MBG: Ketika Makan Gratis Jadi Drama Nasional

by | Sep 27, 2025 | Birokrasi Melayani, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Dalam dunia yang penuh janji politik, tidak ada yang lebih menggoda telinga rakyat selain kata “gratis”. Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai primadona baru yang dikemas begitu manis hingga siapa pun akan tergiur. Namun, seperti permen yang terlalu manis, program ini menyimpan pahit di baliknya yang perlu kita kunyah dengan cermat.

Program MBG hadir sebagai superhero penyelamat stunting Indonesia. Tapi seperti film superhero kebanyakan, ada villain tersembunyi di balik kostum mengkilap: keracunan massal. Apakah kita sedang menyaksikan blockbuster 71 triliun rupiah atau justru komedi tragedi yang mahal?

Sampai dengan hari ini (25/09/2025) Ribuan siswa telah dilaporkan mengalami keracunan makanan terkait program Makan Bergizi Gratis sejak diluncurkan pada Januari 2025, menurut berbagai laporan media dan organisasi pemantau pendidikan.

Kasus-kasus yang tercatat media menunjukkan pola yang mengkhawatirkan:

  • di Banggai Kepulauan, ratusan siswa harus dirawat setelah mengonsumsi makanan yang diduga tidak layak konsumsi
  • Di Cipongkor, Bandung Barat, ratusan siswa lain mengalami gejala serupa dalam rentang beberapa hari
  • Di Mamuju, beberapa siswa bahkan dilaporkan dalam kondisi yang memerlukan perawatan intensif

Yang mencengangkan, di tengah drama keamanan pangan ini, plot twist muncul: program MBG juga mencatat pencapaian yang bikin para skeptis garuk-garuk kepala.

Program ini telah menjangkau jutaan penerima manfaat dalam waktu singkat, menciptakan ratusan ribu peluang kerja baru, dan melibatkan jutaan petani serta UMKM dalam ekosistem ekonominya. Ini seperti memecahkan rekor dunia sambil tersandung—prestasi luar biasa tapi dengan drama yang tidak perlu.

Dua Sisi Mata Uang (Tapi yang Satu Agak Peyok)

Program MBG lahir dari niat mulia untuk mengatasi masalah stunting yang masih mengancam jutaan anak Indonesia. Dengan anggaran yang dialokasikan mencapai puluhan triliun rupiah per tahun—angka yang fantastis bahkan untuk standar program sosial global—program ini menjadi salah satu investasi sosial terbesar dalam sejarah Indonesia modern.

Untuk memberikan perspektif: angka ini setara dengan lebih dari tiga kali lipat APBD provinsi terbesar di Indonesia. Tapi seperti investasi startup unicorn, hasilnya bisa spektakuler atau spektakuler gagal.

Di satu sisi, data menunjukkan dampak positif yang terukur.
Angka kehadiran anak di sekolah meningkat—siapa yang mau bolos kalau ada makan gratis?
Di beberapa sekolah uji coba, angka kehadiran siswa yang sebelumnya berkisar 70-80% dilaporkan meningkat menjadi di atas 90-95%. Ini efek yang membuat banyak pihak bertanya-tanya: “Kenapa dulu nggak kepikiran kasih makan gratis dari awal?”

Program ini juga dilaporkan berhasil menciptakan ratusan ribu peluang kerja baru di berbagai sektor terkait—dari dapur komunal hingga supply chain.

Angka pastinya bervariasi tergantung sumber, tapi yang jelas: ini lebih dari gabungan karyawan semua startup decacorn Indonesia. Bayangkan, dari yang tadinya pengangguran, sekarang jadi bagian dari misi nasional yang sungguh mulia: feed the nation.

Di sisi lain, ribuan siswa mengalami keracunan makanan—angka yang cukup untuk mengisi beberapa gedung sekolah. Lebih lanjut headline internasional mengabarkan: “Indonesia Feeds Millions, But Thousands Get Food Poisoning.”

Bukan citra atau persepsi yang kita inginkan untuk go international. Angka ini bukan sekadar statistik—ini seperti mendapatkan bad reviews di Zomato, tapi dengan konsekuensi yang jauh lebih serius dan melibatkan kesehatan anak-anak.

Kompleksitas Implementasi: Mission Impossible-nya Indonsia

Indonesia bukanlah Singapura yang bisa mengantarkan paket makanan menggunakan drone dalam hitungan menit dan jangkauan operasi hingga puluhan kilometer.

Kita bicara ribuan pulau—lebih banyak dari total outlet McDonald’s di seluruh dunia—dengan kondisi geografis yang membuat Tom Cruise berpikir dua kali untuk rela terlibat dalam misi mulia ini. Mengelola program MBG adalah seperti koordinasi flash mob skala nasional, tapi dengan taruhan kesehatan anak-anak.

Tingginya kompleksitas mengelola ribuan dapur MBG—Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tersebar di seluruh nusantara dengan standar yang konsisten.

Ini bukan masalah transportasi makanan jadi, tapi masalah memastikan setiap dapur—dari yang di Jakarta sampai yang di pelosok Papua—punya akses ke bahan baku berkualitas, tenaga terlatih, dan fasilitas memadai.

Bagaimana memastikan dapur MBG di daerah terpencil bisa dapat pasokan daging segar yang sama kualitasnya dengan dapur MBG di kota besar?

Belum lagi soal standardisasi operasional: bagaimana memastikan chef di dapur MBG Aceh dan chef di dapur MBG Maluku mengikuti prosedur keamanan pangan yang sama?

Atau memastikan menu yang disajikan sesuai dengan preferensi lokal tapi tetap memenuhi standar gizi nasional? Ini seperti mengelola franchise makanan dengan ribuan outlet, tapi stakes-nya bukan profit—melainkan kesehatan generasi masa depan.

Dampak Ekonomi: Multiplier Effect

Program MBG ternyata bukan cuma tentang mengenyangkan perut, tapi juga tentang menggerakkan ekonomi negara. Data dari pilot project menunjukkan tren positif yang konsisten: peningkatan tenaga kerja di sektor terkait, kenaikan pendapatan UMKM yang terlibat, dan multiplier effect yang terasa hingga ke level komunitas. 

Yang lebih mencengangkan, beberapa proyeksi ahli menyebut MBG berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja. Para ahli bahkan memproyeksikan program ini bisa berkontribusi menurunkan tingkat kemiskinan nasional.

Bagi keluarga dengan beberapa anak sekolah, benefit yang diterima bisa mencapai ratusan ribu rupiah per bulan—jauh lebih substansial dibandingkan program bantuan sosial lainnya.

Pembelajaran dari Negara Lain: Indonesia Versi Kilat

Indonesia ternyata main di level hard mode dengan kecepatan eksekusi yang cukup mengesankan. Program pemberian makan bergizi di berbagai negara umumnya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai skala nasional—Indonesia berhasil membangun infrastruktur untuk jutaan penerima dalam hitungan bulan.

Ini seperti menyelesaikan proyek infrastruktur masif dalam timeline yang ambisius, tapi dengan risiko beberapa bug di tengah jalan.

Program serupa di dunia sudah menjangkau ratusan juta anak berdasarkan data internasional. World Bank dengan yakin menyatakan bahwa pemberian makan bergizi terbukti dapat meningkatkan kehadiran sekolah dan mengurangi stunting.

Teorinya memang sudah jelas dan terbukti—tapi praktiknya? That’s where the real challenge begins. Mengubah teori jadi kenyataan tanpa megakibatkan kekacauan di lapangan ternyata jauh lebih rumit dari yang dibayangkan.

Yang bisa dipelajari dari negara lain: konsistensi jangka panjang dan quality control yang ketat. Program-program serupa yang berhasil umumnya punya sistem monitoring yang solid dan tidak terburu-buru dalam scaling up. Indonesia memilih jalan yang lebih berisiko dengan ekspansi cepat.

Di satu sisi, pendekatan cepat ini berpotensi jadi terobosan besar karena bisa segera menjangkau jutaan anak yang butuh bantuan gizi—time is critical untuk mencegah stunting yang bersifat irreversible. Plus, momentum politik dan dukungan anggaran mungkin tidak akan sebesar ini di periode mendatang.

Tapi di sisi lain, ekspansi terlalu cepat tanpa sistem quality control yang matang bisa menjadi bumerang dengan masalah keamanan pangan yang berulang, kepercayaan publik yang turun, dan potensi program dihentikan karena tekanan politik. Kasus keracunan massal yang terus terjadi menunjukkan risiko ini sangat nyata.

Jadi sekarang kita dalam fase kritis: apakah Indonesia bisa memperbaiki sistemnya secepat mereka mengekspansi program? Atau momentum ini akan hancur karena masalah operasional yang sebenarnya bisa dihindari dengan pendekatan yang lebih bertahap?

Dilema Tukang Bakso dan Ekonomi Mikro

Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah dampak terhadap pelaku ekonomi mikro nonformal. Para pedagang kecil, terutama yang biasa berjualan di sekolah, kemungkinan akan mengalami penurunan pendapatan.

Di setiap sekolah, ada Bu Sari dengan warung kecilnya yang sudah puluhan tahun menjual gorengan kepada anak-anak. Ada Pak Bambang dengan gerobak bakso yang setiap hari mangkal di depan sekolah.

Namun, program MBG juga membuka peluang baru. Mereka yang cerdas bisa bergabung sebagai mitra UMKM dalam ekosistem program ini. Pemerintah menggandeng koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam pengadaan bahan makanan, menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang inklusif.

Rekomendasi

Program MBG memiliki potensi besar untuk menjadi game changer dalam upaya pencegahan stunting dan pemberdayaan ekonomi. Namun, beberapa perbaikan mendesak diperlukan:

  • Pertama, perkuat sistem pengawasan keamanan pangan dengan audit independen berkala dan sertifikasi keamanan pangan untuk semua unit pelayanan. Libatkan BPOM dalam monitoring rutin, bukan hanya saat terjadi insiden.
  • Kedua, diversifikasi pendekatan berdasarkan karakteristik daerah. Daerah dengan tingkat stunting tinggi perlu intervensi yang lebih intensif, sementara daerah dengan tingkat rendah bisa fokus pada maintenance dan pencegahan.
  • Ketiga, integrasikan program dengan ekonomi lokal secara lebih sistematis. Berikan pelatihan dan sertifikasi untuk UMKM lokal, ciptakan mekanisme kemitraan yang win-win solution untuk pedagang kecil yang terdampak.
  • Keempat, perkuat sistem monitoring dan evaluasi berbasis data. Indikator status gizi harus ditetapkan sebagai dasar dalam menentukan luaran program, yang kemudian menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pemantauan implementasi.

Kesimpulan

So, what’s the final score? Program MBG adalah program yang brilian sekaligus bermasalah—seperti superhero yang kuat tapi masih belajar mengendalikan kekuatannya.

Sisi positifnya sudah tidak dapat dibantah: jutaan penerima manfaat, ratusan ribu lapangan kerja, potensi stunting yang bisa turun secara nasional, dan multiplier effect secara ekonomi. 

Sisi negatifnya juga tidak bisa diabaikan: ribuan anak mengalami masalah keamanan pangan, quality control yang masih goyah, dan disparitas regional yang masih besar. Ini masalah serius yang membutuhkan perbaikan segera.

Yang dibutuhkan bukan pembatalan, tapi optimalisasi.
Program dengan anggaran puluhan triliun rupiah dan dampak potensial sebesar ini terlalu berharga untuk dibatalkan karena masalah-masalah awal. Yang kita butuhkan adalah eksekusi yang bertahap dan lebih sistematis, monitoring yang lebih ketat, dan kemampuan
adaptasi yang lebih tinggi.

Intinya: MBG punya potensi menjadi game changer untuk Indonesia Emas 2045—asal dijalankan dengan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan tingkat ambisinya.

Karena pada akhirnya, ini bukan cuma tentang makan gratis, tapi tentang generasi masa depan Indonesia. Dan mereka layak mendapat yang terbaik—yang aman, bergizi, dan berkelanjutan.

Program MBG: high risk, high reward. Mari kita pastikan rewardnya lebih besar dari risknya.

3
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post