
Insiden peledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, pada Jumat (detiknews.com, 7/11) lalu, bukan sekadar tragedi yang menyisakan luka fisik bagi 96 korban—sebagian besar siswa—tetapi juga luka dalam bagi kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan.
Ledakan yang terjadi dua kali di area masjid dan kantin sekolah
selama salat Jumat itu, yang diduga dilakukan oleh seorang siswa berusia 17 tahun, mengungkapkan lapisan-lapisan kegagalan sistemik, dari bullying yang berlarut-larut, ekspresi kemarahan yang tak terkendali, hingga jejak akses ke dark web yang menyuguhkan
konten gore atau ekstrem dan panduan pembuatan peledak.
Meski polisi menyatakan tidak ada kaitan dengan kelompok terorisme terorganisir, aksi ini dengan gamblang menunjukkan wajah ekstremisme individu yang lahir dari radikalisasi digital, sebuah ancaman yang tak lagi bisa diabaikan di era hiperkonektivitas ini.
Radikalisasi digital adalah proses di mana seseorang, khususnya remaja dan pemuda, mengalami perubahan sikap, keyakinan, atau perilaku ekstrem melalui paparan konten online yang sistematis, persuasif, dan kerap kali tersembunyi.
Berbeda dengan radikalisasi konvensional yang bergantung pada pertemuan fisik (masjid, pengajian, atau kelompok bawah tanah), radikalisasi digital terjadi sepenuhnya atau sebagian besar di dunia maya, melalui platform media sosial, situs web, forum tertutup, hingga dark web.
Proses ini tidak selalu berujung pada terorisme terorganisir, tetapi bisa menghasilkan aksi ekstrem individu (lone actor/lone wolf), seperti yang diduga terjadi pada insiden peledakan di SMAN 72 Jakarta.
Insiden SMAN 72 adalah bukti nyata bahwa seorang remaja bisa bertransformasi dari korban bullying menjadi pelaku teror hanya dalam hitungan bulan, didorong oleh algoritma digital, anonimitas, dan luka emosional.
Alarm merah
Dunia pendidikan, sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter generasi muda, tak bisa lagi bersikap reaktif. Insiden SMAN 72 adalah alarm merah yang menuntut transformasi mendalam, bukan sekadar tambalan sementara seperti pendampingan psikologis pasca-tragedi.
- Pertama, sekolah harus memperkuat mekanisme pencegahan bullying melalui program anti-perundungan yang wajib dan terintegrasi, melibatkan guru, orang tua, dan siswa dalam dialog rutin. Bukan hanya sanksi bagi pelaku, tapi juga rehabilitasi bagi korban, agar kemarahan tak berujung pada balas dendam destruktif seperti yang diduga menjadi motif pelaku ini.
Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan, kasus kekerasan di lingkungan sekolah melonjak dari 285 kasus pada 2023 menjadi 573 kasus sepanjang 2024, dengan 80% terjadi di satuan pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Kenaikan ini—lebih dari 100 persen—menjadi pintu masuk bagi ekstremisme emosional, di mana korban bullying sering mengalami viktimisasi berulang: pertama saat dirundung, kedua saat mencari pertolongan tapi diabaikan.
- Kedua, kurikulum pendidikan harus segera direvisi untuk memasukkan literasi digital dan radikalisasi sebagai mata pelajaran wajib, setidaknya dua jam per minggu mulai dari tingkat SMP.
Siswa perlu diajarkan bagaimana mengenali jebakan dark web, konten ekstremis di media sosial, dan cara melaporkan konten berbahaya—seperti yang dilakukan pelaku SMAN 72 yang kerap mengakses situs gelap.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, sepanjang 2024 terdapat 180.954 konten digital bermuatan radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme yang menyebar secara masif, dengan remaja sebagai sasaran utama karena kerentanan psikologis mereka di masa transisi identitas.
Kajian BNPT Outlook 2023 menyoroti bagaimana radikalisasi online membuka jalan bagi aksi “lone wolf”, di mana individu seperti pelaku SMAN 72 terpapar narasi kekerasan melalui platform seperti TikTok dan Instagram.
Aksi kolaboratif
Kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta platform digital seperti TikTok dan Instagram diperlukan agar bisa membentuk “tim pengawas sekolah” yang memantau tren radikalisasi online.
Ini bukan sensor, melainkan pendidikan preventif yang membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis, agar mereka tak tergoda oleh narasi kekerasan yang disamarkan sebagai “pembalasan adil”.
- Ketiga, pelatihan guru dan konselor sekolah harus ditingkatkan untuk mendeteksi tanda-tanda dini ekstremisme, seperti isolasi sosial, perubahan perilaku mendadak, atau ketertarikan berlebih pada konten kekerasan. Guru bukan lagi hanya pengajar mata pelajaran, tapi juga “detektor sosial”.
Selain itu, keterlibatan orang tua tak boleh diabaikan; workshop bulanan tentang parenting di era digital harus menjadi agenda sekolah, mengingatkan bahwa hubungan orang tua-anak yang rapuh sering menjadi celah bagi radikalisasi eksternal.
Strategi ini selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Ekstremisme Berbasis Kekerasan, yang menekankan pilar pencegahan melalui kesiapsiagaan sekolah, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi.
Pemerintah, melalui Kemendikdasmen, berutang pada publik untuk segera membentuk satgas nasional pencegahan ekstremisme di sekolah, dengan anggaran khusus yang tak boleh tergerus oleh prioritas lain.
Meski sudah terdapat Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satuan Tugas) di sekolah, ekstremisme belum menjadi perhatian tersendiri.
TPPK Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan lebih berfokus pada upaya mencegah dan menangani tindakan kekerasan (fisik) dan seksual yang terjadi di kalangan siswa.
Pemerintah sudah tepat dengan menyebut insiden ini sebagai “alarm bagi Kemendikdasmen”. Meski demikian, alarm itu harus diikuti sirene aksi konkret, semisal audit keamanan sekolah nasional, integrasi AI untuk pemantauan konten siswa (dengan privasi terjaga), dan kampanye nasional “Sekolah Aman dari Ekstremisme”.
Tanpa langkah ini, sekolah bukan lagi tempat aman, tapi ladang subur bagi bibit teror yang tumbuh dari luka tak terobati.
Insiden SMAN 72 mengajarkan kita bahwa ekstremisme tak selalu datang dari luar pagar sekolah. Ia dapat lahir dari dalam, dari bullying yang diabaikan dan dunia maya yang tak terawasi.
Dunia pendidikan punya tanggung jawab moral untuk memitigasi dan mengantisipasi, agar ledakan selanjutnya bukan lagi “kejadian serupa”, tapi mimpi buruk yang tak pernah terulang.














0 Comments