Prolog
Hampir semua orang pasti pernah terjebak dalam dilema memilih menu makan siang, entah itu di sekolah, kampus, atau bahkan tempat kerja.
Dilema ini seringkali muncul bukan hanya karena kesibukan yang membuat kita tak sempat memikirkan apa yang akan dimakan, tapi juga karena terbiasa dengan variasi menu yang itu-itu saja, atau kebingungan memilih makanan yang sehat.
Lebih lagi, keterbatasan pilihan
sering kali dihadapi karena realita anggaran ‘maksi’ yang terbatas.
Dari skenario-skenario tersebut, tampak jelas bahwa masalah “sepele”
seperti makan siang, bisa berubah menjadi sebuah
tantangan yang cukup berarti.
Kata kunci “makan siang” ini ternyata membawa ingatan saya mundur ke belakang, ke tahun 2016. Ketika itu, saya mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu dan tinggal selama 1 tahun di Inggris.
Dengan berbagai pertimbangan, saat itu saya juga memboyong keluarga. Beruntung karena sudah berusia 5 tahun, anak saya pun berkesempatan untuk bersekolah di sana.
Singkat cerita, ketika registrasi dilakukan di suatu public school di kota Nottingham, seorang student service team menunjukkan dua lembar kertas.
Ternyata, satu kertas adalah free school meals plan dan sebuah formulir yang harus kami isi untuk menentukan menu makan siang anak saya selama sebulan ke depan.
Melihat raut kebingungan saya, staf sekolah dengan cekatan menjelaskan bahwa setiap siswa di level reception, year 1, dan year 2, berhak atas makan siang gratis dengan menu yang bisa dipilih setiap bulannya.
Untuk tingkatan di atasnya, tidak diberikan secara gratis ke semua murid, tetapi hanya bagi murid dengan kriteria-kriteria orang tua tertentu yang sudah ditetapkan.
Student service team memberikan detail komposisi setiap pilihan makanan, memungkinkan orang tua untuk memilih opsi terbaik dan aman untuk anak-anak mereka. Bahkan, untuk murid yang menganut agama Islam, pilihan makanan halal juga tersedia, meski mereka merupakan minoritas.
Jujur bagi kami, makan gratis di sekolah ini suatu hal yang tidak kami duga sebelumnya, dan sangat membantu dari sisi penghematan biaya.
Namun ternyata, lebih dari itu, dengan menu-menu yang beragam dan dijamin keseimbangan nutrisinya, sangat membantu untuk tumbuh kembang anak dan tentu menjadi lebih sehat.
Lahirnya Free School Meals di Inggris
Lalu sejak kapan program ini direncanakan dan dijalankan? Ketentuan terkait pemberian makanan di sekolah pertama kali menjadi wajib pada tahun 1906, ketika Parlemen Inggris mengesahkan the Education Provision of Meals Act.
Kebijakan ini memberi Otoritas Pendidikan Lokal (Local Education Authorities/LEAs) peran dalam menyediakan makanan gratis kepada murid di sekolah dasar. Hal ini terjadi 36 tahun setelah pendidikan dasar wajib secara legal berdasarkan Forster Education Act tahun 1870. Sebelum itu, para murid itu sering pergi ke sekolah dalam keadaan kurang gizi dan tidak mampu belajar, yang terkadang mengakibatkan para guru menyediakan makanan dengan menggunakan uang mereka sendiri.
Makanan gratis juga ditawarkan oleh organisasi seperti Salvation Army melalui skema sosial ‘Food for the Million’ yang diperkenalkan pada tahun 1870.
School canteen committees dibentuk pada tahun 1906, tetapi tidak semua LEA segera menerapkan perubahan tersebut. Hanya 113 dari 328 yang tercatat memberikan makanan dan susu kepada murid-murid miskin di SD.
Pada tahun 1920-an, penyediaan makanan sekolah gratis terus meningkat, dengan sekitar 600.000 makanan yang disediakan. Kemudian, sejak tahun 1944, National School Meals Policy baru diperkenalkan, yang mengharuskan LEA menyediakan makanan sekolah untuk semua orang.
Anak-anak miskin masih akan diberikan makanan gratis, sementara yang lain bisa membeli makanan dengan harga subsidi. Selain itu, penyediaan susu gratis juga dibuat wajib.
Setelah Perang Dunia II,
Education Act tahun 1944 mengharuskan semua LEA
memberikan makan siang yang mengikuti panduan gizi khusus untuk pertama kalinya.
Selama periode Labour Government dari 1964 hingga 1970,
akses ke makanan sekolah menjadi lebih sulit dengan orang tua harus membayar lebih
untuk makan siang anak-anak mereka.
Susu gratis juga dihapuskan di tingkat SMP pada tahun 1968, dan kemudian di tingkat SD pada tahun 1971, ketika Margaret Thatcher menjadi Menteri Pendidikan. Keputusan si wanita besi (the iron lady) itu sempat memunculkan ejekan “Thatcher, Thatcher, milk snatcher”.
Turunnya Popularitas Free School Meals
Pada tahun 1980-an, terjadi peningkatan produksi minuman ringan dan makanan olahan. Beberapa sekolah mulai menawarkan opsi makanan cepat saji populer seperti pizza, kentang goreng, dan burger, tetapi, justru pada periode ini, jumlah siswa yang “menyukai” makanan sekolah menurun.
Penurunan popularitas makanan sekolah ini juga sebagian disebabkan oleh pengenalan Undang-undang Pendidikan tahun 1980, yang menghapuskan keharusan untuk memberikan makanan sekolah kepada semua anak, kecuali murid yang datang dari keluarga penerima manfaat atau keluarga penerima suplemen pendapatan.
Tujuan undang-undang ini, bertujuan mengurangi pemborosan makanan karena kurangnya minat anak-anak pada makanan sekolah, mempengaruhi beberapa county untuk meninggalkan makanan sekolah.
Hal tersebut juga memungkinkan sekolah menyerahkan pengelolaan makanan sekolah kepada pihak swasta, yang membuat pengawasan kualitas makanan menjadi lebih sulit.
Dampaknya, sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1999 mengungkapkan bahwa diet rata-rata anak berusia empat tahun lebih sehat pada tahun 1950-an dibandingkan dengan tahun 1990-an, karena minimnya pengawasan terkait tingkat garam, gula, dan lemak yang tinggi dalam makanan sekolah.
Back on Track
Meskipun memerlukan waktu beberapa dekade sejak popularitas menurun, akhirnya standar baru untuk makanan sekolah diperkenalkan pada tahun 2001, pada masa jabatan PM Tony Blair.
Momen ini juga disertai dengan peluncuran dokumenter “Jamie’s School Dinners” oleh Chef terkemuka Jamie Oliver, yang mengampanyekan agar lebih banyak sekolah mencapai target standar makanan nasional dan mencoba mendorong siswa menjadi lebih antusias tentang makanan sehat.
Kampanye ini menyoroti pentingnya makanan bergizi di sekolah dan memicu diskusi nasional tentang apa yang disajikan di kantin sekolah. Pada tahun 2013, Sekretaris Pendidikan Michael Gove menugaskan pemilik LEON restaurant chain, John Vincent dan Henry Dimbleby, untuk merumuskan rekomendasi untuk school meals plan yang baru.
Rencana tersebut bertujuan untuk memastikan standar gizi yang tepat diterapkan di sekolah-sekolah. Bersamaan dengan rencana baru ini, Departemen Pendidikan menerbitkan panduan School Food Standards.
Standar ini mempromosikan diet sehat dan seimbang yang mencakup:
- buah dan sayuran serta karbohidrat yang tidak dimurnikan; daging, ikan, telur, kacang-kacangan, dan
- protein bebas susu lainnya; susu dan produk susu, serta jumlah terbatas makanan yang tinggi lemak, gula, dan garam.
Inisiatif ini menandai langkah besar dalam usaha meningkatkan kesehatan anak-anak sekolah di Inggris, dengan menyediakan pedoman yang jelas untuk menciptakan lingkungan makan yang lebih sehat di sekolah.
Relevansi di Kondisi Terkini
Lalu bagaimana kondisi saat ini? Apakah program ini masih dianggap penting? Beberapa kejadian ini mungkin dapat menjadi dasar simpulannya.
Pada tahun 2020, pesepakbola Manchester United Marcus Rashford berjuang bersama organisasi amal dan berhasil meyakinkan pemerintah untuk menawarkan voucher makan selama liburan musim panas kepada 1,3 juta anak-anak di Inggris.
Bertindak atas nama Child Food Poverty Taskforce yang ia pimpin, Rashford kemudian menulis surat kepada perdana menteri, mendesak agar makanan sekolah gratis diperluas untuk mencakup semua anak-anak yang keluarganya menerima kredit universal, tanpa memandang pendapatan.
Ia memimpin taskforce dalam menyerukan agar holiday school meals scheme – di mana voucher dan paket yang diberikan kepada anak-anak yang memenuhi syarat ketika sekolah ditutup selama pandemi – diperpanjang selama tiga tahun lagi.
Mereka memperkirakan, menyediakan makan siang gratis
dan skema susu dan sayur sehat selama liburan akan menelan biaya sekitar £1,1 miliar,
hanya sekitar 1% dari anggaran pendidikan.
“Equality of opportunity,” menjadi seruan taskforce tersebut
dengan menekankan bahwa, “dimulai dengan menjamin anak-anak dapat makan dengan baik setidaknya sekali sehari.”
Juga menegaskan bahwa upaya paralel juga dilakukan oleh para orang tua dengan mengusahakan pekerjaan yang lebih baik, sehingga nantinya, ketika pendapatan mereka meningkat maka mereka dapat membeli makanan sendiri.”
Pentingnya program ini juga semakin tergambar dari gerakan para aktivis Inggris yang terus mengkritik pemerintah karena dianggap belum optimal dalam memperluas skema makanan sekolah gratis.
Pada Juni 2022, Henry Dimbleby, penasihat utama strategi makanan nasional pemerintah, merekomendasikan agar skema tersebut diperluas untuk mencakup semua anak di bawah 16 tahun yang tinggal di rumah tangga dengan penghasilan kurang dari £20.000 per tahun.
Usulan ini, yang akan menelan biaya £544 juta per tahun, berarti memberi makan 1,1 juta anak tambahan, namun pemerintah belum menerima rekomendasi tersebut.
Pada September 2022, organisasi amal makanan seperti Food Foundation, Chefs in Schools, dan School Food Matters meluncurkan kampanye bersama, mendesak pemerintah untuk segera memperluas kelayakan kepada semua anak dari keluarga penerima kredit universal.
Kampanye “Feed the Future” didukung oleh koki terkenal seperti Jamie Oliver, Tom Kerridge, dan Hugh Fearnley-Whittingstall.
National Education Union (NEU) menjalankan kampanye “No Child Left Behind”, menuntut makanan sekolah gratis bagi semua anak di sekolah dasar di Inggris, dengan dukungan dari berbagai organisasi dan tokoh publik.
Zarah Sultana, anggota parlemen dari Partai Buruh, mendukung inisiatif untuk menyediakan lebih banyak makanan kepada setiap anak di sekolah dasar.
Ia juga mengkritik pemerintah karena menghalangi usulan undang-undang yang akan memperluas akses makanan sekolah gratis, menyoroti ketidakadilan kemiskinan anak di Inggris dan menyerukan pemerintah untuk serius dalam upaya “leveling-up”.
Epilog: Menerjemahkan untuk Indonesia
Inggris, berdasarkan 2021 Global Survey of School Meal Programs, merupakan satu dari 125 negara di dunia yang memiliki setidaknya satu program pemberian makanan berskala besar di sekolah dasar dan sekolah menengah.
Inggris, sebagai negara maju, telah lama mengakui pentingnya makan siang gratis di sekolah sebagai salah satu pilar fundamental dalam memastikan kesehatan anak-anak.
Berbagai pihak di Inggris saling memberi dukungan untuk mendorong pemerintah menerapkan universal free school meals, yang secara sederhana artinya seluruh murid berhak mendapatkan makanan yang sama.
Salah satu pertimbangan para aktivis adalah dengan semua anak duduk bersama menikmati makanan yang sama dan dimakan di tempat yang sama, kita dapat mengakhiri perbedaan status sosial keluarga anak-anak tersebut, dan menjadi tempat di mana semua dapat berkembang bersama.
Indonesia, dengan segala keragaman dan tantangannya,
dapat mengambil pelajaran berharga dari pengalaman Inggris dan mungkin negara-negara lainnya. Pentingnya program makan siang gratis di sekolah bukan hanya tentang mengenyangkan perut saja, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan dan masa depan anak-anak Indonesia.
Tentu, implementasi program serupa di Indonesia memerlukan komitmen dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, serta dukungan dari masyarakat dan sektor swasta.
Dengan memastikan bahwa implementasinya dilakukan tepat sasaran dan kualitas nutrisinya terjamin, Indonesia bisa memastikan bahwa setiap anak, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka, mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh sehat dan cerdas.
Maka, kembali ke dalam refleksi bagi diri kita sendiri, jika negara-negara maju di sana meyakini pentingnya program seperti ini harus terus ada, siapa kita menyikapi ini hanya sebagai sebuah lelucon canda?
Chef Jamie Oliver MBE, “Nourishing our kids with nutritious and delicious food at lunch time is an investment in their future, boosts our economy and sets them up for a healthier and more productive life”.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
Saya lebih setuju program ini, Daripada program makan saat rapat seperti di instansi yang cuma ttd daftar hadir untuk lampiran bukti belanja makan atau konsumsi rapat, pdhl rapatnya fiktif.