(Pernyataan Sikap ‘Pergerakan’ Birokrat Menulis)
Oleh : Tim Redaksi Birokrat Menulis
Banggakah Anda jika mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK? Kecewakah Anda jika mendapatkan opini Disclaimer dari BPK?
——–
Di level diskursus birokrasi pemerintahan, audit keuangan (atau audit atas laporan keuangan) banyak dipersepsikan sebagai kegiatan pemeriksaan keuangan yang komprehensif, yaitu untuk menemukan penyimpangan dan pengidentifikasian tindakan koruptif.
Masyarakat umum dan banyak birokrat juga belum paham betul dengan kebenaran sifat audit keuangan. Mereka mempersepsikan jika opini hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) maka pengelolaan keuangan telah dinyatakan bersih dari penyimpangan. Masih banyak yang terpana ketika sebuah instansi pemerintah mendapatkan opini WTP, tetapi tiga bulan kemudian beberapa pejabat di instansi tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski telah dijelaskan oleh Ketua BPK, banyak yang belum memahami bahwa maksud audit keuangan hanyalah untuk memeriksa penyajian angka-angka di laporan keuangan, utamanya terkait kesesuaiannya dengan standar akuntansi, kepatuhan terhadap peraturan dan kelemahan sistem pengendalian intern, dan bukan untuk memeriksa kebenaran material, apalagi kinerja sebuah instansi pemerintah.
Jika menilik arti dan manfaat sebenarnya dari kegiatan audit keuangan, maka pengertian audit keuangan tidak akan ‘semencekam’ yang banyak dibayangkan masyarakat. Audit keuangan adalah kegiatan pemeriksaan yang fungsinya untuk memberikan pendapat atas kewajaran suatu penyajian informasi laporan keuangan. Artinya, pemeriksaan ditujukan untuk melihat kualitas ‘informasi akuntansi’ yang dibandingkan dengan prinsip akuntansi dan standar yang berlaku umum.
Secara teoritis mestinya audit keuangan tidak mencekam seperti yang dibayangkan selama ini. Sayangnya, praktik audit ini di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah berubah menjadi begitu mencekamnya. Hal ini karena beberapa auditor BPK telah berimprovisasi dalam melakukan pemeriksaan di lapangan dan akhirnya memberi kesan menakutkan bagi instansi yang diaudit. Karena menakutkan dan mencekam inilah lalu masyarakat awam berharap lebih banyak atas audit laporan keuangan. Semacam gayung bersambut, terjalinnya improvisasi auditor dengan ekspektasi masyarakat.
Begitu juga dengan manfaat. Laporan keuangan yang telah diaudit dianggap telah mampu diandalkan dan bermanfaaat menjadi bahan pengambilan keputusan yang baik. Namun demikian, pengambilan keputusan ternyata belum banyak memanfaatkan laporan hasil audit keuangan ini. Bahkan, pemangku kepentingan tertentu masih kesulitan melakukan interpretasi terhadap arti dari laporan keuangan. Kebanyakan para pemangku kepentingan hanya membaca judul dari pernyataan opini apakah ‘WTP’ atau tidak. WTP kesannya adalah auditor telah memberikan stempel “approved”.
Ketidakpahaman pemangku kepentingan, masyarakat, maupun sebagian birokrat ini dapat dimaklumi mengingat berbagai pihak telah membangun dan membentuk sendiri mitos ritual audit keuangan ini. Ya, audit keuangan sebenarnya tidak lebih dari sebuah ritual yang dilakukan jika sebuah instansi memiliki laporan keuangan. Ritual yang seolah harus dijaga agar mitos pengelolaaan keuangan yang bersih mampu diraih.
Mitos tidak dapat terbangun dengan sendirinya. Ada upaya tertentu dari berbagai pihak untuk membuat sebuah penanda menjadi makna tertentu yang mengakar kuat di masyarakat. Mitos bukan konsep atau ide, tetapi merupakan suatu cara pemberian arti.
Mengacu kepada konsep mythologies, sebuah buku yang ditulis oleh Roland Barthes, mitos mengenal tiga unsur, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Laporan audit sebagai penanda, sedangkan opini sebagai petanda. Sedangkan tanda adalah hubungan antara penanda dan petanda yang mempunyai arti khusus, yang bisa jadi arti tersebut adalah tata kelola keuangan yang baik.
Dalam hal ini, mitos yang dibangun terhadap opini laporan audit keuangan adalah tata kelola keuangan yang baik. Pemaknaan ‘baik’ pun dapat mengalami reduksi di sana sini. ‘Baik’ menurut auditor adalah sesuai dengan standar. ‘Baik’ menurut instansi bisa jadi adalah telah tertib dan bebas kesalahan administrasi. ‘Baik’ menurut masyarakat bisa jadi adalah tata kelola yang bersih dari penyimpangan. Banyaknya pergeseran makna karena interpretasi yang berbeda ini lah yang kemudian melahirkan mitos. Sebuah kebenaran yang dianggap nyata, tetapi belum tentu dapat dibuktikan.
Selama ini, mitos tersebut telah dipelihara dan dibiarkan mengalami reduksi maknanya di sana sini. Seperti halnya pohon beringin, yang arti denotatifnya adalah pohon besar dan rindang, ia telah mengalami pergeseran makna menjadi pohon keramat yang menyimpan cerita mistis, atau sebagian juga mereduksi makna sebagai pohon yang penuh dengan rahmat dan rezeki. Pergeseran makna ini tidak terlepas dari budaya setempat yang melingkupinya.
Demikian pula opini dari hasil audit keuangan. Pergeseran makna dari kesesuaian dengan standar menjadi gambaran tata kelola keuangan yang bersih, lalu terjadi reduksi makna sebagai prestasi. Pada saat prestasi menjadi makna baru bagi hasil audit keuangan, maka tidak heran jika kemudian banyak instansi pemerintah yang berlomba untuk meraihnya, bahkan terkadang menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Pemaknaaan sebagai prestasi sangat erat kaitannya dengan budaya atau rezim aturan yang menyelimuti birokrasi di Indonesia. Prestasi yang diraih lalu erat dikaitkan dengan prestasi mematuhi aturan dan standar.
Reduksi makna ini bukan hanya bermain pada tataran ucapan dan komunikasi, tetapi telah masuk pada tataran praktik dan legitimasi. Di level pemegang otoritas pemerintahan, opini hasil audit telah dilegitimasi menjadi instrumen kekuasaan dengan adanya pemberian penghargaan bagi instansi pemerintah yang telah berhasil merebut opini WTP.
Dengan menjadikannya sebagai instrumen legitimasi, maka ditengarai pemberian persetujuan anggaran menjadi lebih mudah dan sekaligus sebagai sarana menormalisasi politik anggaran. Legitimasi ini melanggengkan mitos bahwa opini hasil audit keuangan WTP sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Di lain pihak, legitimasi atas mitos prestasi ini juga berfungsi mengukuhkan budaya kepatuhan di lingkungan birokrasi. Artinya, semakin instansi pemerintah ingin memperoleh prestasi tersebut, semakin perlu menaikkan kadar kepatuhan terhadap aturan dan standar.
Di lain sisi, budaya kepatuhan terhadap aturan yang melanggengkan mitos tersebut tidak bebas dari permasalahan. Standar dan aturan formal adalah produk dari rasionalitas Weberian yang menganggap kegiatan birokrasi akan efektif dan efisien jika segala sesuatunya dibentuk dan ditentukan dengan sebuah standar dan aturan. Yang dituntut oleh standar dan aturan ini adalah kepatuhan. Namun, seringkali, kepatuhan yang berlebihan melupakan kepatutan. Nilai-nilai luhur dan etika kemudian terpinggirkan.
Dalam beberapa kasus penyusunan maupun penggunaaan anggaran, secara standar dan aturan telah benar, tetapi secara substansi bisa jadi hal tersebut tidak sesuai dengan kepatutan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, sebuah acara rapat koordinasi sebuah instansi yang memakan biaya ratusan juta telah diselenggarakan di sebuah kota tertentu seolah tidak menyalahi aturan, tetapi ternyata pemilihan waktu dan tempat rakor tersebut disesuaikan dengan adanya perhelatan mantu salah seorang pejabat di instansi itu. Ini suatu kegiatan yang tidak melanggar kepatuhan, tetapi tidak sesuai dengan asas kepatutan. Banyak pegawai kelas bawah yang sebenarnya merasa terusik dengan ketidakpatutan tersebut.
Rezim kepatuhan terhadap standar dan aturan telah disuburkan oleh audit keuangan BPK. Instrumentalisme semakin tumbuh subur. Aturan dan standar yang tadinya dimaksudkan hanya sebagai sarana mengatur kini semakin meningkat derajatnya menjadi tujuan. Semua berlomba-lomba mengejar prestasi opini audit BPK dan sering melupakan tujuan dasar meningkatkan nilai layanan publiknya.
Banyak telah dijumpai cerita mundurnya pejabat pengadaan akibat dari ketakutan dari jeratan hukum dan aturan karena rezim kepatuhan yang terus ditumbuhkan. Cerita keampuhan efek audit keuangan ini pun sebenarnya sejalan juga dengan cerita kriminalisasi pejabat ataupun pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Semuanya tentang tumbuh suburnya rezim aturan dan standar.
Standar juga memiliki efek negatif terhadap efisiensi, sebuah tujuan yang sebenarnya ingin disasar oleh birokrasi itu sendiri. Terjadi paradoks di sini. Dengan semangat pemenuhan aturan agar instansi mendapatkan opini WTP, maka semua instansi semakin ketat menerapkan prosedur, terutama prosedur keuangan. Pertanggungjawaban bahkan disasar sampai pada rincian detil, berkas pertanggungjawaban terkadang perlu dibuat berlembar-lembar, dan tanpa makna.
Karenanya, terjadi inefisiensi waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya. Sementara itu, di lain hal, terjadi gelombang teknologi informasi yang sebenarnya mampu membuat cara bekerja lebih efisien lagi. Bahkan, standar akuntansi pun terlihat tertinggal dari pesatnya kemajuan teknologi. Pantas saja jika Presiden Jokowi pun sempat mengeluh bahwa prestasi PNS, bawahannya itu, hanyalah berhasil mengurus SPJ.
Pemenuhan terhadap standar juga menjadikan semua bentuk pelayanan publik menjadi sama. Jenis maupun bentuk pelayanan pubik yang tertuang dalam laporan keuangan hasil audit menjadi seragam di mata standar. Jika semuanya menjadi sama dan seragam, maka fleksibilitas menjadi tergerus. Padahal, fleksibilitas berupa diskresi kadang diperlukan untuk kecepatan pemenuhan pelayanan publik.
Audit sebagai sebuah ritual telah didukung dengan pembentukan mitos akan memproduksi ritual-ritual baru dalam praktik birokrasi. Dalam kapasitasnya sebagai teknik kekuasaan, audit keuangan benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan audit, perilaku institusi pemerintah menjadi terbentuk, cenderung mengamankan institusinya dari kesalahan yang kemungkinan mampu dideteksi oleh audit.
Kini audit keuangan telah menjadi sebuah mekanisme pengawasan yaang bersifat panoptikon. Pengawasan yang diskontinyu, tetapi efeknya kontinyu. Karena, setiap pegawai — terutama di bagian keuangan dan administrasi — menjadi cenderung menerapkan prosedur ketat terhadap urusan keuangan dan administrasi. Mereka selalu dihantui oleh kesalahan administrasi dan pemenuhan standar akuntansi hanya untuk mengejar mitos bernama prestasi, sebuah logika yang seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Laporan keuangan dengan predikat WTP mestinya bukan barang yang perlu diperjuangkan berlebihan, apalagi dimitoskan menjadi prestasi.
Ibarat membuka warung makan, makanan siap saji sudah semestinya tersaji, tidak perlu diperjuangkan lagi apalagi dianggap prestasi. Prestasi seharusnya diukur pada seberapa mampu makanan yang disajikan tadi berdampak pada kesehatan pelanggan yang menikmatinya.
Perlu ada keberanian dari auditor, terutama auditor BPK, dan kita semua untuk merombak ritual audit ini, yang seharusnya tidak perlu semencekam itu. Perlu keberanian bagi instansi yang diaudit untuk terkadang rela dianggap tidak ber ‘prestasi’ karena tidak mendapat predikat WTP, tetapi tetap memiliki nilai bagi masyarakat.
Perlu keberanian dari pemegang otoritas pemerintahan, utamanya Presiden, untuk tidak lagi melegitimasi mitos opini WTP audit BPK. Yang kita perlukan adalah otoritas pemerintahan menciptakan mitos baru untuk menggeser sekedar ‘budaya kepatuhan’ menjadi ‘budaya kepatutan’ akan pemenuhan kinerja pelayanan publik. Dengan demikian peradaban birokrasi kita mampu bergerak menuju peradaban baru yang lebih bermakna.
Jakarta, 29 Mei 2017
Audit keuangan negara memang harus lebih mencekam daripada audit keuangan swasta.
kualitas keterpercayaan hasil audit sebetulnya juga dipengaruhi langsung oleh sistem administrasi dan sistem pengendalian pemerintah.
selain itu, sedikit banyak simpulan hasil audit juga dipengaruhi situasi politik yang ada.
mustahil membahas administrasi publik dengan mengabaikan faktor politik.
Standar tetap penting yah.. tapi pertanyaan bagaimana standar ini tetap relevan dengan efisiensi dengan kemajuan teknologi informasi, dan ukuran kinerja yang jelas bagi birokrasi selain WTP adalah diskursus yang menarik bagi saya.
Standar tetap penting. tanpa standar keuangan, yang maunya di efisensi, maka penyamaan pelaporan dan pembandingan antar entitas akan sangat sulit dilakukan.
Pekerjaan yang dilakukan kementerian keuangan, yang menurut saya perlu di apresiasi adalah sudah dimulainya pemakaian TI online pada DJPB, kewajiban rekon kas bulanan secara online, yah meskipun tertinggal beberapa tahun dari Bank, tapi paling tidak sudah dimulai.
Saya setuju bila WTP adalah pelaporan uang keluar masuk dan keuntungan penjualan makanan di warung, maka kita perlu mulai memperkenalkan dan meramaikan ukuran kinerja yang lain sebagai pembanding. Bagi pemda ada EKPPD dari mendagri, ada juga Lakip dari MenpanRB. 2 Ukuran ini tidak semoncer WTP, padahal kalau warung, maka kedua indikator ini mengukur mulai dari merencanakan mau masak apa, apa yang dibeli, gimana masaknya, hingga kelengkapan ketersediaannya, dan bagaimana kualitas makanannya.
Kalau dilihat alasannya, menurut saya pribadi, kedua ukuran baru ini masih lebih muda untuk sudah diketahui khalayak, indikatornya belum secara maksimal mencerminkan keinginan masyarakat, selain juga kekurang masiv-an penyampainnya di luar dunia kepemerintahan oleh empunya ukuran.
WTP menjadi standar minimal dan tidak perlu dibanggakan adalah keniscayaan, namun bila WTP saja masih banyak yg belum bisa meraih bagaimana mungkin tidak menghapnya sebagai prestasi. Bagaimana juga ukuran kinerja yang lain di lirik, selain dari yang paham dan mengerti.