
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program unggulan era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang mulai direalisasikan oleh pemerintah sejak awal Tahun 2025 ini.
Semenjak diluncurkannya, program ini telah dilaksanakan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan salah satu artikel dari Tempo.co disebutkan bahwa saat ini program sudah dilaksanakan di 27 Provinsi melalui 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Pasca dirilis awal tahun ini, pemerintah mengklaim
bahwa program ini mendapatkan sambutan baik dari masyarakat. Meskipun begitu melalui media sosial, dapat dilihat bahwa pada dasarnya sambutan masyarakat tidak seantusias itu.
Namun pro-kontra atau seberapa antusias masyarakat terhadap keberlangsungan program ini, bukanlah menjadi concern penulis pada artikel ini. Concern Penulis dalam artikel ini lebih pada minimnya argumentasi atas pentingnya program ini. Padahal, ini merupakan bagian penting dalam proses implementasi program karena akan mampu meredam resistensi dan meningkatkan partisipasi.
Pencarian melalui jaringan internet tentang isu ini oleh penulis menunjukkan bahwa sangat minim bahkan mungkin tidak ada argumentasi yang tepat untuk memperkuat alasan pemerintah memilih makan bergizi gratis ketimbang kebijakan lain.
Kondisi ini membuat penulis berasumsi bahwa formulasi kebijakan program ini minim proses teknokratis di dalamnya. Yang terjadi adalah kebijakan tersebut sudah ditentukan kemudian diperkuat argumennya melalui keberhasilan kegiatan ini di negara-negara yang lain.
Proses Teknokratik dalam Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan pada dasarnya dilakukan melalui dua tahap yaitu pendekatan teknokratis dan pendekatan politis. Proses teknokratis melibatkan analisis kebijakan melalui penggunaan metode penelitian untuk mengkaji substansi masalah dan menemukan alternatif-alternatif kebijakan untuk ditentukan kebijakan terbaik diantara kebijakan-kebijakan yang ada.
Sementara proses politis adalah pendekatan partisipasi dalam penyusunan sebuah kebijakan agar kebijakan dapat diterima dan diimplementasikan sebaik-baiknya. Kedua proses tersebut sangatlah krusial dalam implementasi kebijakan.
- Tanpa sebuah penelitian yang akurat maka sebuah kebijakan memiliki peluang besar untuk tidak menjadi solusi atas permasalahan yang menjadi sasaran kebijakan.
- Tanpa proses politis yang kuat maka kebijakan tidak akan berhasil diimplementasikan karena berbagai resistensi dari pihak berkepentingan.
Fungsi dari proses teknokratis dalam sebuah pengambilan kebijakan setidaknya ada tiga yaitu:
- Pertama, memberikan pilihan kebijakan atas permasalahan yang dihadapi.
- Kedua, memberikan keyakinan pada pengambil kebijakan bahwa kebijakan yang diambilnya adalah yang terbaik diantara alternatif yang ada sekaligus mengidentifikasi kemungkinan hambatan yang muncul saat kebijakan diimplementasikan.
- Ketiga, mendukung proses politis dengan memberikan argumentasi yang kuat terhadap kebijakan yang telah diambil sehingga berbagai pihak berkepentingan dapat diyakinkan.
Proses teknokratis dalam perumusan kebijakan dilaksanakan sebelum kebijakan diimplementasikan dan haruslah bersandar pada permasalahan bukan pada kebijakannya. Artinya proses ini harus berjalan tanpa terlebih dahulu menetapkan kebijakannya. Jika terjadi sebaliknya maka itu lebih pada pembenaran kebijakan.
Tentang Proses Teknokratis dalam Kebijakan MBG
Program makan bergizi gratis sebenarnya bukanlah program yang dilaksanakan di Indonesia saja. Beberapa negara telah menerapkannya dan berhasil. Di antaranya adalah Ghana, Ethiopia, Amerika Serikat, India dan Norwegia.
Apakah ini berarti kebijakan ini telah melalui proses teknokratis
dalam perumusan kebijakan?
Belum tentu. Karena proses analisis dalam perumusan kebijakan seyogyanya tidak menitikberatkan pada kebijakan itu sendiri melainkan pada permasalahan yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut.
Sehingga, sebuah kebijakan bisa saja sudah terbukti dilaksanakan oleh negara lain dan mendapatkan legitimasi keberhasilannya dari berbagai hasil penelitian. Namun belum menerapkan pendekatan teknokratis pada saat perumusannya.
Dengan kata lain, untuk menilai apakah program ini telah melalui proses teknokratik dalam perumusannya maka yang perlu dilihat adalah proses perumusannya bukan kebijakannya. Sebagai orang yang tidak duduk di pemerintah pusat, penulis sesungguhnya tidak mengetahui dengan detail apakah penetapan program ini melalui analisis mendalam atau tidak.
Namun untuk dapat menyimpulkan apakah kebijakan makan bergizi gratis ini sudah melalui proses pengkajian mendalam atau tidak, penulis mempertanyakan fakta-fakta berikut ini:
- Tidak pernah tersaji alternatif kebijakan lain terhadap sasaran yang sama dengan data pendukung keberhasilannya.
Bagaimana perbandingan antara kebijakan makan gratis dengan kebijakan perluasan bantuan sosial misalnya? jika tujuan utama dari program makan bergizi gratis adalah peningkatan SDM dengan meningkatkan akses makanan bergizi, maka keduanya dapat dijadikan pilihan.
Analisis terhadap kedua kebijakan tersebut menjadi krusial untuk pengambilan kebijakan serta peningkatan dukungan dari berbagai pihak berkepentingan. Perumusan kebijakan intinya adalah alternatif solusi. Jika hanya satu solusi dimana perbandingannya?
- Tidak pernah tersaji argumentasi tentang kenapa program ini menjadi program unggulan/prioritas di antara program lain yang juga sama pentingnya.
Dengan keterbatasan kemampuan fiskal maka program ini tentu akan mengalihkan prioritas penganggaran dari program lain. Oleh karena itu diperlukan data yang akurat tentang perbandingan urgensi kebijakan lain dibandingkan kebijakan ini.
Hal ini sangat penting karena kebijakan sektor lain juga akan memberikan dampak kepada masyarakat sehingga kerugian atas hilangnya program lain itu secara akurat tertutupi oleh kebijakan ini.
Penulis tidak memungkiri ada kemungkinan fakta-fakta tersebut ada dalam berkas orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan MBG. Jika hal ini ada mungkin saja memang kebijakan ini memiliki argumentasi yang kuat.
Akan tetapi jika memang ada, perlulah hal ini disampaikan untuk memperkuat argumentasi dan meningkatkan kontribusi seluruh pihak berkepentingan terhadap program ini.
Terlebih dengan skala program yang besar dan masif, dengan jumlah kebutuhan anggaran yang fantastis, keyakinan para pemangku kepentingan ini sangatlah krusial karena tentu kebijakan ini akan mengorbankan kebijakan-kebijakan lain.
Pengorbanan dari sektor lain ini akan mudah untuk dilakukan jika keyakinan mereka tinggi terhadap program ini. Dan pada akhirnya, hilangnya suplai anggaran di sektor lain tersebut akan berimbas pada kondisi sosial maupun ekonomi.
Kebijakan Bukan Sarana Uji Coba
Kebijakan pemerintah setelah diimplementasikan akan memberikan perubahan secara masif dan menyeluruh hingga ke bagian terkecil masyarakat. Ia juga akan menciptakan investasi besar yang jika gagal akan memberikan kerugian yang tidak ternilai.
- Kebijakan pendidikan yang salah akan menghasilkan SDM yang bahkan tidak dapat membedakan Pancasila dan Rukun Iman.
- Kebijakan infrastruktur yang salah hanya akan menciptakan proyek terbengkalai, triliunan uang rakyat hanya menjadi puing-puing tak berharga.
- Kebijakan ekonomi yang salah hanya akan menciptakan salah satunya kesenjangan tajam yang mengkhianati Sila ke-lima Pancasila.
- Kebijakan yang bersandar pada aspek politis semata hanya akan menciptakan kemunduran di masa pemilihan berikutnya.
Melalui proses teknokratis dalam penyusunan kebijakan, berbagai faktor baik dan buruk sebuah kebijakan dapat diidentifikasi dan ditemukan alternatif solusinya sebelum terjadi. Jika ini dapat dilakukan dengan baik maka peluang keberhasilan sebuah kebijakan menjadi lebih besar. Menghindarkan negara dari kerugian materiil maupun non materiil di masa yang akan datang.
Negara bukan sebuah laboratorium
di mana peneliti di dalamnya boleh melakukan berbagai percobaan. Percobaan pertama gagal lanjut percobaan kedua. Percobaan kedua gagal lanjut percobaan ketiga, dan seterusnya.
Negara adalah dunia nyata yang dilakukan di sana haruslah pernah diuji coba di laboratorium. Bukan sebaliknya.
Epilog
Perlu ditegaskan bahwa penulis tidak ingin terjebak pada perdebatan baik-buruknya program MBG. Tulisan ini hanya mempertanyakan argumentasi para pembuat kebijakan untuk memperkuat posisi tawar kebijakan ini di hadapan para pihak berkepentingan.
Jikapun catatan penulis pada artikel ini telah ada dalam berkas-berkas para penyusun kebijakan, alangkah baiknya jika hal ini dapat disampaikan ke publik sehingga publik merasa yakin dengan keberhasilan program ini. Selanjutnya, dengan keyakinan yang kuat dari para pemangku kepentingan, keberhasilan program ini menjadi lebih mudah untuk diraih.
Lebih luas lagi penulis menekankan pentingnya pengkajian mendalam terhadap setiap permasalahan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat. Masalah adalah kosmos dalam setiap kebijakan. Bukan sebaliknya.
Wallahu A’lam Bisshawwab
0 Comments