Malu Semalu-Malunya: Gugah Kesadaran Etis Auditor Melalui Budaya SIRI’

by | Oct 3, 2020 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Malu semalu-malunya
Namun apa daya orang tak sudi
Mahu semahu-mahunya
Namun apa daya orang dah benci

Prolog

Pukul 7 lewat 15 menit, terbilang agak pagi saya tiba di kantor. Halaman kantor masih dipenuhi dedaunan kering. Meski diterpa angin, daunnya tak bergerak, menempel ke tanah basah layaknya materai di kuitansi belanja ATK karena diguyur hujan semalaman. Hujan yang sangat saya nanti setelah sekian lama tak kunjung turun. Tentu, kerinduan pada suasana begini seperti rindunya akan kehidupan normal sebelum pandemi Covid-19 melanda.

Hari ini saya berencana bergelut dengan penyusunan program kerja untuk agenda pengawasan selanjutnya. Targetnya sich selesai hari ini. Namun, apa daya masih butuh konsultasi pimpinan dulu. Tidak menyiakan waktu, saya mulai menuliskan kata demi kata di laptop dengan harapan bisa dimuat di beranda Birokrat Menulis.

Ehmm, semoga bisa dimuat”, gumam saya dalam hati. Agar lebih fokus, kopi robusta menjadi pilihan saya pagi itu diselingi lagu ‘Rindu Serindu Rindunya’ yang dipopulerkan oleh Spoon Band asal negeri Jiran Malaysia di tahun 98.

Ketika tiba pada lirik ‘Malu Semalu Malunya…., Namun apa daya orang dah benci’, saya teringat pada budaya Siri’ orang Bugis dan konsep etika dalam profesi auditor. Siri’ atau malu (bukan malu dalam arti biasa) menjadi tema imaginer saya kali ini.

Mengawalinya, sesekali saya menghela nafas panjang, sekedar mengoptimalkan kinerja alveoli, sebuah kantung udara kecil dalam paru-paru. Cara ini cukup memberikan rasa lega, tancap gas, lanjut bergelut.

Standar Siri’

Menurut Sensus BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Salah satu suku yang memiliki populasi terbilang cukup besar adalah suku bugis/bugis-makassar yang jumlahnya mencapai 3,82% atau 9.032.290 jiwa.

Mengangkat pembicaraan dari kekhasan budaya lokal sangat penting, bahkan tidak kalah menariknya jika dibandingkan budaya western yang banyak mempengaruhi kehidupan dan aktivitas kita saat ini. Tidak terkecuali bagi profesi auditor.

Mari kita membincangkan Siri’ dalam budaya Bugis. Siri’ yang artinya ‘Rasa Malu’ atau harga diri merupakan budaya yang mengajarkan bagaimana seseorang harus beradab atau bertingkah laku terhadap sesama, lingkungan, dan apa yang terhubung dengan kehidupannya.

Siri’ dalam tingkatan tertinggi berhubungan dengan harkat, martabat keluarga, dan keyakinan. Bahkan, orang yang berpegang dan mempertahankan budaya Siri’ dalam setiap aktivitasnya layak dihargai sebagai pahlawan.

Ketika Siri’ dilanggar, diyakini akan membawa masalah buruk bagi kelangsungan hidup. Bukan saja bagi diri pelanggarnya, tetapi juga buat keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Hal ini umumnya dikenal dengan istilah ‘tabu’ atau ‘pammali/pamali’.

Sedangkan dalam konteks agama, pelanggaran Siri’ tidak akan membawa keberkahan, bahkan sebaliknya mendatangkan bencana atau petaka. Siri’ jika dijadikan pegangan hidup akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan sehingga tercipta pribadi yang bermartabat, bijaksana, tangguh, dan dihormati.

Sampai di sini, penjelasan ini mungkin belum memberikan kita pemahaman yang banyak terkait Siri’. Biasanya dengan memberi contoh akan lebih mudah dimengerti. Kita lanjut dengan standar Siri’, iya dengan contoh tentunya.

Standar minimal kebaikan dari berpegang pada budaya Siri’, misalnya bagi seorang pemimpin akan mempertimbangkan sebaik mungkin keputusan yang akan diambilnya, tidak berpikir untuk menguntungkan pihak tertentu apalagi diri dan kerabatnya.

Seorang bawahan, akan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan bekerja keras mencapai tujuan organisasinya. Bagi guru, ia akan mendidik muridnya dengan penuh kasih sayang dan pengajaran yang mengutamakan budi luhur agar di masa depannya berguna bagi bangsa. Sedangkan bagi kita auditor atau ASN akan berkomitmen meningkatkan kinerja dengan mengedepankan etika profesionalisme.

Standar minimal kebaikan tersebut dapat terus meningkat seiring meningkatnya kemampuan menjaga dan mempertahankan Siri’. Dengan mudah pula nilai-nilai kebaikan yang universal itu dapat diterima dan diamalkan. Sebaliknya, unsur-unsur keburukan akan mudah tertolak karena Siri’ telah menjadi perisai dalam diri.

Standar tertinggi dari Siri’ misalnya ditunjukkan dengan rasa malu ‘semalu-malunya’ jika berbuat tidak sesuai tuntutan yang diamanahkan kepada dirinya. Wujudnya seperti meninggalkan kampung halaman jika menjadi penyebab kegagalan, melakukan perbuatan tercela, atau menimbulkan aib bagi diri dan keluarganya.

Bahkan, seseorang dengan spontanitas berani menantang maut, rela mati di ujung ‘badik’ (senjata khas suku Bugis) untuk menjaga martabat dan keyakinannya.

Siri’ dan Kesadaran Etis

Berdasarkan pengalaman saya, hingga saat ini, peran pengawasan internal pemerintah masih diwarnai banyak kontradiksi. Tidak hanya pada tataran konsep dan regulasi, tetapi juga praktik atau implementasi peran auditornya.

Hal yang paling mendasar adalah konsekuensi logis yang harus dihadapi oleh auditor ketika dihadapkan dengan ragam kepentingan, gangguan independensi, rasionalitas, dan persepsi etis. Kawan-kawan auditor tentu pernah merasakan hal yang sama, seperti marah, malu, ingin, enggan, bercampur jadi satu, entah apa istilahnya.

Rasionalitas dan persepsi etis secara umum menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan, menemukan kebenaran sekaligus dapat digunakan untuk mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Keragaman informasi yang diterima oleh individu yang berasal dari adaptasi dengan lingkungannya menghasilkan pandangan untuk memilih berdasarkan kepentingan yang ingin dicapai.

Sehubungan dengan peran auditor, hal yang menjadi kontradiktif adalah ketika dihadapkan dengan ketaatan terhadap standar etika, antara kode etik dan etika yang berlaku secara umum di masyarakat (kearifan lokal). Nah, kira-kira mana yang akan kita dahulukan?

Dari banyak diskusi dengan kawan-kawan sesama auditor, ketika dihadapkan pada kondisi seperti ini, kecenderungan auditor lebih memilih etika yang berlaku saat dan pada kondisi itu, sehingga kadang mengabaikan bahkan melanggar standar etika profesionalismenya sendiri.

Sebelumnya, kajian moralitas mengungkapkan hal yang sama bahwa pengalaman hidup, nilai-nilai pribadi, dan keyakinan yang dipilih oleh banyak orang dibandingkan dengan kerangka etika yang sudah dibuat (Rost, 1995).

Kenapa? Kebanyakan alasannya adalah ‘menghargai’ dan karena memiliki hubungan kekerabatan. Menghargai tradisi atau kebiasaan orang setempat dianggap lebih penting dari menjaga standar etika dan profesi yang sudah ditetapkan. Demikian juga, hubungan kekerabatan mempengaruhi subjektifitas tindakan karena menjaga hubungan dianggap sebagai bentuk kepatuhan dan kebaikan yang lebih tinggi.

Kesadaran auditor terhadap etika yang berlaku umum di masyarakat dipahami secara artifisial dan meninggalkan makna autentik dan filosofis dari kearifan lokal tersebut. Akibatnya, timbul interpretasi yang berbeda dan membuka ruang pragmatisme.

Seperti budaya Siri’, dalam pemahaman tradisi dan budaya yang dianut oleh masyarakat Bugis, bahwa keharmonisan dalam kekerabatan atau hubungan kedekatan lainnya harus dilestarikan (tu masiri’). Bahkan, ketika ada keluarga yang merasa terancam harga dirinya, maka anggota keluarga lainnya berkewajiban untuk menghapus siri’ atau rasa malu tersebut.

Saat ini pemahaman Siri’ terkait hubungan kekeluargaan banyak disalahartikan dan diberlakukan sama pada semua kondisi. Ketika memiliki hubungan dekat (kekerabatan) dengan seseorang, maka ada kecenderungan memberi perlakuan khusus untuk menghindari konflik.

Maka, terkadang ketidakbenaran atau keberpihakan menjadi pilihan karena alasan menjaga hubungan. Pilihan ini tentu sangat bertentangan dengan kode etik auditor yang mensyaratkan prinsip-prinsip perilaku yang berintegritas, yakni melaksanakan tugas secara jujur, teliti, bertanggung jawab, menunjukkan kesetiaan, menjaga citra, dan mengembangkan visi dan misi organisasi. Bukan karena adanya penghormatan atau hubungan kekerabatan.

Epilog: Kontekstualisasi Budaya Siri

Pemahaman budaya Siri’ bagi auditor, seharusnya memudahkan kita menerima kebenaran etika profesionalisme, sebaliknya pun demikian. Artinya, mendahulukan prinsip etika yang telah dibuat dan menghormati etika yang berlaku secara umum di tengah masyarakat, tidak membuat kita harus memilih.

Pemahaman tentang budaya pun beserta khazanah ilmu yang ada di dalamnya mesti dipahami secara kontekstual, tidak simbolis saja, dan yang terpenting tidak meninggalkan makna dan kesejarahannya.

Saya yakin, Siri’ sebagai budaya dan standar etika profesional auditor mampu menguatkan peran auditor. Semua kembali pada prinsip hidup, tidak mengorbankan integritas dan memuluskan pragmatisme dengan dalih menjaga atau menghormati hubungan kekerabatan.

Siri’ itu mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan keluarga dan individu. Siri’ itu bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi dibanding prestasi individual. Siri’ itu mendidik untuk tujuan mulia meski tanpa jasa.

Siri’ itu memilih berkomitmen, menengadahkan kepala dan mengarahkan pandangan pada tujuan organisasi ketimbang memelihara loyalitas, menundukkan kepala, dan membungkuk pada pengaruh kepentingan.

Malu semalu-malunya
Harus ada daya orang yang sudi
Mahu semahu-mahunya
Mulai dari diri, meski banyak yang benci

5
0
Muhammad Naim ◆ Active Writer

Muhammad Naim ◆ Active Writer

Author

Auditor Muda, Inspektorat Daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan. ‘penikmat kopi dengan segala rasa’

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post