Teknologi memiliki hubungan yang kian erat dengan aktivitas manusia, baik dalam tataran individual hingga global, dari teknologi yang sederhana hingga kompleks. Pada saat yang sama, alam di mana manusia tinggal menjadi saksi dan korban dari ambisi dan eksploitasi sumber daya industri, berkat kemajuan teknologi. Artikel berikut merupakan suatu pengantar tentang filsafat teknologi, sekilas, namun diakhiri dengan sebuah refleksi sederhana untuk memperluas pemahaman.
Karakteristik Teknologi
Secara harfiah teknologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “tecnologia” yang berarti pembahasan sistematik mengenai seluruh seni dan kerajinan. Istilah tersebut memiliki akar kata “techne” dalam bahasa Yunani kuno yang berarti seni (art) atau kerajinan (craft).
Dalam bahasa Yunani kuno, teknologi dapat didefinisikan sebagai seni memproduksi alat-alat produksi dan menggunakannya. Definisi tersebut terus berkembang hingga Teknologi dapat pula dimaknai sebagai:
“pengetahuan mengenai bagaimana melakukan sesuatu” (know how of making things) atau (know how of doing things) adalah kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan nilai yang tinggi, baik nilai manfaat maupun nilai jualnya (Martono, 2012).
Sementara dalam pandangan Henslin, bahwa istilah teknologi dapat mencakup dua hal. Pertama, teknologi sebagai peralatan untuk menyelesaikan masalah. Sisir yang berkarakteristik sederhana hingga komputer yang berkarakteristik kompleks adalah contoh dari teknologi merujuk pada peralatan.
Kedua, teknologi sebagai keterampilan atau prosedur untuk membuat dan menggunakan peralatan tersebut. Dalam hal ini, teknologi berarti tidak hanya merujuk pada prosedur yang diperlukan untuk membuat sisir atau komputer, tetapi juga meliputi prosedur untuk mengatur tatanan rambut yang dapat diterima atau untuk pengaturan jaringan internet (Herdiansyah, 2019).
Selaras dengan pandangan di atas, hal yang pasti menjadi pemahaman awal mengenai teknologi biasanya mengarah pada wujud benda yang dibuat oleh manusia dari suatu materi konkret, contohnya sendok, garpu, handphone, dan seterusnya.
Semakin kompleks cara pengolahannya, maka teknologi tersebut akan diklasifikasikan sebegai teknologi tinggi atau canggih. Pengolahan materi menjadi benda yang kemudian disebut sebagai teknologi itu tentu melayani tujuan tertentu atau dapat digunakan untuk kepentingan pembuatnya. Maka, karakteristik berikutnya dari teknologi adalah sebagai alat yang memiliki manfaat praktis.
Teknologi sebagai perantara
Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, manusia berelasi dengan sesamanya dan alam lingkungannya di mana teknologi turut mengambil peran dalam hal itu. Sebagai alat yang membantu kelangsungan hidup manusia, teknologi juga memiliki sifat sebagai perantara yang menghadirkan cara baru dalam melakukan sesuatu.
Misalnya, perubahan cara bercocok tanam dari menggunakan tangan hingga cangkul dan traktor. Cara baru ini menghasilkan hubungan timbal balik antara teknologi dan manusia selaku pembuat dan penggunanya serta berimplikasi terhadap lingkungan manusia.
Lalu misalnya penggunaan handphone untuk keperluan komunikasi dan lainnya yang turut memengaruhi perubahan lingkungan. Berarti, teknologi juga layaknya sesuatu yang tertanam sekaligus berdampak pada budaya manusia. Dampak yang dihasilkan termasuk terhadap lingkungan, mengharuskan manusia selalu berpikir ulang untuk mengantisipasi akibat dari teknologi yang diciptakan.
Sebagai benda, teknologi juga diberi nilai dalam penggunaannya. Pertama, bahwa teknologi yang melayani tujuan tertentu dinilai atau bernilai berdasarkan kegunaannya. Kedua, bernilai pertukaran bila ditinjau dari perpektif ekonomis. Ketiga, objek yang memiliki nilai simbolik. Dan keempat, nilai tanda dari objek.
Penggunaan teknologi terikat dengan kebudayaan masyarakat penggunanya, sehingga teknologi yang sama dapat dimanfaatkan dengan cara dan tujuan yang berbeda dalam budaya yang berbeda (Lim, 2008). Penggunaan teknologi juga ada masanya, sehingga ia terus berkembang, ada yang mengalami habis guna, dan dikenal istilah teknologi kuno dan teknologi modern (Sandang, 2013).
Hakikat Teknologi
Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani Kuno hingga berlanjut pada masa para filsuf. Beberapa filsuf tersebut adalah Martin Heidegger, Jurgen Habermas, Jacques Ellul, dan Don Ihde. Pada sub-bab ini, dipaparkan sekilas pandangan Heidder mengenai hakikat Teknologi.
Martin Heidegger dalam Die Frage nach der Technik (Pertanyaan mengenai Hakekat Teknik), sebuah makalah yang disajikan dalam seminar “Seni dalam Zaman Teknologis” di Munchen tahun 1953 mencoba menjawab pertanyaan mengenai hakikat teknologi.
Dalam gagasannya, teknologi adalah sarana untuk mencapai suatu tujuan. Gagasan instrumentalisme tentang teknologi berguna untuk memahami perkembangan teknologi dan masyarakat penggunanya. Misalnya, dalam perkembangan teknologi perang di mana teknologi menjadi instrumen untuk mempertahankan diri sekaligus mengancam lawan.
Contoh lainnya, perkembangan teknologi mesin pada masa pengembangan industri manufaktur sebelum dan sesudah revolusi industri. Tetapi, Heidegger juga memandang bahwa dalam pendekatan instrumental, manusia tergoda menumbuhkan kehendak untuk menguasai. Artinya, teknologi juga sebagai sarana untuk menangani masalah teknis dan sosial yang dihadapai manusia.
Bagi Heidegger, fakta bahwa teknologi memiliki kebenaran tersendiri tidak harus dibatasi oleh logika instrumental. Konsep teknologi sebagai alat sudah menjadi salah satu pokok pikirannya dalam Being and Time yang terbit pertama kali pada tahun 1927.
Dalam analisisnya Hedidegger menegaskan bahwa bukan mustahil benda menjadi alat, karena benda menjadi “sesuatu untuk” sesuatu yang lain. Namun, konsep alat dalam hal ini tidak berarti bahwa teknologi yang digunakan menjadi sesuatu yang berada dalam rencana dan kontrol manusia. Sebaliknya, teknologi membawa akibat tertentu bahkan yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Dalam pandangan Heidegger, teknologi memiliki kebenarannya sendiri yang dapat mengungkapkan dirinya sendiri kepada manusia atau menjadi konteks agar manusia mengenali dunianya dengan lebih jelas.
Ia juga menegaskan, pandangan instrumental mengenai teknologi mengandaikan pandangan yang lebih mendasar mengenai kausalitas dan prinsip kausalitasnya yang mendasari seluruh kebenaran mengenai teknologi.
Misalnya, piring perak yang biasa dipakai saat perayaan Liturgis, oleh Heidegger diterangkan empat kausalitas yang memungkinkan piring perak tersebut menjadi benda yang siap digunakan saat pelayanan liturgis ditinjau dari causa materialis, causa formalis, causa finalis, dan *causa efficiens-*nya (Dua, 2011).
Neoluddite dan Technophilia
Pada masa modern filsafat teknologi, tidak hanya membahas techne, poiesis, dan kaitannya dengan dunia kehidupan saja. Tetapi, juga artefak atau teknofak yang pasti memengaruhi kehidupan dan kesadaran. Refleksi filosofi tentang teknologi telah menarik respons yang berbeda tentang teknologi.
Di Amerika, dikenal perkumpulan anti-teknologi yang bernama Neo-Luddite. Sebuah gerakan lanjutan dari Luddisme, gerakan anti-industrialisasi di Inggris pada awal abad ke-19. Dikisahkan, bahwa gerakan buruh ini sering merusak mesin, karena mengancam lahan kerjanya.
Salah satu pelakunya, bernama Ned Ludd sehingga dikenal Luddisme. Sekarang dikenal Neo-Luddite sebagai gerakan anti-teknologi yang bermanifesto, bahwa biosphere lebih utama dari technosphere.
Berseberangan dengan technophobia seperti Luddisme yang melihat hanya dari perspektif bahaya teknologi, diketahui adanya technophilia. Istilah ini merujuk orang-orang yang percaya hanya pada keutamaan teknologi*.*
Mereka melihat status ontologis teknologi tanpa mempertimbangkan dampak-dampaknya yang merugikan. Futurisme, pascahumanisme, dan transhumanisme berada dalam kategori technophilia. Dikatakan bahwa teknologi tidak hanya dapat menebus keterasingan manusia modern, tetapi juga membawa kebahagiaan yang diinginkan (Hartanto, 2017).
Filsafat teknologi menurut para filsuf
Beberapa filsuf telah memberikan perhatian terhadap teknologi dalam dunia kehidupan, diantaranya Martin Heidegger, Jurgen Habermas, Jacques Ellul, dan Don Ihde. Heidegger membuka diskursus filsafat teknologi melalui Being and Time (1927) yang dituntaskan dalam The Question Concerning Technology (1977).
Menurut Heidegger, hakikat teknologi bukanlah sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing, yakni mencipta, membentuk, dan mentransformasikan yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru.
Dari The Question Concerning Technology dapat disimpulkan dua hal. Pertama, pertanyaan kritis terhadap teknologi untuk menyadari ketersembunyian dan penyingkapan kebenaran dapat membatasi pandangan bahwa dunia seluruhnya hanyalah persediaan. Kedua, pandangan alternatif dari Ge-stell dilakukan dengan menghidupkan kembali techne sebagai seni.
Sedangkan Jacques Ellul dalam The Technological Society (1964) melihat teknologi (spesifiknya dunia teknik sebagai entitas yang otonom di mana manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik.
Dengan kata lain, implikasi teknik, sosiologis, dan ekologis dari kemajuan teknik hanya dapat diatasi oleh kemajuan teknik itu sendiri. Misalnya persoalan limbah industri, maka dibutuhkan teknologi untuk mengatasinya. Berarti, teknik terus maju untuk mengatasi kekurangan yang ada pada dirinya.
Bagi Habermas, kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Pemahaman diri (self-understanding) masyarakat modern tentang dunianya, dalam pandangan Habermas, dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis atau jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran.
Akibatnya, dimensi praksis rasio hanya dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan implementasi sains dan rasionalitas. Hal ini yang memunculkan bentuk kontrol teknis terhadap alam, sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial) terabaikan.
Ilmu pengetahuan lantas dimengerti hanya sebagai cara bagaimana mengontrol dan menguasai alam hingga masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan (Hartanto, 2013).
Realisme instrumental
Refleksi atas peranan instrumentasi, menurut Ihde adalah wilayah pertemuan antara filsafat sains dan filsafat teknologi. Realitas yang ditampilkan oleh perwujudan sains dalam teknologi adalah realisme instrumental.
Mengenai hubungan manusia dan teknologi, Ihde membaginya dalam empat jenis hubungan, yaitu hubungan kebertubuhan (embodiment relations), hubungan hermeneutis (hermeneutic relations), hubungan keberlainan (alterity relations), dan hubungan latar belakang (background relations).
Dalam ketiga jenis hubungan yang pertama, alat berperan utama. Sementara dalam background relations, alat memainkan peranan di latar belakang. Ihde juga mengatakan bahwa teknologi tertanam dalam budaya, sebab teknologi mengambil peranan penting dalam hubungan manusia dengan dunianya dan juga budayanya.
Ihde menolak pandangan bahwa alat teknologi netral dan hanya berupa alat-alat sederhana dengan tujuan dan sarana yang jelas. Interpretasi semata-mata instrumental terhadap teknologi ditolak oleh Ihde, sebab ada kecenderungan latent telic pada alat (Lim, 2008).
Refleksi: Manusia, teknologi, dan lingkungan
Kerusakan lingkungan akibat penggunaan teknologi masih belum digarap dengan totalitas. Polusi udara dan air, erosi tanah, penggundulan hutan, dan lainnya telah mengancam sumber daya alam yang krusial bagi kehidupan.
Masalah lingkungan memengaruhi hidup semua orang di bumi. Keutuhan lingkungan dalam ekosistem bumi harus dipertahankan, salah satunya untuk generasi mendatang. Kerusakan lingkungan merupakan gejala dari problem yang lebih mendalam, yakni cara pandang terhadap manusia, teknologi, dan lingkungan.
Oleh sebab itu, manusia mesti mengembangkan teknologi yang bermanfaat bagi lingkungan dan dirinya serta menolak dampak negatif dari teknologi. Persoalan moralitas yang menyangkut aktivitas hidup manusia khususnya soal etika dalam teknologi juga hal yang tidak bisa dipisahkan dalam hal ini.
Masyarakat yang hidup di negara berkembang mesti kritis terhadap teknologi yang digunakan. Apakah penggunaan teknologi ini sungguh berguna untuk meningkatkan kesejahteraan dan tidak membawa efek buruk terhadap kebudayaannya?
Memilih dan memilah teknologi yang berguna bagi masyarakat dan menggunakannya dengan bijaksana menjadi tugas bersama. Tentu semua itu diasasi pada kesadaran penuh dan pemahaman yang benar berkenaan cara pandang terhadap manusia, teknologi, dan lingkungan.
Referensi:
Waston. 2019. “Strategi Menang Dalam Revolusi Industri 4.0 (Perspektif Filsafat Thomas Kuhn)”. The 10th University Research Colloqium.
Titien Saraswati. 2019. “Pengaruh Revolusi Industri pada Arsitektur dan Lingkungan Binaan”. Prosiding Seminar Nasional Arsitektur, Budaya dan Lingkungan Binaan (SEMARAYANA #1).
Manahan P. Tampubolon. 2019. “Metode Pembelajaran di “Era Industri 4.0” dalam buku “Kapita Selekta Magister Administrasi/Manajemen Pendidikan: Isu – Isu Pendidikan di Era 4.0”. Jakarta: UKI Press.
Budi Hartanto. 2013. “Filsafat Teknologi”. Studia Humanika Masjid Salman ITB.
Ahmad Herdiansyah. 2019. “Filsafat Manusia: Menyikapi Dampak dari Perkembangan Teknologi”. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Yesaya Sandang. 2013. “Dari Filsafat ke Filsafat Teknologi: Sebuah Pengantar Awal”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mikhael Dua. 2011. “Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Sebuah Esai Etika”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Budi Hartanto. 2017. “Humanisme dalam Wacana Filsafat Teknologi”. SPT2017 Conference.
Budi Hartanto. 2013. “Dunia Pasca-Manusia Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi”. Depok: Penerbit Kepik.
Francis Lim. 2008. “Filsafat Teknologi Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alat”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
0 Comments