Membangun Aliansi Antariman untuk Kelestarian Bumi

by | Oct 7, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Image result for climate change

Bagi miliaran umat manusia, agama adalah mata air nilai moral dan spiritual. Agama tetap dipercaya menjadi sumber moralitas dan spiritualitas yang mampu memberi daya gerak kolektif karena memiliki tawaran kerangka etis di dalamnya.

Namun demikian, di mana peran umat beragama saat krisis iklim mengguncang sendi-sendi dasar kehidupan di bumi? 

Apakah agama tidak berkaitan dengan menjaga bumi?

Sebelum sampai pada jawabannya, pertanyaan tersebut sudah harus mendapat tambahan realitas getir yang kerap disuarakan, bahwa fokus agama seharusnya pada ranah spiritual saja, bukan cawe-cawe masalah duniawi seperti lingkungan dan perubahan iklim. 

Argumentasi ini berlandaskan anggapan bahwa krisis iklim adalah masalah ilmiah, ekonomi, dan politik yang lebih cocok ditangani oleh ilmuwan atau pemerintah, bukan komunitas agama.

Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa agama tidak hanya berbicara tentang akhirat, tetapi juga tentang bagaimana menjalani kehidupan di dunia dengan penuh tanggung jawab sebagaimana ditunjukkan oleh alasan-alasan berikut.

  1. Pertama, bumi dipandang sebagai amanah ilahi. Dalam banyak tradisi agama, bumi dipandang sebagai titipan suci yang harus dijaga.
  • Dalam Islam, konsep khalifah menegaskan bahwa manusia adalah penjaga bumi yang bertugas memelihara alam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Surah Al-A’raf ayat 56. 
  • Sementara itu, dalam tradisi Kristen, Kitab Kejadian 2:15 memerintahkan manusia untuk mengolah dan memelihara taman Eden, simbol bumi yang harmonis.
  • Di sisi lain, Hindu menganggap alam sebagai manifestasi keilahian, dan
  • Buddha menekankan keseimbangan dan saling ketergantungan dengan alam.

Krisis iklim, yang ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali dan meninggalkan kerusakan yang brutal, jelas bertentangan dengan amanah ini. Oleh karenanya, umat beragama didesak untuk menjadi penatalayan yang bertanggung jawab, bukan malah menjadi perusak. 

Suara penolakan

Meski demikian, beberapa tokoh seperti mendiang pendeta John MacArthur dari Grace Community Church di Sun Valley, California, Amerika Serikat menyatakan bahwa isu lingkungan adalah “gangguan” dari misi utama gereja, yakni penyebaran injil dan keselamatan jiwa.

MacArthur dan tokoh lainnya berargumen bahwa krisis iklim adalah masalah ilmiah dan politik yang lebih sesuai ditangani oleh ilmuwan atau otoritas pemerintah.

Pandangan ini sering kali didukung oleh interpretasi teologis yang menekankan dominasi manusia atas alam berdasarkan Kitab Kejadian 1:28 (“berkuasalah atas bumi”). Mereka yang sependapat lantas menafsirkannya sebagai izin untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas peduli.

MacArthur seide dengan Bjorn Lomborg yang dikenal dengan skeptisisme lingkungannya. Dengan penuh keyakinan, mantan aktivis Greenpeace ini lantang bersuara bahwa berbagai upaya penanganan dan respons terhadap krisis iklim telah salah jalur dan sangat berlebihan.

Mengatasi hal tersebut, ia mengusulkan perlunya inovasi yang efisien dan tekanan yang fundamental untuk membela keadilan sosial.

2. Kedua, tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang. Agama menekankan pentingnya memikirkan warisan bagi generasi mendatang.

Dalam tradisi Jawa, pepatah “anak putu titipane Gusti” (anak cucu titipan Tuhan) mengingatkan bahwa anak-anak adalah titipan Tuhan yang harus dilindungi. Krisis iklim mengancam masa depan generasi berikutnya dengan bencana alam yang semakin parah dan sumber daya yang drastis berkurang.    

Kita ingat Johan Rockstrom, ahli keberlanjutan dari Stockholm Resilience Centre, yang memperingatkan bahwa sesungguhnya manusia berada pada titik kritis planet bumi.

Tindakan bersama saat ini terhadap bumi akan sangat menentukan apakah generasi mendatang masih dapat hidup di bumi dalam kondisi layak huni. Jika umat beragama gagal bertindak, misalnya dengan mengurangi jejak karbon atau mendukung energi terbarukan, maka sepatutnya mereka turut bertanggung jawab atas penderitaan generasi yang akan datang.

3. Ketiga, panggilan untuk introspeksi dan mengedepankan gaya hidup sederhana.

Krisis iklim merupakan panggilan untuk introspeksi dengan fakta bahwa banyak ajaran agama mengajarkan pentingnya pengendalian hawa nafsu dan hidup sederhana. Dalam lingkup ini, gaya hidup konsumeristik berlebihan yang mendorong deforestasi dan polusi pada hakekatnya bertentangan dengan ajaran kesederhanaan dalam agama. 

Dalam tradisi Buddha, keinginan tak terkendali dianggap sebagai akar penderitaan, sementara dalam Kristen keserakahan dianggap sebagai dosa. Dengan mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan, misalnya dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai atau memilih transportasi berkelanjutan, umat beragama dapat mempraktikkan nilai-nilai spiritual ini.

4. Keempat, solidaritas dengan ciptaan lain. Agama tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, tetapi juga dengan alam semesta.

Dalam tradisi Hindu, alam adalah wujud keilahian, sehingga merusaknya sama dengan melukai Sang Pencipta. Konsep ini sejalan dengan khazanah pemikiran Islam tentang wahdatul wujud (kesatuan wujud) oleh Ibnu Arabi yang melihat bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta pada hakikatnya adalah manifestasi dari wujud Allah.

Krisis iklim telah menyebabkan kepunahan spesies, kerusakan terumbu karang, hilangnya hutan, dan mengancam keberagaman ciptaan. Umat beragama perlu menunjukkan solidaritas dengan ciptaan Tuhan lainnya dengan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari ekosistem yang saling terhubung dan, karenanya, turut merasakan.

Agen perubahan atau mitra ekonomi?       

Dalam menghadapi krisis iklim, agama memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan yang menggerakkan transformasi moral dan sosial, sekaligus mitra ekonomi yang mendukung solusi praktis.

Sebagai agen perubahan, ajaran agama dapat memobilisasi jutaan umat melalui nilai-nilai seperti keadilan dan kasih sebagaimana ditekankan oleh tokoh seperti Paus Fransiskus atau Imam Besar Masjid Istiqlal. 

Sebaliknya, sebagai mitra ekonomi, agama dapat mendukung inovasi yang efisien,
seperti yang diusulkan oleh Bjorn Lomborg, tanpa kehilangan fokus pada keadilan sosial.
Tantangan dari pandangan skeptis memberi kesadaran baru yang mengingatkan kita untuk menyeimbangkan idealisme moral dengan pragmatisme ekonomi. 

Dengan menggabungkan kedua peran ini, idealnya, agama mampu mewujudkan cita-cita Bunda Teresa lewat pernyataan visionernya di Kolkata: “kita tidak perlu melakukan hal-hal besar, tetapi hal-hal kecil dengan cinta yang besar.”

Melalui cinta untuk bumi, agama dapat menjadi kekuatan transformatif dalam menyelamatkan planet bumi. Kita dapat mengidentifikasi kecenderungan ini sebagai keadilan dan cinta kasih yang merupakan alasan kelima. 

Kesadaran dan kepedulian terhadap krisis iklim perlu diwujudkan dalam aksi nyata, terukur, dan berdaya gerak. Komunitas agama dapat mengedukasi umat tentang dampak perubahan iklim, mengadakan aksi penghijauan, dan mendukung kebijakan ramah lingkungan.

Di Indonesia, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah memulai inisiatif lingkungan, seperti program “Masjid Hijau”, Pesantren Ramah Lingkungan, Wakaf Hutan, atau penanaman pohon massal, dan inisiatif lainnya. 

Kita harus meyakini, rumah ibadah seperti gereja, pura, dan vihara juga mampu menjadi pusat gerakan lingkungan dengan mempromosikan energi terbarukan atau mengurangi limbah.

Di samping itu, forum antaragama juga dapat melengkapi gerakan bersama dalam menyuarakan perlindungan lingkungan kepada pembuat kebijakan.

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post