Konsep Kemakmuran dari Kearifan Lokal Nusantara

by Aldiles V. Septian ◆ Active Writer | Mar 24, 2022 | Birokrasi Bersih, Birokrasi Melayani | 0 comments

Gemah Ripah Loh Jinawi…..

Sering kita mendengar slogan berbahasa Jawa: Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Titi Tentrem Kerta Raharja, Tukul Kang Sarwo Tinandur, Murah Kang Sarwo Tinuku, yang berarti tanah subur ramai semarak, kehidupan teratur dan tertata, segala yang ditanam tumbuh, (barang-barang) murah serta masyarakat mampu membelinya. Bisa dikatakan itu adalah konsepsi kemakmuran masyarakat Nusantara atau Jawa khususnya. 

Jika kita perhatikan, tidak ada ekspresi spiritualitas dalam konsepsi tersebut, berbeda dengan muatan kidung atau kitab-kitab Jawa yang sarat makna spiritual. Mungkin, masyarakat Jawa dahulu memang ada kecenderungan ke arah “sekuler”, bahwa ketika memikirkan tentang masyarakat dan kesejahteraan, yang terpikirkan adalah kondisi-kondisi yang bersifat materi, yaitu subur, teratur dan berkecukupan.

Dengan spiritualitas yang terekspresikan dalam kidung, tembang, dan kitab-kitab, bisa jadi relijiusitas cenderung berada di ranah pribadi, sebagaimana lagu/kidung yang cenderung menjadi sarana ekspresi kondisi kedirian manusia.

Meskipun kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam, tetapi tampaknya penerapan syariat tidak begitu ketat. Relijiusitas menawarnai, karena ia telah terinternalisasi dalam diri individu-individunya sejak ratusan tahun sebelumnya. Oleh karenanya, kemudian muncul istilah abangan, yaitu seorang Jawa yang tidak terlalu rigid dalam menjalankan syariat. Tentu saja ini perlu penelitian lebih lanjut.

Karena kultur agraris, maka kemakmuran identik dengan tanah dan tetumbuhan, sekaligus tercantum pula cita-cita untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib, harmonis, tidak ada konflik dan perang. 

Tata Titi Tentrem: Peran Bangsawan dan Pemerintahan

Sejarah menceritakan, pemerintahan Nusantara identik dengan kerajaan-kerajaan yang cenderung memiliki kekuasaan absolut. Jika merujuk karakteristik perekonomian feodal sebagaimana di belahan dunia lain, tampaknya peran bangsawan sangat kuat sebagai pemilik tanah.

Dengan kondisi perekonomian agraris, maka peran bangsawan dalam perekonomian tentu saja cukup dominan. Bangsawan bisa dikatakan sebagai kelompok yang memiliki akses ke pemerintahan karena terdapat hubungan dekat-kekerabatan.

Oleh karenanya, kondisi perekonomian memang tidak bisa dipisahkan dengan kondisi pemerintahan secara umum. Bagaimana pemerintahan tersebut berjalan akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan ekonomi masyarakat. 

Tidak disebutkan dengan jelas dalam tata titi tentrem tersebut mengenai peran pemerintah. Namun, bisa kita rujuk pada ungkapan Jawa yang lain yaitu manunggaling kawula lan gusti, yang dapat dimaknai bersatunya pemerintah dengan rakyatnya.

Bersatu bisa berarti tidak ada perbedaan antara pemerintah dengan rakyatnya, sehingga ketika pemerintah hidup senang berkecukupan, maka rakyat kebanyakan juga harus hidup senang berkecukupan dan juga sebaliknya.

Konsep inilah yang harus diperhatikan betul ketika penguasa hendak menjalankan pemerintahan yang efektif untuk mendukung perekonomian. Sebuah negara seharusnya tidak berfoya-foya dalam belanja, sebagai hasil dari perencanaan dan kinerja birokrasi yang tidak produktif, maupun tindakan ilegal seperti korupsi.

Selain itu, pemerintahan seharusnya bercorak inklusif, yaitu mampu diakses oleh banyak pihak dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku yang mementingkan golongan, status quo maupun oligarki, tentu saja harus harus ditolak. Inilah cara untuk mewujudkan tata titi tentrem tersebut. 

Tukul” dan “Murah

Kata kunci selanjutnya adalah tukul dan murah. Tukul adalah tumbuh, sehingga apa yang diusahakan oleh masyarakat diharapkan bisa berkembang. Jika dikaitkan dengan peran institusi, peran pemerintah adalah untuk merangsang kegiatan ekonomi ini, dengan menciptakan kompetisi yang adil dan inklusif.

Dengan demikian, masyarakat dapat dengan mudah membuat entitas usaha dan masuk pasar tanpa hambatan berarti. Sedangkan untuk murah, dapat dimaknai masyarakat mampu membeli barang dan jasa yang tersedia di pasar. Oleh karenanya, penting untuk menjaga kestabilan harga.

Di satu sisi pelaku usaha didorong untuk berproduksi dan di sisi lain, produk tersebut mampu dibeli oleh masyarakat. Di sinilah titik keseimbangannya, antara permintaan dan penawaran.

Selain itu, dengan rasionalitasnya, masyarakat juga mampu memahami, jika pasar yang hendak dimasuki memang menawarkan peluang. Jika tidak ada peluang, maka yang “ditanam” tentu saja tidak akan tumbuh. 

Konsepsi ini bisa kita kaitkan dengan filosofi narimo ing pandum, yang dapat kita artikan dengan menerima apa yang sudah diperoleh (pembagian) dan sebagai batas sampai sejauh mana kita memupuk kekayaan, di samping sebagai etos kerja kita.

Dalam beraktivitas, kita terkadang menghadapi kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. Inilah yang pertama-tama harus kita terima, yaitu menyadari realitas. Dengan memahami apa yang sedang terjadi, kita dapat merencanakan kemudian dan bertindak dengan lebih efektif.

Narimo berbeda dengan pasrah bongkokan. Narimo mengandung makna kesadaran, sehingga ada proses mental berfikir untuk mengetahui dan memahami. Adapun pembagian (pandum) sendiri identik dengan ukuran kuantitatif. Di balik individualitas manusia, ukuran ini memang susah diidentifikasi.

Namun demikian, nilai moral yang bisa dipetik adalah menjauhi keserakahan. Lagi-lagi, mengenai ukuran keserakahan ini cenderung subyektif. Sejauh ini kita mengandalkan kebijakan pribadi kita untuk menumbuhkan solidaritas dan saling berbagi.

Dengan melihat makna pembagian yang cenderung kuantitatif, jika kita bisa mencari ukuran keseimbangan secara objektif, dapat menjadi bekal penting untuk mencegah keserakahan melalui institusi. Normatifnya, kita perlu menyadari, sejauh mana kapasitas diri kita untuk berproduksi.

Korupsi: Awal mula Kerusakan Dunia

Jika dianalogikan sebuah mesin, kompetensi diri kita ini ibarat kapasitas mesin untuk berproduksi. Jika kompetensi kita sepuluh misalnya, dan jika kita menghasilkan output (berproduksi) sejumlah sembilan, maka ada idle capacity dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita memiliki kemampuan produksi hanya sepuluh dan kita ingin menghasilkan output lima belas, inilah yang disebut keserakahan.

Selanjutnya, manusia-manusia tipe ini akan menghalalkan segala cara untuk menambah output, karena dari sisi kompetensi pribadi (kapasitas), ia sudah maksimal. Bisa jadi ia akan menipu orang lain, korupsi atau melakukan penindasan dan penghisapan untuk menghasilkan uang (kapital) dalam rangka memenuhi hasrat dan untuk keuntungan pribadinya.

Sebagaimana kecenderungan selama ini, perilaku-perilaku merusak, biasanya lebih mudah dan cepat menghasilkan daripada bekerja secara “halal”. Inilah awal mula kerusakan dunia.

Dengan melihat kebiasaan kontemplatif spiritual masyarakat Nusantara, maka perilaku ini sebenarnya bisa kita cegah. Konsepsi narimo, jika dimaknai lebih lanjut adalah kita memahami kemampuan diri, sehingga dapat bekerja full capacity dan setelahnya kita juga berfikir kembali atas pembagian (hasil) yang kita peroleh. 

Selain itu, mengenai pembagian ini kita perlu mencermati hak dan kewajiban kita sebagai bagian dari interaksi kita di masyakarat dan komunitas. Dalam hal ini, kita mengenal peribahasa desa mawa cara, negara mawa tata.

Keharmonisan: Antara Pemimpin dan Rakyatnya

Desa adalah simbol entitas tradisional dan budaya, sedangkan negara adalah simbol pemerintahan dan administrasi, sehingga peribahasa itu bisa kita maknai kita hendaknya hidup sesuai dengan aturan, tidak hanya aturan undang-undang (tertulis) tetapi juga aturan tidak tertulis, termasuk norma.

Di situlah terkandung petunjuk hak dan kewajiban sesama manusia, sehingga tata titi tentrem atau keharmonisan hidup bermasyarakat dapat kita raih. Selain itu, kuncinya ada dalam peribahasa curiga manjing warangka, warangka manjing curiga (keris masuk sarungnya, sarung keris dipasangkan dengan kerisnya).

Peribahasa ini menggambarkan hubungan pemimpin dengan rakyatnya, di mana pemimpin seharusnya memahami aspirasi rakyat (menyatu), serta mampu dan mau mengayomi mereka dengan baik, sehingga rakyat bersedia patuh ikhlas kepada pemimpin.

Dalam era modern, aturan adalah representasi dari pemimpin, karena aturan dibuat oleh pemimpin. Aturan yang mampu mengakomodasi aspirasi rakyat tentu saja berpotensi lebih besar untuk dipatuhi oleh rakyat. Ketaatan rakyat pada aturan dapat meminimalisir konflik. Untuk dapat menjadi akomodatif, lagi-lagi pemerintahan seharusnya inklusif. 

Yang menarik, ada juga ungkapan tuna satak bathi sanak, yang berarti tidak mengapa rugi sedikit asalkan menambah saudara. Saudara adalah ungkapan kerukunan, sehingga bisa diartikan sebagai keharmonisan.

Khusus mengenai keharmonisan ini tampaknya menjadi tujuan penting, atau jika kita memaknainya dalam konteks perekonomian, keharmonisan adalah infrastruktur utama untuk membangun perekonomian.

Epilog: Pentingnya Kompetensi dan Kolaborasi

Selain adanya misi sosial, dengan masyarakat rukun dan harmonis, kehidupan ekonomi tentu saja akan lebih produktif. Dalam kondisi konflik, pelaku ekonomi tidak dapat beraktivitas dengan nyaman. Profit penting, tetapi itu bukan tujuan utama.

Muatannya tidak hanya berkompetisi tetapi juga kolaborasi, dengan dibalut narimo seperti yang dijelaskan di atas, serta pemerataan ekonomi. Pemupukan kekayaan berlebih (ketimpangan tinggi) berpotensi mengikis keharmonisan. Meskipun kita memiliki kapasitas untuk berproduksi dan memupuk kekayaan, tetapi “unggul seorang diri” juga kontraproduktif.

Dalam kondisi makro, seorang industrialis niscaya tidak akan dapat menjual produknya, jika pendapatan masyarakat rendah karena harga produk di luar daya beli masyarakat tersebut. Pemerataan tidak hanya lebih mampu menciptakan keharmonisan, tetapi juga pasar potensial bagi kaum produktif. 

Bisa dibayangkan jika, kondisi horizontal kita baik, kemudian aturannya mendukung, penegak aturan juga adil dan mengayomi, tentu saja dapat menjadi pondasi penting dalam mengembangkan aktivitas ekonomi.

Oleh karenanya, jika ditarik kesimpulan, kondisi kemakmuran yang didamkan masyarakat Nusantara, atau Jawa khususnya, sepertinya memang bertumpu pada kualitas individu, baik dari sisi pemerintah maupun rakyat kebanyakan.

Bagian mendasarnya adalah membangun individu tidak untuk menjadi individualis, tetapi untuk menciptakan interaksi yang harmonis.

2
0
Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

“Penulis adalah ASN yang bermukim di Depok dan berkantor di Jakarta. Terbuka untuk diskusi dan dapat dihubungi di [email protected]

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Author

“Penulis adalah ASN yang bermukim di Depok dan berkantor di Jakarta. Terbuka untuk diskusi dan dapat dihubungi di [email protected]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post