Membaca Arah Kebijakan Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi Umum

by | Jul 5, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pembicaraan tentang pendidikan agama di Perguruan Tinggi Umum (PTU) sering kali luput menjadi bahasan, tertutup oleh tema teknologi, sains, dan riset. Perguruan Tinggi Umum (PTU), sebagai pusat pengembangan intelektual, cenderung berfokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Perbincangan tentang pendidikan agama di PTU kerap diabaikan, padahal pendidikan agama pada PTU jelas membawa misi besar dan strategis. 

Pendidikan agama di PTU tertuju pada sekitar
3.115 perguruan tinggi umum di Indonesia, dengan jumlah keseluruhan mahasiswa pada pada tahun 2022 adalah 7,37 juta orang (data Badan Pusat Statistik tahun 2022). 

Pendidikan agama pada PTU turut menjadi tumpuan terbentuknya moralitas bangsa. Oleh karenanya, tanpa pendidikan agama yang memadai, mahasiswa berisiko kehilangan arah moral di tengah tekanan globalisasi, disrupsi teknologi, dan perubahan sosial yang cepat. 

Pendidikan agama di perguruan tinggi umum (PTU) merupakan mata kuliah wajib yang bertujuan membentuk karakter, moral, dan keimanan mahasiswa sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Pendidikan agama dan pembentukan karakter

Pendidikan agama, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 55 Tahun 2007, bertujuan membentuk karakter, menanamkan nilai-nilai keimanan, dan membimbing mahasiswa untuk mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan begitu, pendidikan agama di PTU bukan sekadar mata kuliah wajib, tetapi juga sarana untuk membangun identitas kebangsaan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan keberagaman. 

Sampai di sini, pendidikan agama dicita-citrakan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap upaya pembentukan karakter mahasiswa yang beriman, bertakwa, berkebangsaan, dan berwawasan moderat. 

Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, pendidikan agama di Perguruan Tinggi Umum setidaknya menghadapi tiga masalah utama, yakni: 

  • jumlah Satuan Kredit Semester (SKS), 
  • variasi nomenklatur mata kuliah, dan 
  • karir dosen pendidikan agama.     

Dengan fungsi dan tujuan akhirnya yang strategis, idealitas peran dan fungsi pendidikan agama nyatanya kurang mendapat dukungan yang memadai. 

Pada dasarnya pendidikan agama hanya mendapatkan jatah 2 hingga 3 SKS. Alokasi 2 SKS, sekitar 23-27 jam per semester, kerap kali dinilai tidak memadai untuk mencapai tujuan pendidikan agama, yaitu membentuk mahasiswa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. 

Azyumardi Azra dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1998) menegaskan bahwa pendidikan agama harus didesain secara holistik. 

Nilai holistik pendidikan agama dibangun dari upaya mengintegrasikan ilmu agama dengan isu-isu modern seperti lingkungan hidup, perubahan iklim, etika teknologi, dan keadilan sosial. Azra menggarisbawahi bahwa pendidikan agama perlu memiliki kompatibilitas dengan isu kekinian.   

Hanya 2 SKS untuk Internalisasi Nilai-nilai Keimanan

Di ranah Perguruan Tinggi Umum (PTU), mata kuliah agama sering kali mendapat prioritas lebih rendah dibandingkan mata kuliah keilmuan utama, seperti teknik, kedokteran, atau ekonomi. 

Mahasiswa dan pengelola PTU cenderung memandang pendidikan agama sebagai pelengkap semata, bukan bagian dari inti kurikulum. 

Hal ini menciptakan dilema dan paradoks karena waktu 2 SKS bisa jadi bagi sebagian pihak dianggap memadai secara administratif, tetapi pada kenyataannya tidak cukup untuk menginternalisasi nilai-nilai keimanan. 

Pendidikan agama diharapkan memiliki peran signifikan dalam penanaman nilai keimanan dan ketakwaan namun tidak diberi kesempatan yang memadai dalam upaya akselerasinya. 

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus membentuk jiwa yang merdeka dan bermoral. Sayangnya, keterbatasan waktu membuat apa yang diimpikan Bapak Pendidikan Indonesia ini masih berupa angan-angan. 

Dengan waktu yang terbatas, dosen sulit membahas topik-topik kontekstual secara mendalam, apalagi melibatkan mahasiswa dalam diskusi kritis atau proyek sosial. 

Akibatnya, pendidikan agama sering hanya terfokus pada aspek teoritis, seperti hafalan ayat atau fiqih ibadah (dalam konteks Pendidikan Agama Islam) yang kurang relevan dengan kebutuhan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. 

Pendidikan agama masih berada di batas kenyataan bahwa keberadaannya dibutuhkan hanya untuk kelulusan tapi tidak untuk benar-benar membentuk karakter beragama. Singkat kata, mahasiswa menganggap mata kuliah agama hanya sebagai syarat kelulusan. Ini masalah pertama yang dihadapi. 

Menghadapi masalah ini, solusi yang dapat ditawarkan di antaranya adalah penambahan waktu mengajar secara mandiri. 

Meskipun 2 SKS adalah standar waktu pengajaran yang telah diatur oleh regulasi terkait, PTU dapat mempertimbangkan penambahan waktu melalui kegiatan wajib terstruktur, seperti seminar keagamaan atau proyek sosial untuk memperdalam pemahaman keagamaan dalam diri mahasiswa. 

Selain itu, PTU dapat mengembangkan komunitas keagamaan, diskusi antaragama, atau kegiatan sosial berbasis nilai agama untuk melengkapi pembelajaran tatap muka. 

Jauh hari filosof pendidikan John Dewey dalam Democracy and Education (1916) menegaskan bahwa pendidikan moral membutuhkan lingkungan belajar yang kondusif. 

Ia pun menekankan bahwa pendidikan moral harus melibatkan pengalaman belajar yang aktif yang memerlukan waktu lebih dari sekadar tatap muka standar.

Nomenklatur mata kuliah

Masalah kedua terkait dengan banyaknya nomenklatur penamaan mata kuliah pendidikan agama. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam, misalnya, ketidakseragaman nomenklatur ini dapat dicontohkan dalam beberapa penamaan di berbagai kampus berbeda, seperti 

  • “Pendidikan Agama Islam”, 
  • “Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti”, atau 
  • “Islam dan Kehidupan Beragama”. 

Pilihan seperti ini menyebabkan kebingungan dalam interpretasi dan implementasi Pendidikan Agama Islam di lingkup Perguruan Tinggi Umum. 

Era otonomi kampus memang memberi kebebasan ke arah itu, namun demikian diperlukan mitigasi dan antisipasi lebih lanjut mengenai dampaknya yang dapat menyebabkan keragaman dalam capaian pembelajaran karena terdapat perbedaan dalam capaian pembelajaran (CPL). 

Ditambah dengan perbedaan konten mata kuliah antar-PTU, perbedaan nomenklatur ini berpotensi memengaruhi kualitas dan relevansi pembelajaran. 

Dampak lain dari perbedaan ini adalah relevansi konten dengan isu kontemporer. Beberapa kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan pada PTU belum sepenuhnya responsif terhadap isu-isu kontemporer, seperti moderasi beragama, bela negara, teknologi, dan isu perubahan iklim. 

Inkompatibilitas dengan moderasi beragama cukup disayangkan, karena pada dasarnya pemerintah telah mengesahkan regulasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama yang dapat dijadikan payung bersama dalam menggagas kehidupan beragama yang penuh damai.    

Beleid ini sangat penting dalam konteks upaya memperkuat pemahaman dan praktik keagamaan yang adil, seimbang, menjunjung tinggi kemanusiaan, serta mencegah ekstremisme dalam beragama. 

Belum terkoneksi secara utuh dengan regulasi ini  menyebabkan kurang adanya relevansi konten kurikulum PAI pada PTU. 

Tantangan Dunia Nyata: Polarisasi Sosial, Intoleransi, dan Radikalisme

Lebih dari itu, kontekstualisasi pendidikan agama dalam ruang berbangsa dan bernegara yang belum terjadi menyebabkan mahasiswa kurang terlatih dalam menghadapi tantangan kebangsaan di dunia nyata, seperti polarisasi sosial dan keagamaan, serta isu intoleransi dan radikalisme. 

Pendidikan agama, sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, merupakan ranah yang dikelola oleh Kementerian Agama. 

Sementara itu, secara kelembagaan, Perguruan Tinggi Umum (PTU) berada dalam kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang relatif merupakan kementerian baru. 

Dibutuhkan sinergi dan kolaborasi kedua institusi ini agar upaya akselerasi pendidikan agama pada PTU dapat diharapkan dan diterapkan dengan tepat, di samping upaya mitigasi dan tantangan lainnya dapat terdeteksi sejak awal.       

Terkait Karir Dosen Pendidikan Agama

Ketiga, terkait dengan karir dosen pendidikan agama. Jumlah jam mengajar pendidikan agama Islam di PTU, yang terbatas pada 2 SKS, berdampak signifikan pada peningkatan jenjang karier dosen. 

Secara umum, masalah yang menghambat karir dosen di antaranya adalah beban mengajar yang padat, keterbatasan waktu untuk Tri Dharma, dan minimnya dukungan institusi. Kondisi ini efektif menghambat dosen untuk mencapai angka kredit dalam upaya promosi ke jenjang seperti Lektor atau Profesor. 

Dalam konteks kurikulum, perbedaan nomenklatur ini juga berpengaruh terhadap keterbatasan implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan atau Kampus Berdampak oleh Kemendiktisaintek. 

Dalam MBKM, fleksibilitas kurikulum memungkinkan PTU mengembangkan PAI sesuai kebutuhan lokal. Namun begitu, tanpa pedoman yang jelas, nilai kebangsaan kadang terabaikan. 

Kegiatan di luar kampus (misalnya, magang atau pertukaran mahasiswa) belum selalu terintegrasi dengan pembelajaran PAI yang menguatkan identitas nasional. 

Ekspektasi pada Kampus Berdampak

Kini, dengan diluncurkannya Kampus Berdampak yang menandai era baru perguruan tinggi, peluang tersebut terbuka lebar dengan tekanan bahwa pemerintah ingin menjadikan kampus lebih berdaya dan berdampak langsung kepada masyarakat, dunia industri dan usaha, serta mendukung ekosistem riset dan inovasi untuk pembangunan nasional.

Pengelolaan pendidikan agama di PTU dapat menimbang apa yang telah dijalankan dalam Kementerian Agama dengan program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP). 

Program PKDP bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dosen pemula di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) agar dapat menjalankan tridharma perguruan tinggi dengan baik, terutama dalam hal kurikulum, pembelajaran, pedagogik, dan moderasi beragama. 

Ketiga masalah tersebut seyogianya dapat menjadi perhatian para pemangku kepentingan agar luaran (output) pendidikan agama memiliki peran strategis dalam membentuk generasi muda yang berintegritas, bermoral, dan mampu menghadapi tantangan zaman.

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post