Musim pemilihan kepala daerah telah tiba. Semua orang ingin daerahnya menjadi hebat. Penduduk ingin menikmati hidup di daerah yang hebat dan pemimpin ingin mempersembahkan daerah yang hebat kepada warganya. Niat baik itu tak perlu diragukan lagi.
Tetapi bagaimana
membuat daerah yang hebat
atau setidaknya lebih baik?
Pertanyaan itu yang selalu didiskusikan
dari periode ke periode pemerintahan dan diapung-apungkan
di setiap masa kampanye.
Artikel ini tidak berisi teori perencanaan daerah secara menyeluruh. Tidak pula menawarkan jurus sakti melejitkan daerah yang penuh keterbatasan dan ketertinggalan menjadi setara dengan kota-kota besar di negara maju.
Artikel ini coba mengingatkan langkah-langkah sederhana yang bisa dipertimbangkan calon pemimpin untuk membuat daerahnya hebat.
Satu hal mendasar mengenai “daerah hebat” adalah kelayakan huninya. Semakin layak huni sebuah kota maka semakin bahagialah penduduknya dan semakin senang pula pengunjung mendatanginya. Semakin senang pengunjung datang maka semakin besar perputaran ekonomi di kota tersebut.
Beberapa lembaga kredibel di dunia seperti OECD, Mercer, Monocle Magazine, The Economist, dan Forbes mengukur kelayakan huni kota-kota di dunia secara berkala. Masing-masing lembaga menggunakan indikator yang berbeda-beda meski masih seirama.
The Economist Intelligence Unit (EIU) mengeluarkan ranking[sm1] kota layak huni di seluruh dunia (“The Global,” 2020). EIU adalah divisi riset dan analisa dari The Economist Group yang sejak 1946 berkontribusi kepada dunia usaha, lembaga keuangan, dan pemerintah dalam mengarungi perubahan dunia.
EIU mempertimbangkan lebih dari 30 faktor dalam menyusun ranking. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam enam kategori besar yaitu: stabilitas, budaya, lingkungan, pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan.
Selama dua tahun terakhir yakni 2018 dan 2019, ibukota Austria, Vienna, menduduki peringkat pertama pada daftar kota layak huni. Sebelumnya posisi puncak itu ditempati Kota Melbourne, Australia, selama tujuh tahun berturut-turut (Locke, 2019).
Indonesia sendiri mengenal versi kota layak huni berdasarkan tujuh indikator yang diukur oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP). Ketujuh indikator itu adalah (Shita, n.d):
- Ketersediaan kebutuhan dasar (perumahan yang layak, air bersih, jaringan listrik, sanitasi, ketercukupan pangan, dan lainnya);
- Ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi umum, taman, fasilitas kesehatan, dan lainnya);
- Ketersediaan ruang publik sebagai wadah untuk berinteraksi antar komunitas;
- Keamanan dan keselamatan;
- Kualitas lingkungan;
- Dukungan fungsi ekonomi, sosial, dan budaya kota; dan
- Partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kota Solo adalah kota yang paling layak huni di Indonesia berdasarkan survei IAP pada tahun 2019. Urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Kota Palembang dan Kota Balikpapan (“Hasil,” 2019).
Sementara tiga kota yang paling tidak layak huni secara berurutan ke bawah adalah Lampung, Medan, dan Makassar. Peringkat itu diperoleh berdasarkan skor akhir atas penilaian ketujuh indikator di atas.
Di mana Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya? Bahkan dua kota besar seperti Medan dan Makassar terpuruk di posisi bawah. Tergambar dari peringkat di atas bahwa kemegahan dan gedung pencakar langit tidak menjadikan sebuah kota nyaman ditinggali.
Sebuah kota tentu tidak menjadi hebat jika tak nyaman ditinggali.
Tiga Langkah Menuju Kota Hebat
Pada tahun 2030, diperkirakan 60 persen penduduk bumi, yakni 5 miliar orang[sm2] , akan tinggal di kota-kota (Woetzel, Bouton, Cis, Mendonca, Pohl, Remes dan Ritchie, 2013). Peningkatan itu sangat pesat melihat data bahwa pada tahun 2013 hanya sekitar 3,6 miliar orang yang tinggal di kota.
Hal ini menjadi tantangan yang berat bagi para pemimpin kota karena kompleksitas permasalahan yang juga semakin meningkat. Kualitas hidup di kota-kota menjadi aspek yang semakin mengkhawatirkan.
Kepadatan penduduk di kota akan meningkatkan permasalahan infrastruktur, kebersihan, perumahan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan.
Tantangan yang dihadapi pemimpin kota memang berbeda-beda tergantung titik awal (starting point) mereka mulai bekerja. Meski demikian, menurut Woetzel et al., kota toh tetap bisa berubah. Singapura, misalnya, naik dari pelabuhan kolonial ke kota kelas dunia hanya dalam beberapa dekade.
New York bergerak maju dari penurunan ekonomi yang dialami pada akhir 1960-an dan 70-an. Hal itu terjadi karena para pemimpin membuat langkah-langkah penting dalam meningkatkan kota mereka, tidak peduli di mana titik awal mereka memulai.
Lembaga konselor McKinsey & Company melakukan penelitian dengan mengembangkan dan menganalisis database komprehensif indikator kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan perkotaan. Mereka mewawancarai 30 wali kota dan pemimpin kota lainnya di pemerintah kota di empat benua.
Mereka juga menyintesis temuan atas lebih dari 80 studi kasus untuk memahami langkah-langkah yang dilakukan para pemimpin kota di dunia untuk meningkatkan seluruh jajaran proses dan layanan, dari perencanaan kota hingga manajemen keuangan dan perumahan.
McKinsey & Company kemudian menyimpulkan bahwa tiga langkah yang telah dilakukan pemimpin-pemimpin di dunia untuk membuat kota mereka hebat adalah:
- Mencapai pertumbuhan cerdas (achieve smart growth);
- Berbuat lebih banyak dengan modal yang lebih lebih sedikit (do more with less); dan
- Memenangkan dukungan untuk perubahan (win support for change).
Untuk melihat tiga langkah untuk membangun kota hebat tersebut secara lengkap, sila unduh dokumen McKinsey & Company di tautan ini. Namun secara ringkas, tiga langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
“Achieve smart growth” maksudnya memilih sektor pembangunan yang paling sedikit menyebabkan kerugian.
Kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan memperluas zona industri, memperlebar jalan-jalan dengan menghilangkan pepohonan, mengizinkan pembangunan di daerah aliras sungai, atau membebaskan pedagang berjualan di mana saja,
pada akhirnya justru akan menurunkan tingkat kenyamanan dan kualitas hidup di kota itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi sering justru membawa kerugian pada warga akibat dampak-dampak pembangunan.
“Do more with less” maksudnya efisiensi dalam menggunakan anggaran. Sudah menjadi stigma bahwa pemerintah daerah dianggap menghambur-hamburkan anggaran dengan hasil yang tidak terlihat.
Oleh karena itu, perencanaan dan evaluasi program dan kegiatan harus dilakukan dengan prinsip efisiensi. Swasta harus lebih banyak dilibatkan dalam program dan kegiatan daerah. Hal ini juga jamak dilakukan kota-kota di negara maju.
Sementara, “win support for change” maksudnya bahwa pembangunan kota hebat harus dimulai dengan pembangunan tim yang kuat.
Woetzel et al. menyebutkan: pegawai negeri sipil yang berkinerja tinggi, menciptakan lingkungan kerja di mana semua karyawan bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan mengambil setiap kesempatan untuk mewujudkan konsensus para pemangku kepentingan.
Langkah Sederhana
Mengejar peningkatan semua indikator kota layak huni yang disebutkan beberapa lembaga di atas adalah hal yang sempurna. Perubahan menuju terciptanya kota layak huni tersebut mungkin saja bisa tercapai secara signifikan dalam jangka panjang.
Akan tetapi rasanya sulit terwujud dalam jangka menengah, misalnya dalam lima tahun periode kepemimpinan kepala daerah.
Tiap daerah memiliki karakter dan tingkat permasalahan yang berbeda-beda. Pada umumnya kota-kota di Indonesia masih berkutat pada standar kehidupan sehari-hari seperti lalu lintas, persampahan, dan fasilitas lainnya. Sangat berbeda dengan kota-kota di negara maju.
Untuk itu diperlukan langkah yang juga sederhana namun bisa membawa kota lebih baik sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun. Tiga langkah ala McKinsey & Company, misalnya, bisa diimplementasikan seperti berikut ini:
Langkah pertama: | Disiplin pada zonasi. Tidak mengorbankan kenyamanan tinggal karena bisnis. Tidak mengejar industri jika bukan keunggulan komparatif. Sebaliknya, memperkuat keunggulan daerah. |
Langkah kedua: | Tidak harus menambah anggaran jika alokasi bisa disesuaikan pada tempat yang tepat.Meningkatkan keterlibatan swasta. |
Langkah ketiga: | Merekrut SDM potensial dan tempatkan pada posisi terbaik untuk mendukung visi dan misi daerah.Meningkatkan sosialisasi dan informasi untuk mendapat dukungan publik. |
Epilog
Para pemimpin sering terjebak dalam teori dan konsep yang kompleks. Wacana-wacana yang rumit, sebagian bahkan absurd, sering diutarakan pemimpin dan calon pemimpin.
Mengejar semua indikator pembangunan memang hal yang sempurna. Hanya saja, kesempurnaan adalah hal yang sulit dicapai dalam waktu singkat jika enggan menggunakan kata “mustahil”.
Tiga langkah ala McKinsey & Company di atas juga bisa menjadi rumit jika dijabarkan dan diperinci satu per satu lalu dikerjakan sekaligus. Oleh karena itu, sebaiknya pembangunan daerah dilakukan secara bertahap, dimulai dari hal-hal sederhana yang rasional dan bisa diukur.
Kajian-kajian yang lebih teknis tentu saja sangat dibutuhkan untuk melanjutkan pokok pikiran artikel sederhana ini menjadi aksi nyata.
“Kehebatan sebuah daerah dilihat dari seberapa kuat karakter yang dimilikinya dan seberapa besar keinginan orang untuk tinggal di sana.”
_________
Hasil Survey, Inilah Daftar Kota Layak dan Tidak Layak Huni di Indonesia. (2019, 19 Februrari). Indozone. https://www.indozone.id/fakta-dan-mitos/PjsajR/hasil-survey-inilah-daftar-kota-layak-dan-tidak-layak-huni-di-indonesia/read-all
Locke, T. (2019, 4 September). These are the World’s Most Liveable Cities in 2019. CNBC. https://www.cnbc.com/2019/09/04/global-liveability-index-2019-most-liveable-cities-in-the-world.html
Shita, G. (n.d.) Seberapa Layak Huni Kota-kota di Indonesia. Handal Selaras Group. https://www.handalselaras.com/seberapa-layak-huni-kota-kota-di-indonesia/
The Global Liveability Index 2019. (2020). The Economist Intelligence Unit. https://www.eiu.com/public/topical_report.aspx?campaignid=liveability2019
Woetzel, J., Bouton, S., Cis, D., Mendonca, L., Pohl, H., Remes, J., & Ritchie, H. (2013). How To Make A City Great. McKinsey & Company. https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured%20insights/urbanization/how%20to%20make%20a%20city%20great/how_to_make_a_city_great.pdf
Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.
0 Comments