Melihat Politik Koridor Ekonomi Bekerja

by Saiful Maarif ♣️ Expert Writer | Apr 21, 2025 | Politik | 0 comments

person holding gray metal framed desk globe paper weight

 

Terdapat teori klasik bahwa siapa yang menguasai lautan akan menguasai dunia. Teori Sea Power yang diusung Alfred Thayer Mahan tersebut sepertinya masih sangat signifikan dengan kondisi geopolitik saat ini.

Wacana dan pembangunan infrastruktur global,
yang banyak di antaranya terkait dengan pelabuhan atau laut, diluncurkan oleh
negara adidaya dan beberapa negara di beberapa kawasan. 

Langkah pembangunan masif ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan politik koridor ekonomi di seluruh dunia, khususnya di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.

Dalam konstelasi ini, peran Amerika, Tiongkok, Rusia, Turkiye, dan beberapa negara maju di Timur Tengah mengemuka. Beberapa negara ini menginisiasi berbagai wacana dan pembangunan koridor ekonomi baru di Asia dan Timur Tengah, dari Belt and Road Initiative (BRI), Development Road Project, hingga India-Middle East-Europe Economic Corridor (IMEC). 

Koridor Ekonomi: Urat Nadi Distribusi

Koridor ekonomi menempati posisi strategis dalam konteks politik karena merupakan urat nadi distribusi perekonomian di mana barang produksi disalurkan ke nagara tujuan dengan cepat, aman, dan terkendali. 

Setali tiga uang, saat pidato kemenangannya, Presiden Amerika terpilih Donald Trump dengan tegas menyatakan akan mengambil alih Terusan Panama dan mengasingkan pengaruh Tiongkok di wilayah tersebut. 

Gertakan atau tidak, pidato Trump untuk mengambil alih Terusan Panama menunjukkan tekadnya memaknai arti penting koridor ekonomi sebagai arteri perekonomian Amerika. Sebagai pengguna jalur pelayaran terbesar, Trump merasa Amerika tidak diperlakukan secara adil, dan harus membayar sangat mahal atas layanan Terusan Panama pada pemerintah setempat. 

Trump boleh saja merasa Amerika tidak diperlakukan adil, namun Ricardo Hausmann (11/3), Direktur Growth Lab di Harvard Kennedy School, menilai sebaliknya, bahwa bukan Amerika yang diperlakukan dengan tidak adil, tapi tuntutan perlakuan istimewa tidak mereka dapatkan, dan kondisi ini sangat tidak disukai Trump.  

Orasi Trump ditindaklanjuti BlackRock, sebuah perusahaan investasi raksasa Amerika yang awal tahun ini berhasil mengakuisisi dan mengendalikan CK Hutchison senilai 22,8 miliar USD. CK Hutchison memiliki otoritas untuk mengoperasikan dua terminal pelabuhan strategis di sepanjang Terusan Panama. 

Langkah Li Ka-shing, konglomerat terkaya di Hong Kong, orang yang berada di balik CK Hutchison, yang menerima tawaran BlackRock, lantas memicu amarah pimpinan Tiongkok namun menuai pujian Trump.

Akuisisi CK Hutchison oleh BlackRock adalah contoh perang pengaruh negara adidaya dalam memperebutkan koridor ekonomi dan pada praktiknya mengambil berbagai bentuknya di berbagai negara terkait.    

Belt and Road Initiative – CPEC 

Saat Belt and Road Initiative (BRI) diluncurkan pada tahun 2013, Tiongkok menandai langkah penting politik koridor ekonomi ini. Penuh percaya diri, Presden Xi Jinping menyebut langkah ini sebagai “Marshall Plan”.

Proyek yang melibatkan lebih dari 150 negara ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan komersial Tiongkok di kawasan yang mencakup dua pertiga populasi dunia. 

BRI diproyeksikan mampu meningkatkan perekonomian Tiongkok hingga 6 persen. Proyek ini mencakup jalur kereta api, darat, serta jalur laut yang pada intinya menghubungkan Tiongkok dengan dunia.

Koridor ini, yang diperkirakan mencakup lebih dari 2.600 proyek
di lebih dari 100 negara, terdiri dari enam rute utama. Salah satu rute ini
adalah proyek yang disebut Inisiatif Koridor Tengah, yang dimulai dari Turkiye dan
menjangkau hingga ke Tiongkok.

Inisiatif Koridor Tengah mencapai Georgia, Azerbaijan, dan Laut Kaspia. Melalui jalur kereta api dan darat dari Turkiye, rute ini memakai jalur penyeberangan Laut Kaspia ke Tiongkok dengan  melintasi Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgistan, dan Kazakhstan.

Di samping ambisi di jalur Tengah, Tiongkok menginisiasi jalur energi yang menghubungkan wilayah Kashgar, daerah dengan sumber energi besar, hingga Pelabuhan Gwadar di Pakistan. Dalam konteks kerja sama dengan Pakistan, Tiongkok dalam dekade terakhir dikenal memiliki proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). 

Meski mendapat gangguan serius di internal Pakistan (gerakan separatis Balochistan) dan eksternal (perlawanan Uighur di Xinjiang dan East Turkmenistan Islamic Movement -ETIM), CPEC tetap berjalan hingga kini.   

Gwadar: Jalur Penting Minyak Dunia

Terletak di Selat Hormuz, pintu masuk Teluk Persia, Gwadar merupakan jalur penting untuk sekitar 20 persen perdagangan minyak dunia. Dengan pengembangan pelabuhan ini, disebutkan bahwa Tiongkok dapat mempersingkat rute impor energinya dari Timur Tengah dengan mengurangi ketergantungan pada Selat Malaka yang rentan konflik dam perompakan.

Gwadar diestimasi mampu memotong sekitar 2.500 kilometer jarak transportasi minyak dari Teluk ke China. Sebagaimana proyeksi dan mimpi yang dibangun CPEC dan pelabuhan Gwadar, pemangkasan rute menjadi fokus beragam pembangunan infrastruktur pelabuhan dan darat lainnya.

Demikian pula yang terjadi pada proyek Development Road di Pelabuhan Grand Faw di Iraq. Tidak banyak mendapat sorotan media, Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani meresmikan (ulang) proyek Development Road (Tariq Al-Tanmiyah) di Provinsi Basra, Irak. Didanai konsorsium pemerintah Irak, Turkiye, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan. 

Development Road adalah proyek ambisius yang menghubungkan pelabuhan Grand Faw hingga Faysh Khabur di perbatasan dengan Turki dalam wujud jalur darat (rel kereta api dan jalan raya), memperpendek waktu perjalanan perdagangan antara Asia dan Eropa (dari 33 hari lewat Terusan Suez menjadi 15 hari melalui Irak). 

Hingga tahun 2028, proyek ini akan menyelesaikan tahap awal pembangunannya. Meski demikian, keraguan akan keberlanjutan proyek ini mengemuka menyusul faktor keamanan (ketidkstabilan politik, ancaman bersenjata dari berbagai kelompok, tata kelola—korupsi yang disinyalir meraja lela, dan kompetisi dengan negara tetangga–Kuwait dan Iran). 

Development Road menjadi harapan besar Irak untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak, menjadikan Irak sebagai pusat transit perdagangan Asia dan Eropa, dan menjadi proyeksi menyatu dengan program BRI kelak. 

Melalui kerangka perjanjian Oil for Reconstruction yang ditandatangani pada 2019, Tiongkok memiliki perjanjian strategis dengan Irak. Dalam kesepakatan ini, Irak membayar perusahaan Tiongkok dengan minyak mentah (sekitar 100.000 barel per hari) sebagai imbalan atas pembangunan infrastruktur.

Berawal dan fokus pada proyek sosial seperti sekolah dan rumah sakit, kerangka ini pada kelanjutannya juga mencakup proyek transportasi dan energi yang relevan dengan Development Road.

 

India and Middle East Corridor (IMEC)

IMEC diumumkan India saat berlangsung KTT G-20 di New Delhi pada September 2023 melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh pemerintah India, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Prancis, Jerman, Italia, dan Uni Eropa. 

IMEC diposisikan sebagai inisiatif strategis untuk memperkuat jaringan transportasi dan komunikasi antara berbagai wilayah tersebut. Sebagaimana CPEC dan Development Road yang menjanjikan efisiensi jalur perdagangan, IMEC menjanjikan pengurangan waktu dan biaya perdagangan hingga 40 persen dibandingkan Terusan Suez.

IMEC terdiri dari dua koridor, koridor Timur dan Utara. Dari Timur, koridor ini menghubungkan India dengan Teluk Arab (Arabian Gulf) yang dimulai dari pelabuhan di India (seperti Mundra atau Kandla di Gujarat) menuju pelabuhan di UEA (Fujairah atau Jabal Ali). 

Dari sisi Utara, koridor ini direncanakan akan menghubungkan Teluk Arab dengan Eropa. Dari UEA, jalur ini melintasi Arab Saudi (melalui Ghuwaifat dan Haradh), Yordania, dan Israel (pelabuhan Haifa), sebelum mencapai Eropa melalui pelabuhan seperti Piraeus di Yunani, Marseille di Prancis, atau pelabuhan Eropa lainnya.

Rute yang melibatkan Israel, sebelum barang dikirim ke Yunani,
menjelaskan agenda politik yang lebih besar, yakni upaya membangun dan memperkuat normalisasi hubungan Arab-Israel, tentu di bawah payung dan naungan AS. 

Dari perspektif ini, IMEC bukan hanya tentang efisiensi semata, melainkan juga upaya untuk mengikat Timur Tengah ke dalam lingkar kepentingan Barat, sekaligus mengurangi ketergantungan global pada Terusan Suez yang dikuasai Mesir. 

Mesir, dalam berbagai kesempatan, menunjukkan bahwa mereka adalah sekutu yang kadang tak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan AS. Pandangan ini juga menunjukkan anomali serius karena hubungan Arab dan Israel pada dasarnya menunjukkan pasang surut yang merefleksikan kepentingan kawasan dan kapitalistik.  

Kapitalisme Penawaran dan Permintaan

Namun demikian, tingkat keberhasilan dan kesuksesan IMEC sangat bergantung pada stabilitas politik yang rentan. Dapat dipastikan, Arab Saudi tetap ragu-ragu untuk sepenuhnya menerima Israel di tengah tekanan domestik dan dunia Islam secara global. 

Sikap Arab Saudi dapat memengaruhi pandangan dan perspektif negara lain karena pengaruh “imamah”nya. Di tengah situasi tersbut, konflik Gaza yang terus memburuk dan memakan korban bisa menggagalkan rancangan IMEC kapan saja. 

Di sisi lain, Faw dan Development Road memiliki keunggulan geografis yang sangat menarik, yakni rute darat melalui Irak ke Turki yang jauh lebih pendek dan murah dibandingkan IMEC. Meski begitu, Irak sendiri adalah titik lemah yang direpresentasikan pada pemerintahan yang rawan tercerai-berai, korupsi yang telah menjadi endemik, dan bayang-bayang kompetisi dengan Iran dan Kuwait yang membuat Faw Development Road rentan terhadap pertarungan ekonomi dan politik.

Amerika di bawah Trump secara agresif mempromosikan langkah ekspansifnya, dalam hal ini melalui traktat IMEC dan pandangannya mengenai Terusan Panama. IMEC adalah proyek yang secara gamblang menyatakan diri anti-Tiongkok dan anti-Rusia, sekaligus sarana untuk menarik Arab Saudi ke dalam orbit Barat. 

Bila berhasil, koridor ini akan mengalihkan arus perdagangan kawasan dari rute tradisional seperti Suez—dan potensial dari Faw—ke jalur yang dikendalikan sekutu AS. 

Dari proyeksi tersebut, tergambar bagaimana proses kapitalisme penawaran dan permintaan  (supply and demand capitalism) beroperasi. 

Finn Stepputat dan Peer Schouten (2019) mencatat bahwa konsep supply and chain capitalism berkaitan erat dengan bagaimana rantai pasok global tidak hanya menjadi mekanisme ekonomi, tetapi juga alat politik dan sosial yang membentuk hubungan kekuasaan, konflik, dan tata kelola di berbagai wilayah.

Stepputat dan Schouten menilai bahwa supply and demand capitalism efektif beroperasi di kawasan yang berada di “pinggiran” kapitalisme global. Dalam pandangan mereka, supply chain capitalism bukan sekadar sistem yang efektif dan efisien untuk memindahkan barang dari titik produksi ke konsumen.

Lebih dari itu, supply chain capitalism adalah juga sebuah proses yang melibatkan dinamika kekuasaan, negosiasi, dan resistensi. Stepputat dan Schouten menyoroti bahwa logistik global, yang menjadi tulang punggung kapitalisme modern, sering kali bergantung pada infrastruktur yang rapuh, tata kelola yang rentan, dan spekulasi kapital dari berbagai pihak.

Epilog: Perebutan Panggung Ekonomi

Stepputat dan Schouten mengingatkan kita semua, bahwa supply chain capitalism adalah fenomena yang paradoksal. Pada satu sisi, ia mendorong globalisasi dan akumulasi kapital sebagai prasyarat mejunya sebuah negara.

Namun demikian, di sisi lain, ia rentan terhadap gangguan lokal yang dapat menghasilkan beragam bentuk kekuasaan alternatif. Ini merupakan tantangan nyata yang harus dihadapi politik koridor ekonomi.   

Pada akhirnya, baik CPEC, Development Project, IMEC,
maupun Terusan Suez dan Panama, serta koridor ekonomi lainnya menunjukkan bahwa di era modern politik koridor ekonomi merupakan “amunisi dan senjata” geopolitik. 

Sebagai amunisi dan senjata, politik koridor ekonomi tidak bisa dipahami sebagai faktor tunggal yang membidani pertumbuhan ekonomi berbasis layanan transportasi. Publik harus melihat bahwa efisiensi logistik dan pertumbuhan ekonomi hanyalah lapisan permukaan. 

Di balik itu semua, terdapat pertarungan visi tentang siapa yang akan menguasai jalur perdagangan dunia. Dalam persinggungan ini, Timur Tengah sekali lagi menjadi panggung utama di mana masa depan ekonomi global dapat saja dikendalikan.

1
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post