Prolog
Sekitar enam tahun lalu, kepala perwakilan kantor saya memberikan instruksi agar panitia ulang tahun instansi menyelenggarakan lomba lawak antar bidang. Ide tersebut terasa janggal bagi banyak orang. Saya sendiri termasuk salah satu yang nggremeng dengan gagasan tersebut.
Aneh rasanya bagi kami, para auditor, diminta untuk melawak. Menurut saya, melawak itu tidak sesuai dengan karakter, tidak mendukung profesionalisme, dan nganeh-nganehi.
Meski begitu, kami tidak punya pilihan lain. Beberapa rekan dan kepala bidang cukup merespon ide itu dengan baik dan mulai mendiskusikan tema lawak. Untung pula ada satu di antara kami yang pernah menjadi sutradara drama saat di bangku sekolah dasar (SD). Modal yang lumayan bukan?
Beberapa orang pun dipilih dengan cara sedikit dipaksa agar penampilan tidak terlalu mengecewakan. Dari awal saya sudah menarik diri karena ketidaksetujuan saya dengan ide ‘lawakan’ itu.
Apa daya, tim lawak kekurangan pemain. Sedikit ragu, saya pun menawarkan diri untuk mengambil peran sebagai seorang pengendali teknis dalam skenario lawak. Entah mengapa, ingin pula rasanya menantang diri untuk mencoba skills yang lain.
Peran yang saya mainkan tidak terlalu susah. Kebetulan, saya diharuskan untuk marah-marah dengan salah satu anggota tim yang sering terlambat. Kebetulan lagi, dalam dunia riil, yang berperan sebagai anggota tim tersebut memang sering terlambat, beberapa kali menjadi anggota tim saya, dan sering membuat saya mangkel. Pas lah sudah.
Hari “H” pun tiba. Ada sebersit rasa dag-dig-dug yang berbeda. Sungguh saya khawatir kalau nanti di panggung saya gagal membuat orang tertawa. Kekhawatiran yang aneh bukan? Alhamdulillah, tidak di sangka, semua berjalan lancar.
Kami berhasil menghibur kepala perwakilan dan rekan-rekan yang lain. Adegan-adegan kami mampu memancing tawa hadirin. Bahkan, bidang kami mendapatkan peringkat I dalam perlombaan lawak itu. Saya sendiri sangat bangga dengan penampilan bidang saya yang begitu begitu kompak.
Begitulah…
Humor bagi Birokrat
Waktu pun berjalan hingga beberapa minggu yang lalu saya menemukan sebuah artikel yang menarik yang membuat saya menyesali kesinisan saya tentang ide ‘lawakan’ sang kepala perwakilan. Dalam jurnal artikel yang saya baca tersebut menyebutkan bahwa humor merupakan salah satu jenis kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja.
Lalu, karena begitu takjubnya mengetahui bahwa humor pun juga menjadi salah satu bahan kajian ilmiah, segera saya cari literatur lainnya. Benar, ternyata humor di tempat kerja sudah banyak diulas di jurnal-jurnal ilmiah.
Crawford, C. B, bahkan sudah menulis tentang pentingnya humor dalam leadership pada tahun 1994 dalam artikelnya yang berjudul Strategic Humor in Leadership: Practical Suggestion for Appropriate Use.
Menurut Crawford, humor merupakan salah satu strategi komunikasi dalam mendapatkan pengaruh. Sayangnya, banyak orang yang belum memahami akan hal itu. Crawford menyatakan:
“of all the communicative strategies that leaders utilize, the use of humor is most promising, but the least understood.”
Menariknya lagi, humor itu bukanlah suatu bakat yang given, bukan hanya orang-orang tertentu yang memang dilahirkan dengan bakat lucu. Sebaliknya, humor adalah sebuah kompetensi yakni pengetahuan dan skills yang bisa dibangun jika di latih dan diasah terus-menerus. Artinya, saya yang introvert pun punya potensi untuk menjadi birokrat yang humoris. Semoga :).
Bagi seorang leader atau pimpinan, memiliki kemampuan komunikasi yang baik sangat diperlukan. Kemampuan komunikasi ini memungkinkannya untuk menerjemahkan visi yang ingin ia capai lalu mengkomunikasikannya dengan seluruh unsur dalam organisasi, termasuk dengan pegawai di level bawah.
Keberhasilan seorang leader dalam membangun komunikasi yang baik ini juga sangat berpengaruh dalam membentuk budaya organisasi yang dalam banyak literatur disebut sebagai salah satu faktor penting penentu kinerja.
Dalam artikelnya, Crawford merujuk pada banyak pendapat peneliti sebelumnya tentang manfaat humor, di antaranya dapat meredakan ketegangan dan dapat membantu menempatkan masalah pada tempatnya. Humor juga dapat menjadi salah satu strategi untuk menarik perhatian audience dalam presentasi.
Tak hanya itu, menurut Gruner, sebagaimana dikutip oleh Crawford, pembicara yang mampu mengelola humor dengan baik, ia akan dapat meningkatkan popularitasnya dan lebih mampu mempengaruhi pembaca.
Yang tak kalah penting lagi, selain dapat menyajikan presentasi secara menarik, penggunaan humor juga dapat lebih melekatkan pesan yang dibawa oleh seseorang ke dalam pikiran audience. Dalam banyak hal, humor-humor inilah yang justru biasanya diingat.
Hal yang tak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Duncan (1982) yang mengatakan bahwa humor juga dapat meminimalisir gap sosial anatara leader dengan para pegawai. Humor itu sendiri memiliki beberapa kategori, yaitu permainan kata (puns), canda (goofing off), lelucon (jokes), godaan (teasing), dan gurauan (bantering).
Terlepas dari manfaat humor di tempat kerja, ada beberapa rambu yang harus diperhatikan. Pertama, minimalkan atau bahkan hindari lelucon yang dapat mendiskreditkan seseorang. Dalam konteks Indonesia, hindari humor SARA.
Kedua, humor hendaknya bersifat timbal balik antara leader dan follower. Jadi, leader pun harus memberikan apresiasi terhadap pegawai yang melontarkan humor. Ketiga, lontarkan humor yang sesuai dengan situasi. Keempat, pastikan humor yang kita pilih sesuai dengan ketertarikan dan bahasa penerima.
Humor dalam Kehidupan Sufi
Beberapa hari lalu, tanpa sengaja saya mendapatkan pencerahan terkait humor ini dari video ngaji filsafat-nya Dr Fachruddin Faiz. Sekedar info, video-video Dr Faiz ini sangat menarik bagi Anda yang ingin mempelajari filsafat dengan cara yang ringan dan santai. Dalam salah satu videonya, Dr Faiz membahas tentang Nasruddin Hoja.
Nah, tentang hal ini saya juga baru ingat ketika SMP dulu bapak saya membelikan buku-buku kisah Nasruddin Hoja. Kisah kelucuan Nasruddin berhasil memancing tawa saya saat itu. Saya tidak menyangka buku yang saya simak tiga puluh tahun silam dapat menghubungkan dengan literatur yang saya baca saat ini.
Ternyata Nasruddin Hoja ini adalah tokoh yang sangat populer, tak hanya di dunia Islam tapi juga di barat. Kalau Anda ketikan nama tersebut di Youtube, Anda akan banyak menemukannya. Dulu saya pikir, kisah-kisah tersebut hanya sekedar cerita, ternyata kisah tersebut menggambarkan sosok Nasruddin Hoja sehari-hari. UNESCO bahkan sempat menyatakan tahun 1996 sebagai tahun Nasruddin Hoja.
Menurut Fachruddin Faiz, Nasruddin Hoja adalah seorang tokoh filsafat alternatif yang mengajarkan kita berhikmah, berfilsafah mendalam, mencari makna, tapi tetap santai dalam menjalani hidup sambil senyum dan tertawa.
Tentang humor ini, Fahruddin Faiz mengutip salah satu kitab Abu Hayan at Tauhidi dalam Al Bashair wa al-Dakhair, yang mengatakan bahwa:
“Jangan engkau jauhkan dirimu dari mendengar sesuatu tentang kejadian sederhana yang lucu. Sebab bila engkau tidak mau memperhatikannya, pemahamanmu akan menjadi picik dan watakmu menjadi kurang tanggap. Dan bila engkau tidak mampu menikmati segarnya humor, awan kelabu kehidupan yang serius bakal menghancurkan dirimu.”
Katanya, kehidupan kita sehari-hari itu penuh kelucuan. Hanya saja sering kita menanggapi kehidupan ini begitu serius sehingga terasa begitu berat. Contoh kelucuan yang nyata mungkin bisa kita lihat dari interaksi kita dengan gadget. Coba perhatikan perilaku kita sendiri. Kok bisa-bisanya alat komunikasi berbentuk persegi panjang itu menguasai hidup kita. Lucu bukan?
Peristiwa-peristiwa politik itu juga sebenarnya lucu-lucu. Sayangnya, menurut Fachruddin Faiz, dalam menyikapi peristiwa tersebut kita kok malah marah-marah sendiri. Lebih lucunya lagi, gara-gara politik kok kita malah berantem dengan kawan sendiri.
Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hayan, “awan kelabu kehidupan yang serius bakal menghancurkan dirimu ketika kita tidak mampu merespon hal-hal yang lucu.”
Nasruddin Hoja adalah seorang sufi. Bagi sufi, humor memiliki beberapa peran, yakni sebagai penggugah pikiran atau media penalaran, motivasi diri dan introspeksi, kritik situasi, dan dakwah. Jujur saja, saya baru tahu akan hal ini. Tak heran, banyak buku-buku humor sufi yang beredar di tok-toko buku. Katanya, orang-orang yang memiliki pemahaman tinggi tentang hidup adalah orang-orang yang mampu mentertawakan dirinya.
Orang yang jeli membaca humor sufi ia tidak hanya mampu menangkap kelucuan, tapi ada makna yang dalam di balik kelucuan tersebut. Makna yang dalam itu hanya dapat ditangkap oleh orang yang daya nalarnya jalan. Bagi orang awam, mereka menangkap kelucuan humor-humor sufi, tapi belum tentu dapat memahami makna di balik humor tersebut.
Selain untuk menggugah pikiran, humor juga memiliki fungsi untuk melakukan kritik. Humor-humor Nasruddin Hoja menggambarkan kritikannya terhadap situasi masyarakat sekelilingnya dan kritik terhadap penguasa. Kritikan dengan menggunakan humor, menurut Fachruddin Faiz, sangat efektif untuk membuat seseorang berubah tanpa membuat mereka tersinggung.
Salah satu cerita Nasruddin yang menarik adalah tentang anekdot siapa yang kamu percaya.
Ceritanya begini: seorang tetangga mengetuk pagar rumah Nasruddinn. Kemudian, sang Mulla menemuinya di luar. “Bolehkah Mulla, aku meminjam keledaimu hari ini?” tanya si tetangga. “Aku harus mengantar beberapa barang ke kota sebelah.” Sebenarnya Nasruddin merasa sayang untuk meminjamkan keledainya. Maka ia pun menjawab, “Maaf, aku sudah meminjamkannya kepada orang lain.” Tiba-tiba terdengar ringkikan keledai dari belakang rumah. Si tetangga berkata, “Saya mendengar suara keledaimu di belakang sana.” Nasruddin yang terkejut segera menjawab, “Siapa yang kamu percaya, keledai atau Mullamu?”
Kisah di atas menyiratkan makna tentang kondisi yang relevan hingga saat ini, yaitu tentang kebenaran yang nyata ataukah patron? Kebenaran tergambarkan dari suara keledai dan Nasruddin, Mullah yang dianggap sebagai patron.
Dalam banyak hal, kita tidak berani membantah meskipun fakta kebenaran sudah tergambar jelas, karena kesilauan kita oleh otoritas pembawa pesan atau berita. Alhasil, banyak orang (semoga kita tidak termasuk) yang menuruti pemilik otoritas dengan mengabaikan fakta kebenaran yang nyata terlihat.
Menarik bukan? Monggo, silakan ditelusuri kisah-kisah Nasruddin Hoja lainnya.
Epilog
Humor ternyata memiliki banyak fungsi. Penelitian terkait humor pun sudah banyak dijumpai di jurnal-jurnal ilmiah. Dalam konteks organisasi sektor publik, humor dianggap sebagai salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh manajer sebagai sarana untuk meningkatkan efektifitas komunikasi.
Tak hanya itu, belajar dari kehidupan sufi, humor pun memiliki banyak fungsi yang dapat diadaptasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi sektor publik. Fungsi humor sebagai sarana untuk mengasah daya nalar bisa jadi merupakan salah satu kontribusi terhadap lahirnya kreativitas dan inovasi.
diawali dari pengalaman pribadi, dan kemudian pemahaman dan kesadaran bahwa itu hal yang bagus jika diterapkan.
juga menarik sekali menarik kisah nasrudin hoja ke kondisi yang relevan.
Makasih Pak Yohan..Smoga bermanfaat..
Apik Nung…
Makasih Ton…