
Ada satu hal yang selalu membuat saya tersenyum setiap menaiki kereta api Bengawan. Aroma nostalgia kerap muncul saat saya duduk di kursi tegak 90 derajat itu. Rasanya seperti kembali ke masa kecil. Disaat kereta api masih panas, sumpek, dan penuh dengan suara pedagang asongan yang menjajakan dagangan di lorong gerbong kereta.
Kini, keretanya jelas sudah lebih baik. Namun, vibe kereta ekonomi itu masih tetap hidup. Hangat, ramai, dan apa adanya.
Sebagai komuter mingguan yang rutin pergi-pulang Jakarta-Jogja,
demi menunaikan tugas sebagai mahasiswa sekaligus seorang Ayah, Bengawan kini menjelma sebagai teman perjalanan andalan. Harga tiket yang ramah di kantong, membuat jarak 576 km bukan lagi menjadi sesuatu yang ditakuti.
Jujur saja, bagi bapak-bapak pegawai negeri yang uang kuliahnya bukan dari sponsor LPDP, kalau harus naik kereta api kelas atas setiap minggu, mungkin kantong saya sudah tumbang duluan sebelum ujian metode penelitian dimulai.
Tentu, ada harga fisik dan kenyamanan yang harus dibayar: rasa pegal di kursi tegak, legroom yang saling beradu lutut, serta keriuhan yang kadang membuat istirahat di perjalanan menjadi suatu yang mustahil.
Laboratorium Sosial di Atas Rel
Namun, jauh melampaui sekadar nostalgia atau mengutuki kesederhanaan fasilitas, saya mencoba menikmati perjalanan ini seperti sedang meneliti di dalam laboratorium sosial yang bergerak di atas rel.
Jika di gerbong kereta eksekutif, penumpangnya cenderung homogen, semisal pekerja profesional, kelas menengah ke atas. Di gerbong kereta ekonomi PSO (Public Service Obligation) inilah tercermin wajah Indonesia yang beragam.
Di sini kita akan menemukan mahasiswa yang sedang berhemat, pekerja pabrik yang pulang kampung, pedagang yang membawa barang kulakan dari pasar grosir, keluarga kecil yang sedang menikmati liburan hemat, hingga seorang kakek/nenek yang sedang dalam perjalanan mengunjungi cucunya.
Dalam satu gerbong, terjadi pertemuan lintas profesi, lintas usia, dan lintas status ekonomi. Ini adalah salah satu dari sedikit ruang publik yang tersisa di mana berbagai irisan masyarakat benar-benar “dipaksa” untuk berbaur dalam waktu yang lama.
Desain fisik kereta ekonomi ini mendesak kita untuk tepo sliro (tenggang rasa). Kursi yang berdempetan, ruang kaki yang berhadapan, dan keramaian di dalam gerbong adalah ujian kepekaan. Sebuah latihan sosial yang tidak diajarkan di ruang kuliah mana pun.
Di kereta ini, kita belajar mengatur tubuh agar tidak menyikut tetangga, meluruskan kaki tanpa menendang penumpang di depan, hingga menahan volume suara agar tak mengganggu penumpang lain. Aktivitas berbagi ruang bagasi pun seringkali menjadi proyek gotong-royong kecil di dalam gerbong.
Bahkan, seni “basa-basi” klasik pun masih hidup di sini. Dengan cara menawarkan bekal makanan, atau melontarkan pertanyaan standar, seperti:
“Turun di mana, Mas?”,
“Lagi nengok keluarga, Pak?”,
“Di Jogja, kerja dimana Mas?”
Di Bengawan, hal-hal semacam itu adalah etika tak tertulis yang dapat meruntuhkan sekat-sekat ekonomi dan sosial.
Pernah suatu kali, lutut saya beradu dengan Pak Tedjo, seorang buruh asal Purwokerto yang bekerja di Solo. Alih-alih marah, ia malah menyodorkan bungkusan tahu goreng hangat.
“Monggo, Mas, diganjal perutnya,” katanya tulus.
Di momen sederhana itu, sekat antara saya, si PNS yang sedang tugas belajar, dan beliau runtuh seketika. Kami bukan lagi dua orang asing dengan status sosial berbeda. Kami hanyalah dua bapak-bapak yang sama-sama sedang berjuang menembus jarak demi keluarga di rumah.
Di kereta ini, seolah ada pemahaman kolektif bahwa, dengan memilih opsi perjalanan yang terjangkau, kenyamanan mewah dalam perjalanan bukanlah tujuan. Tujuannya adalah sampai dengan selamat dan hemat.
Pemahaman ini menciptakan toleransi tingkat tinggi antar sesama penumpang. Toleransi terhadap bayi yang menangis, toleransi terhadap orang yang sering ke toilet, toleransi terhadap penggunaan colokan listrik, dan toleransi terhadap semua kondisi yang ada.
PSO: Nadi Penyambung Asa
Saya mencoba menyelami lebih dalam lagi, toleransi tinggi ini bukan muncul tanpa sebab. Ternyata, ada campur tangan negara yang bekerja, melalui kebijakan PSO-nya. Sehingga perjalanan ini dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat.
PSO (Public Service Obligation) adalah skema subsidi pemerintah
untuk memastikan layanan publik tertentu tetap terjangkau masyarakat,
termasuk layanan kereta api ekonomi seperti Bengawan. Sederhananya, PSO adalah cara negara “mentraktir” rakyatnya. Sebuah skema subsidi di mana pemerintah ikut patungan
membayar selisih biaya operasional kereta api, agar harga tiket tetap
murah dan stabil, tidak mengikuti hukum pasar.
Dalam siaran pers-nya di tanggal 13 November 2025 lalu, KAI mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025, layanan PSO telah mengangkut lebih dari 14,5 juta pelanggan. Angka ini naik hampir 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ujar Vice President Public Relations KAI Anne Purba.
Dengan uang senilai 74 ribu rupiah, rute Jakarta-Solo bisa dinikmati oleh siapa saja. Tak ayal, tingkat okupansi kereta ini nyaris 100%. Tingginya demand terhadap kereta Bengawan, menjadi sebuah kode keras bahwa masih banyak masyarakat yang sangat bergantung pada transportasi murah.
Coba bayangkan jika subsidi kereta api ini dicabut. Perjalanan Jogja-Jakarta harus ditempuh dengan kereta api komersial yang harga tiketnya 3 sampai 8 kali lipat lebih mahal.
Bagi seseorang dengan gaji UMK di Yogyakarta atau Solo yang berkisar Rp 2 jutaan, membeli tiket eksekutif seharga Rp 500.000 berarti memangkas 25% gajinya hanya untuk satu kali jalan. Tapi dengan Bengawan, ia hanya menggunakan 3% gajinya. Hal ini bukan sekadar angka, tetapi seperti soal matematika 3.000.000 : 30, yang terjadi di kehidupan ekonomi.
Epilog: Refleksi dari Kursi Tegak
Meskipun, di era digital seperti sekarang ini, kita bisa mengunjungi berbagai tempat dan berbagai keperluan melalui layar gadget, namun untuk menjalani kehidupan yang benar-benar hidup, kita perlu mengunjungi tempat tersebut secara langsung.
Dan seringkali mobilitas fisik masih menjadi syarat utama untuk melakukan mobilitas sosial. Untuk mengubah nasib, kita perlu bergerak. Melangkahkan kaki dan menggerakan badan kita ke tempat bekerja, tempat berusaha, atau sekolah.
Oleh karena itu, untuk menunjang mobilitas fisik masyarakat serta mewujudkan keadilan sosial, pemerintah perlu menyediakan transportasi murah yang terjangkau bagi semua kalangan.
Tanpa transportasi yang terjangkau, bagaimana seorang anak desa bisa kuliah di kota besar? Bagaimana seorang pedagang kecil bisa mengakses pasar yang lebih luas? Bagaimana seorang ayah bisa tetap bekerja di ibu kota sambil tetap menjadi ayah bagi anak-anaknya di kampung halaman?
Maka, subsidi kereta api melalui PSO ini bukan hanya sebatas “bakar uang”. Ia adalah investasi negara untuk pengembangan SDM, perputaran ekonomi mikro, dan kohesi sosial. Subsidi di kereta ekonomi ini menjadi instrumen negara untuk memastikan bahwa mobilitas tidak hanya dimiliki mereka yang sanggup bayar, tetapi menjadi hak bagi semua warga.
Menyadari hal ini, saya pun tersenyum kecil di kursi tegak saya. Di tengah riuh rendah kebijakan pemerintah, ternyata ada satu hal yang patut kita apresiasi. Melalui Bengawan yang tiketnya seharga dua porsi makan siang di Jakarta, negara hadir untuk rakyat kecil.
Selanjutnya, tugas kita adalah memastikan kebijakan seperti ini tidak hilang tergerus efisiensi anggaran. Karena bagi rakyat, ini bukan efisiensi keuangan negara, ini soal denyut kehidupan mereka.
Kereta api seperti Bengawan dan kereta api ekonomi PSO lainnya, bukan sekadar “transportasi murah”. Jika kereta subsidi ini tiada, perjalanan akan kembali menjadi kemewahan, bukan hak. Dan ribuan mahasiswa seperti saya, pedagang kecil, dan keluarga yang terpisah jarak, akan kehilangan urat nadi penyambung asa mereka.














0 Comments