokratik Renstra Kemenkeu RI 2020-2024, Yujana, 2019)
Dinamika perkembangan zaman menuntut BMN dapat memberikan kontribusi lebih dalam tata kelola pemerintahan (value added). Untuk memberikan nilai tambah tersebut, perubahan paradigma perlu dilakukan.
Paradigma asset administrator yang menekankan terwujudnya tertib administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum, bergeser menjadi paradigma asset manager yang menekankan pada penggunaan tertinggi dan terbaik dari BMN (highest and best use), revenue center, dan cost efficiency.
Tiga Konsepsi Asset Manager
Untuk menerjemahkan paradigma asset manager, perlu diikuti dengan implementasi dari masing-masing konsep tersebut. Pertama, konsep highest and best use (HBU) atau penggunaan tertinggi dan terbaik.
Konsep ini merupakan konsepsi manajemen properti di mana suatu aset dilihat dari penggunaan yang paling mungkin dan optimal, baik itu secara fisik dimungkinkan dan telah dipertimbangkan secara memadai, secara hukum diizinkan, secara finansial layak, dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti tersebut.
Analisis HBU pada prinsipnya bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset dengan melakukan identifikasi mengenai penggunaan terbaik dari BMN (dalam hal ini lahan) yang dapat menghasilkan nilai yang paling optimal.
Kedua, konsepsi bahwa BMN diharapkan mampu memberikan kontribusi penerimaan negara nonpajak dari skema pengelolaan BMN yang dilakukan (revenue generating). BMN diharapkan tidak lagi menjadi beban keuangan negara, tetapi justru menjadi pusat pendapatan (revenue center).
Sementara konsepsi ketiga terkait dengan cost efficiency, diharapkan pengelolaan BMN mampu mereduksi eksposur anggaran belanja negara melalui kreativitas pemenuhan kebutuhan BMN non-anggaran dan efisiensi penggunaan belanja dalam pengelolaan BMN.
Tantangan yang Dihadapi
Mendudukkan paradigma asset manager pada tataran implementasi tidak semudah membalik telapak tangan. Jika diltilik dari profil BMN yang dikelola, tantangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih, di mana Ernst & Young Indonesia pada tahun 2019 mengungkapkan, bahwa masih banyak permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan BMN di Indonesia, di antaranya:
- Proses penatausahaan, pengawasan, pengamanan, dan pemanfaatan BMN belum optimal;
- Kurangnya insentif dan aplikasi pendukung yang memadai untuk memaksimalkan pemanfaatan dan pengelolaan BMN secara efisien;
- Tidak adanya proses bisnis yang terkait dengan penyiapan laporan informasi Sumber Daya Alam (SDA) untuk mendukung proses penetapan peraturan dan kebijakan;
- Kurangnya aplikasi pendukung yang menyediakan informasi yang lengkap dan valid terkait BMN (sebagai suatu sumber kebenaran); dan
- Proses rekonsiliasi laporan BMN masih dilakukan secara manual.
Sementara itu, harapan BMN untuk lebih berkontribusi kepada negara semakin meningkat. Dalam dokumen Analisis Keberlangsungan Fiskal Jangka Panjang disebutkan bahwa dalam arah kebijakan makro, upaya optimalisasi aset negara sebagai revenue center menjadi salah satu bagian dalam mendongkrak penerimaan negara nonpajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada saat memberikan kuliah umum di FEB UGM pada tahun 2018, juga pernah menyampaikan statement beliau bahwa:
“Di negara maju, tidak ada uang, barang, dan modal yang menganggur, semuanya dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan nilai. Kita harus bisa seperti itu, jangan sampai ada satu barang pun yang dibiarkan begitu saja”.
Tantangan ini tentu saja sangat menarik melihat realisasi dari penerimaan negara non pajak (PNBP) dari pengelolaan BMN masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak sebagai penerimaan utama negara.
Perbandingan Realisasi PNBP dengan Penerimaan Perpajakan
Sumber: LKPP audited, diolah
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa secara rata-rata perbandingan PNBP Pemanfaatan BMN terhadap penerimaan perpajakan hanya sekitar 0,053%. Hal itu menunjukkan bahwa PNBP pemanfaatan BMN masih belum bisa diandalkan untuk menutup defisit APBN dan mewujudkan cita-cita sebagai revenue center.
Dilihat dari tingkat kemampuan aset untuk menghasilkan pendapatan, BMN juga masih sangat kecil, rata-rata sekitar 0,0503%.
Rasio PNBP Pemanfaatan BMN terhadap Aset
Sumber: LKPP 2016-2019, diolah
Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan contoh-contoh praktik Pemanfaatan Barang Milik Negara baik di Kementerian/Lembaga, Special Mission Vehicle (SMV) maupun unit-unit lain dalam koridor Pengelolaan Barang Milik Negara yang dapat menjadi acuan serta dapat direplikasi bahkan mungkin dapat dikerjasamakan dengan Kementerian Keuangan sebagai Pengelola Barang dalam fungsi Bendaharawan Umum Negara (BUN) di lingkungan Kementerian/Lembaga.
Perubahan yang Dilakukan
Perubahan fundamental dalam pengelolaan BMN telah berjalan dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020 (PP 28/2020) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pokok-pokok perubahan yang terdapat dalam PP 28/2020 di antaranya pengaturan mengenai pemindahtanganan, pemanfaatan, dan penilaian BMN. Istilah baru dari sisi pemanfaatan BMN yaitu kerja sama terbatas untuk pembiayaan infrastruktur.
Seiring dengan semangat pemanfaatan BMN yang lebih baik melalui perubahan regulasi tersebut, Kementerian Keuangan sebagai Pengelola Barang mengupayakan transformasi paradigma pengelolaan aset dari yang semula bersifat asset administrator menjadi asset manager melalui kebijakan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020, pemanfaatan BMN merupakan pendayagunaan aset negara yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan
Perbaikan pemanfaatan BMN yang saat ini diberlakukan adalah terkait perbaikan tata kelola dan simplifikasi pemanfaatan BMN. Regulasi ini mengatur secara lebih tegas dan detail mengenai Tata Kelola Pemanfaatan BMN, sehingga tujuannya tidak lagi terjadi penafsiran ganda dan keraguan bagi K/L dalam mengelola BMN yang dikuasakan.
Dengan adanya penyempurnaan aturan terkait pemanfaatan BMN, akan mendorong peningkatan kesadaran Kementerian/Lembaga selaku pengguna BMN untuk senantiasa mengelola BMN dengan sebaik-baiknya serta mengoptimalkan pemanfaatan BMN idle yang dikuasainya demi meningkatkan PNBP.
Di sisi lain, counterpart terkait yaitu: Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, BUMN, BUMD, BLU, Perseroan Terbatas, Badan Hukum, Koperasi, Swasta dan masyarakatpun juga dapat mempunyai akses untuk menyumbang PNBP dalam kerangka pemanfaatan BMN tersebut dan jangan biarkan aset negara kita tertidur dan tidak menghasilkan manfaat, termasuk pada masa pandemi.
Sedangkan simplifikasi yang dilakukan adalah adanya penggabungan dan penyempurnaan tiga aturan terkait pengelolaan BMN sebelumnya, yaitu PMK 78/2014, PMK 164/2014, dan PMK 57/2016 (meringkas total 313 Pasal 44 Bab menjadi total 107 Pasal 10 Bab).
Skema pemanfaatan BMN yang baru diatur yaitu Skema Kerja Sama Terbatas untuk Pembiayaan Infrastruktur (KETUPI). Sedangkan skema Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG), dan Kerja Sama Pemanfaatan Penyediaan Infrastruktur (KSPI) secara lebih lanjut disempurnakan.
Pemanfaatan BMN guna penanganan kondisi bencana alam, non-alam, dan bencana sosial dengan cepat dan tepat juga telah diatur dalam regulasi ini.
Epilog
Semua subtansi tersebut diharapkan akan sangat mendukung penggunaan BMN dalam paradigma asset manager yang mampu mengelola BMN yang dimiliki Pemerintah secara tepat sasaran, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, terciptnya value added antara lain melalui cost saving, dan tentunya diharapkan juga membantu optimasi penerimaan negara dalam bentuk kontribusi kepada PNBP.
0 Comments