Salah satu masalah nasional yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa adalah berkembangnya ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial. Hampir setiap hari media sosial dibanjiri oleh berbagai pendapat masyarakat atas suatu isu tertentu. Pendapat itu tidak menjadi masalah jika dikemukakan dengan bahasa yang membangun, sopan, dan tetap mengedepankan penghormatan kepada yang berbeda pendapat.
Masalahnya, banyak pendapat dikemukakan dengan bahasa yang tidak sopan, mencaci, bahkan dengan kata-kata kotor yang tidak pantas dituliskan, dan disertai dengan penyebaran berita bohong. Pendapat-pendapat tersebut banyak menjurus pada ujaran kebencian terhadap orang, kelompok, bahkan suku, dan agama tertentu.
Kemajuan teknologi informasi memang patut disyukuri. Termasuk perkembangan komunikasi sosial yang makin mudah yang difasilitasi oleh semakin banyaknya pengguna internet dan membaiknya kualitas jaringan internet di Indonesia. Namun, kemajuan tersebut akan menjadi buah simalakama tatkala masyarakat tidak arif memanfaatkannya dan negara tidak menjaga kearifan masyarakat itu sendiri.
Dominasi penggunaan media sosial
Menurut survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada Juni 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia hingga kuartal II tahun 2020 sebanyak 196,7 juta jiwa. Jumlah ini naik dibanding tahun 2018 sebanyak 171,2 juta jiwa.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS sebanyak 266 juta, maka jumlah pengguna internet di Indonesia tersebut mencapai 73,7 persen (Kompas, 9/11/2020). Dari survei APJII juga diketahui ada empat alasan penggunaan internet, yaitu 51,5 persen atau mayoritas untuk mengakses media sosial, dan yang lain untuk berkomunikasi lewat pesan, bermain games, dan belanja online.
Data tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan internet paling banyak adalah untuk mengakses media sosial melalui Whatsapp, YouTube, Twitter, Facebook, Telegram, dan lain-lain. Melalui percakapan di media sosial ini berbagai isu sosial, politik, keagamaan, ekonomi, dan lain-lain mudah tersebar di masyarakat.
Dampak negatif media sosial
Melalui media sosial, berbagai pendapat masyarakat mudah disebarkan. Di sinilah banyak perbedaan pendapat sering ditumpangi dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi oleh orang, kelompok, dan oknum-oknum serakah dengan cara menghasut, menggosok, dan mengadu domba antar elemen masyarakat. Dalam hal ini, para buzzer jahat berperan besar sebagai pabrik pengolah informasi bohong untuk kepentingan tertentu.
Dampak dari banyaknya berita bohong dan mengadu domba bisa kita rasakan saat ini. Kemarahan masyarakat mudah tersulut, muncul kebencian antar kelompok yang berbeda pandangan, keyakinan, dukungan politik, suku, agama, dan lain-lain.
Kondisi ini diperparah dengan adanya fragmentasi di masyarakat atas isu yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ada kelompok buzzer yang mendukung kebijakan pemerintah dan ada buzzer yang kontra atau berpandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sebenarnya, pro dan kontra atas suatu kebijakan harus disikapi secara positif. Perbedaan pendapat bisa digunakan untuk menambal kelemahan suatu kebijakan sehingga benar-benar bisa diterima oleh masyarakat banyak.
Masalahnya, sering dijumpai, narasi komunikasi di media sosial oleh pihak yang pro sedemikian kasar dan sering menyakitkan pihak lain. Demikian pula yang kontra menimpali dengan kata-kata yang tidak kalah kasar. Lalu berkembanglah budaya sarkasme di media sosial. Jelas kondisi seperti ini punya potensi besar untuk mengancam persatuan dan kesatuan bangsa sehingga sangat membahayakan ketahanan nasional.
Ketahanan nasional: Pancagatra dan konflik sosial
Dalam konteks geopolitik dan geostrategis yang dianut oleh Indonesia, di mana geopolitik diejawantahkan sebagai wawasan nusantara dan geostrategis sebagai konsep ketahanan nasional (Prof. Ermaya Suradinata, Etika Pemerintahan dan Geostrategis Indonesia, 2012), maka konflik di media sosial sangat mengancam keduanya.
Unsur-unsur kekuatan nasional disebut dengan nama Astagatra yang terdiri dari Trigatra dan Pancagatra. Trigatra adalah aspek alamiah yang terdiri atas penduduk, sumber daya alam, dan wilayah (geopolitik). Pancagatra adalah aspek sosial yang terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (geostrategis).
Delapan unsur tersebut dapat mempengaruhi seberapa kuat suatu negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negaranya. Ketika salah satu atau beberapa unsur mengalami pelemahan, maka bisa berpengaruh kepada unsur yang lain, bahkan semua undur. Dengan kata lain, kuat atau lemahnya tingkat ketahanan nasional akan mempengaruhi kemampuan bangsa dalam menghadapi ancaman kekuatan yang terjadi, baik ancaman dari luar dan dari dalam negeri.
Konflik di media sosial merupakan masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang termasuk dalam lima aspek sosial (pancagatra). Dalam konflik di media sosial melingkupi konflik yang terkait dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Lemahnya aspek sosial tersebut memberikan pengaruh buruk kepada aspek alamiah yaitu penduduk, sumber daya alam, dan wilayah.
Oleh karena itu, ada alasan kuat untuk menyatakan bahwa potensi konflik di media sosial dapat mengancam ketahanan nasional Indonesia. Konflik sosial akan melemahkan aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan kemanan yang pada akhirnya juga berpengaruh pada aspek penduduk, sumber daya alam, dan wilayah.
Epilog
Melihat kondisi memprihatinkan tersebut, harus dicari jalan perbaikannya. Media sosial semestinya bermanfaat untuk menguatkan ketahanan nasional dengan makin mempererat kekerabatan, persatuan dan kesatuan bangsa, bukan malah sebaliknya. Oleh karenanya, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengatur penggunaan media sosial. Jangan sampai seperti yang dikuatirkan oleh Yudi Latif dalam bukunya Wawasan Pancasila (2018),
“Industri kebohongan menemukan lahan yang subur di tengah masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah.”
Sebab, industri kebohongan akan memperparah potensi konflik di media sosial dan menjelma menjadi konflik nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah antara lain: pemerintah bersikap netral terhadap konflik yang terjadi di media sosial, menertibkan dan memberi sanksi hukum kepada para buzzer yang mengadu-domba masyarakat, membuat peraturan penggunaan media sosial, dan kampanye penggunaan media sosial dengan bijak.
Kampanye ini berupa mengajak para tokoh masyarakat dan agama untuk mengedukasi masyarakat dan pengajaran penggunaan media sosial yang bijak sejak dini kepada murid sekolah. Dengan cara demikian, mudah-mudahan potensi konflik di media sosial bisa ditanggulangi sehingga tidak mengancam ketahanan nasional.
Saat ini bertugas sebagai Kepala Biro SDM Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Penulis berlatar belakang akuntan, berpengalaman sebagai pemeriksa kegiatan pemerintah dan BUMN. Banyak terlibat pada penyusunan standar dan pedoman pemeriksaan keuangan negara, pengembangan organisasi profesi pemeriksa, pengembangan profesi akuntan publik, pendidikan dan pelatihan, serta pengelolaan SDM. Menulis di media massa berkaitan dengan kebijakan publik.
Diera gelombang ke 4 atau mungkin ke 5 seperti yg dikatakan Alvin Toffler, informasi entah digunakan sebagai alat perang, agitasi politik dan ideologi, dsb tidak akan bisa terhindar bagi negara dimana pun di dunia. Oleh karena itu, negara digdaya seperti china pun sempat mengontrol arus informasi berbasis awan.
seliweran beragam informasi dan kondisi sosio-kultural suatu negara juga jadi perhatian, karena negara kita memang pendominasi pengguna gadget berbasis awan namun bukan karena kemmapuan kompetensi dan skill melainkan sebagai konsumer karena budaya mengobrol atau chat tertinggi di dunia.
Hal ini yang patut disadari oleh pemerintah bahwa akan sia-sia hanya sekedar melarang atau menindak tegas sekali pun kepaa masyarakat karena pemerintah pun tak punya kendali atas teknologi berbasis awan tersebut.